Chapter 15: Curug Bidadari (3)

676 135 14
                                    

"Duluan, gih."

"Jangan dorong, anj."

"Kalo udah sampe bilang, ya."

Obanai menghela napas dan tak merespons lebih. Ia membiarkan Mitsuri untuk berpegangan pada pundaknya. Padahal gak ada apa-apa. Pas di penginapan aja sok berani mau datang ke curug sendirian cuma buat ngambil ulekan. Cuih.

Tapi gak papa, Obanai sekarang yang menuntun Mitsuri dengan senter di tangan. Dia yang jadi pahlawan kali ini. Bukan Uzui lagi.

Lagian, Obanai juga bisa kok, jagain Mitsuri. Ea.

"Nai, sumpah gelap." ujar Mitsuri mengadu.

"Kalo terang ya siang." jawab Obanai pendek.

"Jangan ninggalin gue." 

"Kagak elah, lu pegangan pundak gue, kan."

"EH, NAI!" 

Mitsuri tak tahu apa yang diinjaknya karena jalanan benar-benar gelap saat itu. Tapi Mitsuri yakin itu adalah sesuatu yang rapuh. Untungnya, gadis itu masih sempat merangkul tangan Obanai erat. Ya, dia memang selamat. Tapi jantung Obanai yang tidak selamat.

"Lo... ngapain?" 

"Gak tau, Nai. Gak keliatan gue nginjak apa, sumpah." 

Nggak, bukan itu.

Aduh. Gimana, ya.

"Nai, ih. Jangan cepet-cepet jalannya." keluh Mitsuri ketika Obanai maju dengan langkah yang lebih cepat.

"Makanya elu yang cepet jalannya. Udah ditungguin juga."

"Jangan ninggalin gue anjir, Nai." dengus Mitsuri yang tertatih menyusul langkah Obanai.

Obanai diam tak menyahut. Hanya diam dengan hangat tangan Mitsuri yang menggenggamnya. Untung malam gelap, jadi wajah merah cowok itu tidak terlihat.

"He," Obanai meneguk ludah. "Lo gak cari pacar?"

Mitsuri melebarkan mata, nampak tak siap dengan pertanyaan itu. Atau mungkin lebih karena, Obanai yang menanyakan hal itu. "Nanti, nunggu orang yang gue suka, suka balik sama gue."

Obanai mengangkat alis. Lalu menoleh. "Lo suka sama orang?"

"Ya kali sama badut, Nai." jawab Mitsuri. Obanai tak lagi menyahut, dan hal itu membuat Mitsuri merenung. "Lo sendiri gimana?"

"Apa?" tanya Obanai tak mengerti.

"Sama..." Mitsuri mengulum bibir ke dalam, agak sakit jujur kalau mau membicarakan soal ini. "Cewek rambut blonde yang di lapangan waktu itu, bule."

"Hm?" Obanai mengangkat satu alis. Blonde? Bule? Bayangan Chitoge pun terlintas di kepalanya. Cewek yang dilihat Mitsuri waktu di lapangan basket Arjuna waktu itu, pasti. "Gue gak ada apa-apa kok, sama dia."

"Ha? Bukannya mantan gamonan lu?"

"Mantan gamonan apa, anjir. Gue gak pernah jadian sama dia."

Mitsuri mengernyit. Jadi, selama ini dia dibadutin sama takdir? Ah, gak. Sama pemikirannya sendiri. "Terus kok deket?"

"Deket apanya? Lo gak liat gue berantem sama dia waktu itu?" Obanai langsung terpancing seketika. "Tuh bocah... emang ganjen aja, tapi gue juga bego, sih."

"Ganjen gimana?"

Obanai merunduk diam, tak langsung menjawab. Baru membayangkan saja, Obanai sudah kesal. Ya, tidak sepenuhnya salah Chitoge juga. Dia juga naif. Obanai hanya tak ingin ia terpancing sebal di depan Mitsuri, kan dia gak salah. Masa kena marah.

"Jago ya, dia. Bisa bikin lo bego."

Obanai menoleh. Entah dia yang terlalu bodoh atau tak peka, tundukan wajah Mitsuri memang menyembunyikan sesuatu. Tapi Obanai tak ingin menebak. Sudah lelah dibodohi dengan harapannya sendiri.

Walau begitu, Obanai juga ingin tahu.

"Emang kenapa kalo gue?" tanya Obanai.

"Ya elo kan batu, kulkas berjalan. Hebat aja kalo berhasil ngelelehin lo," jawab Mitsuri masih menunduk. "Hebat. Bisa bikin lo bego. Berarti dia berhasil bikin lo sayang banget sama dia."

Obanai terdiam menatap Mitsuri. "Lo jug—"

"Eh itu kali? Itu ya? Itu ulekannya, Nai!" 

Kalimat Obanai terpotong saat Mitsuri mengambil alih senter. Gadis itu berjalan mendahului Obanai. Tanpa pernah tahu kalimatnya berhasil membuat Obanai kacau. 

Ya, semudah itu untuk membuat Obanai kacau. Namun untuk membuat Obanai mengungkapkan perasaannya, butuh usaha dan waktu yang lebih lama.

Sebab Obanai sendiri tidak yakin luka lamanya sudah sembuh. Obanai hanya tahu satu, bahwa ia bahagia Mitsuri ada di orbitnya.


- ⚘ -


"Lama bener berangkatnya anjir, udah kayak angkot ngetem aja."

Rengoku yang mendengar keluhan Mui itu menoleh. "Ya elah, cil. Julid mulu lo dari awal berangkat. Kenapa sih?"

"Pengen pulang, angji. Kangen kasur."

Rengoku menghela napas pendek. Tidak terlalu heran juga karena Mui sebenarnya anak rumahan. Di saat yang sama, Obanai akhirnya terlihat mengarah ke kursi belakang, di mana anak laki-laki duduk.

"Dari mana lo?" tanya Rengoku.

"Dikasih chiki sama nyokap gue, ya gue ambil." jawab Obanai duduk di samping Uzui. "Bentar lagi juga berangkat, kok. Ini lagi cek ban,"

"Cek ban? Baru cek ban sekarang?" Mui merotasikan mata malas. "Napa gak dari tadi, sih."

Obanai membetulkan posisi duduknya. Bus ini tidak terlalu sempit, dia bisa tidur nyenyak saat perjalanan. Sementara Uzui di sebelahnya sibuk dengan ponsel, sengaja untuk mengabaikan Obanai.

"Juy," Obanai berdeham, agak aneh memanggil nama akrab Uzui. "Gue udah putusin."




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


A/n: 30 vote sebelum chapter selanjutnya gas gak qi?

That Boy | Obamitsu✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang