47

828 152 0
                                        

"Gar, kapan lo nemenin gue ketemu mas Adrian? Gue 'kan udah sembuh? Udah gemuk juga." Alana menagih janji Edgar yang mengatakan akan mengantarnya ke Australia.

"Berat badan lo masih kurang dua kilo."

"Gue udah gemuk banget, Gar. Lo mau jadiin gue sapi potong?"

Alana merasa sebulan ini ia sudah mengikuti perintah Edgar untuk menambah berat badan. Bahkan Edgar menyuruhnya makan sehari lima kali. Memang sejak ia ditinggal Adrian, ia kehilangan banyak berat badan.

"Gemuk apaan? Badan lo kayak lidi gini?"

"Gue capek disuruh makan terus, Gar!"

Alana mendorong piring yang disodorkan Edgar padanya. Setiap jam makan, Edgar selalu datang menemuinya. Ia kadang heran, apa Edgar tak punya kesibukan selain mengurusi dirinya.

"Lebih baik lo capek makan, daripada capek nangis. Udah tiga bulan dia pergi nggak ada kabar, masih lo ngarepin juga. Terus kalau ketemu dia lo mau apa, ha?"

Edgar meletakkan piring ke atas nakas dengan kesal. Ia seperti sedang membujuk anak kecil yang tidak mau makan saja.

"Gue ... Gue penasaran aja. Kenapa waktu itu dia ninggalin gue gitu aja. Apa salah gue?"

"Terus kalau udah tau lo mau apa, ha?"

"Ya gue jadi lega."

"Udah, gitu aja?"

Alana mengangguk tak yakin. Sebenarnya ia sendiri tak tau apa tujuannya mencari Adrian. Ia hanya merasa harus menemui pria itu.

"Gar, orang tua lo ngijinin kalau lo nganterin gue ke Aussie?"

"Mama gue 'kan emang di sana, sama suami barunya."

"Oh ...."

Alana baru ingat kalau beberapa waktu yang lalu mama Edgar baru saja menikah dengan pria berkebangsaan Australia, kini mereka tinggal di sana. Bahkan mama Edgar kini telah hamil.

"Sebenarnya gue diajakin tinggal di sana, kuliah di sana ...."

"Dan lo mau?"

Alana tiba-tiba memotong ucapan Edgar, seketika ia merasa resah jika Edgar akan meninggalkan dirinya.

"Maulah, daripada gue di sini nungguin lo kayak gini, capek gue liat lo."

"Terus gue gimana, Gar?"

"Ya lo nangisin si Adrian aja, ampe kering air mata lo, ampe lo buta."

"Ya udah, lo pergi aja. Nggak usah ngurusin gue!" Alana marah mendengar jawaban Edgar yang terdengar kejam.

"Kalau gue mau pergi udah dari kemarin-kemarin, bego! Terus lo pikir untuk apa gue ada di sini?"

Alana menoleh ke arah Edgar, selama ini memang hanya Edgar yang selalu bersamanya. Sahabatnya itu tanpa lelah selalu mendampinginya.

"Buat jagain gue 'kan?"

"Dih, GR lo! Gue cuma kasihan sama bunda. Punya anak cewek satu lemah banget, beban keluarga, kerjanya ngebucin doang. Yakin lo bisa jadi dokter?"

"Lo tau gue mau masuk kedokteran?"

"Bunda udah cerita. Bisa gitu, ya? Lo dengan mudahnya ganti cita-cita." Edgar mencibir kelabilan Alana yang sudah berulang kali berganti cita-cita.

"Emang kenapa sih, Gar? Jadi dokter 'kan juga mulia." Alana membela diri.

"Gue dukung, seenggaknya ada gunanya hidup lo!"

"Gue yakin, setelah gue nemuin mas Adrian, gue bakal bisa menata hidup gue lagi. Seenggaknya gue udah nggak penasaran lagi, kenapa dia ninggalin gue gitu aja," janji Alana.

"Janji, setelah ini lo bakal serius mikirin idup lo! Kalau nggak, gue nggak mau nganterin lo balik ke Indo." Edgar meragukan janji gadis labil seperti Alana. Ia malah takut setelah menemui Adrian, Alana akan kembali terpuruk.

"Kok gitu?"

"Lo balik aja sendiri, gue mau ngikut mama gue tinggal di sana, selamanya. Gue males ketemu cewek lembek kayak lo."

"Edgar! Jangan gitu dong!"

Alana merajuk, menggoyang-goyang tangan Edgar. Segera dilepaskan oleh Edgar.

"Janji, janji sama gue! Setelah lo ketemu dia lo bakal balik kayak dulu lagi."

"Gu-gue ...."

"Janji dulu!"

"Iya-iya."

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang