Chapter 2. Hadapi Hidup dengan Senyuman

129 18 0
                                    

******

Waktu berlalu seperti kilasan fatamorgana yang menyentuh permukaan kehidupan. Tidak terasa waktu berganti hari, tahun berlalu meninggalkan kejadian pada malam penyekapan, seolah tragedi itu tak pernah terjadi. Orang-orang pun telah melupakannya, tetapi tidak dengan gadis kecil yang kini telah tumbuh dewasa.

Sareena memilah lembar demi lembar dedaunan hijau beraneka ukuran dan bentuk di atas nyiru. Tangannya sibuk bekerja tetapi matanya sesekali mengamati kumpulan anak-anak remaja tanggung yang sedang berkumpul nongkrong di atas sepeda motor diparkir di bawah pohon rindang. Kumpulan anak remaja laki-laki dan perempuan itu sedang riuh bercanda dan ada juga yang lebih memilih bermain dengan benda pipih persegi yang tak bosan-bosan mereka usap juga pandangi. Tentu saja Sareena hanya bisa memandang obyek perhatiannya melalui jendela kecil di gubuk tersebut.

"Apa yang sedang kamu lamunkan, Sareena?" Suara serak seorang pria renta membuyarkan fokusnya. 

Seketika Sareena menoleh ke sumber suara. Seorang pria tua berumur hampir tujuh puluhan keluar dari bilik tidurnya. Kakek itu memiliki fitur wajah lembut dan penuh karisma. Jejak ketampanan masih membekas di wajah itu takbisa ditutupi sepenuhnya oleh kerutan-kerutan usia senja.

Kai Madjid biasa orang-orang memanggilnya. Kai adalah sebutan untuk kakek yang diambil dari bahasa suku Bare’e yang berdiam di pulau Sulawesi bagian tengah. Konon Kai Madjid meninggalkan tanah asalnya saat masih muda, berpindah dari satu daerah ke daerah lain hingga menetap di dusun Pekasan ini. 

Kai Madjid tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Seperti itulah yang diketahui warga dusun dan orang-orang yang mengenalnya. Kakek tua itu menghabiskan hidupnya untuk meramu tanaman menjadi obat-obatan serta membantu warga yang membutuhkan pengobatan herbal. Dia bukan ahli medis umumnya, tetapi kemampuannya telah terkenal ke berbagai daerah sebagai herbalis handal yang memiliki ilmu sakti mandraguna. Terdengar berlebihan memang, tetapi Kai Majid tidak terlalu peduli.

"Kakek mau makan siang?" tanya Sareena sembari menyusun dedaunan yang telah dipilah pada beberapa kantong plastik usang. Sang kakek hanya berdeham. 

Sareena merapikan selendang yang melilit kepalanya dan menutupi sebagian wajahnya. Saat selendang itu tersingkap akan menampakkan guratan bekas luka yang cukup lebar di sisi kanan wajahnya. Ketika dia melangkah ke arah dapur, terlihat kaki kanannya yang sedikit pincang.

Setelah berkutat sejenak di dapur sempit milik mereka, Sareena kembali ke ruang tengah dengan sebuah nampan besar yang berisi sepiring nasi jagung, semangkuk sayur bening, dan sepotong besar ikan asin. Tak lupa sedikit sambal terasi kesukaan Kai Madjid. 

Sareena meletakkan nampan di atas bale-bale yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang berobat, juga sebagai tempat makan serta menyiapkan tanaman obat. Beberapa nyiru dan kantong plastik berjajar rapi di atas rak obat-obatan.

"Makanlah cepat. Setelah salat zuhur bersiaplah. Kita akan berkunjung ke dusun sebelah untuk memeriksa juragan padi yang sakit," kata Kai Madjid mulai menyendok makanan ke piringnya. Sareena hanya mengangguk. Dia pun segera mengisi piringnya dan makan dengan lahap. 

*** 

Suara musik mengentak di ruangan dengan pintu tertutup rapat. Sekilas dari luar bangunan itu terlihat seperti sebuah bangunan ruko biasa, namun siapa sangka jika tempat itu adalah sebuah studio foto milik seorang fotografer yang sangat terkenal.

"Oke, outfit terakhir," seru sorang pria muda berambut sebahu yang dijalin asal-asalan. Sebuah kamera pro diarahkan pada seorang model sedang berpose dengan berbagai gaya. Sang model meliukkan tubuh sambil memamerkan outfit yang digunakan.

Gadis Penyembuh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang