Happy Reading ❤Santhi kini masih teringat dengan Sapta, seakan-akan dirinya terkena asmara cinta yang telah mencium pipi Sapta. Akibat ia yang pengin sekali di turunkan di jalan raya dan ciuman itu masih membekas di bibirnya. Jujur saja dirinya tidak bisa mengelak kalau saat ini kakinya begitu nyeri sepertinya lama kelamaan kakinya semakin membengkak, benar kata Sapta kalau kakinya memang semakin parah. Cewek itu yang masih duduk di atas ranjang kasurnya seraya melihat kakinya yang terkilir. Sontak saja pikirannya teralihkan setelah mendengar suara bel rumahnya yang bertalu-talu berbunyi di depan gerbang rumahnya.
"Siapa ya ?!" tanyanya sendiri.
Santhi berusaha untuk membangunkan semua anggota tubuhnya meskipun terasa berat untuk di lakukan. Lalu berjalan dengan kondisi kakinya yang masih terasa nyeri sehingga ia pun berjalan dengan satu kaki sambil memegang kakinya yang kini masih kesakitan di bagian punggung kaki dengan jalannya yang sedikit pincang.
"Iya, siapa ?!"Gadis itu yang saat ini sudah membuka gerbang rumahnya kemudian melihat orang yang kini ada di depannya. Di hadapannya saat ini hanya seorang perempuan paruh baya dengan pakaian bajunya yang sedikit lusuh dan ia juga menggunakan kamben.
"Maaf ini mbak Santhi ya ?" tanya wanita paruh baya.
"Iya."
"Saya di suruh sama den Sapta buat mijitin mbak Santhi supaya kakinya bisa enakan."
"Oh, tapi saya baik-baik aja."
"Udah, kalau sakit bilang aja mbak Santhi."
"Hmm.. iya bik."
"Ya udah bik silakan masuk," lanjut Santhi.
"Panggil aja saya Bik Arum."
"Oh, iya bik."
Santhi lalu mempersilakan wanita itu masuk ke dalam rumahnya yang cukup elit. Santhi masih saja jalannya pincang dengan tubuhnya terseok-seok. Kelihatan dari raut wajahnya kalau ia tidak bisa mengelak di depan wanita ini yang sudah berumur.
Gadis itu terperanyak dan membuat kakinya tambah kesakitan. Sungguh Sapta sangat menggubrisnya.
"Mari saya pijat kakinya."
"Tapi, bik Arum nggak kenapa nyentuh kaki saya, ya takutnya saya dosa, bik Arum kan orangtua."
"Nggak kenapa mbak Santhi, ini sudah kewajiban saya. Mari saya pijat kakinya," ucap Bik Arum sambil tersenyum.
Bik Arum mulai memijat punggung kakinya sedikit demi sedikit bik Arum memijatnya agar Santhi pun tidak langsung merasa sangat kesakitan. Di pijat secara halus dan perlahan saja membuat Santhi merasakan nyeri yang sudah berdenyut di otot-otot kakinya. Sampai suatu ketika bik Arum langsung memijatnya dengan cukup keras namun setelah itu bik Arum menyuruh Santhi untuk mengompresnya menggunakan es batu tujuannya untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
"Setelah ini mbak teh harus langsung di kompres pakai es batu, pokoknya yang dingin."
"Siap bik. Tapi sakit banget setelah di pijat ya."
"Memang begitu Santhi, tapi setelah itu mbak lebih lega kan."
"Hmm.. iya."
"Ya sudah kalau gitu saya langsung pulang ya."
"Loh bik, kok buru-buru."
"Iya soalnya masih banyak orang yang harus saya pijat."
"Oh, gitu tapi makasih ya bik udah nyembuhin kaki saya."
"Makasinya sama pacar mbak aja."
"Siapa ?" tanya Santhi.
"Ya siapa lagi kalau bukan den Sapta. Den Sapta sendiri yang bilang kalau mbak itu pacarnya."