🍂🍂🍂
Endra membuka mata perlahan, langsung bersirobok dengan cahaya lampu yang menyilaukan berpadu dengan cat dinding berwarna putih. Matanya mengerjap berulang kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Kepalanya pun masih terasa berdenyut. Sebuah jarum yang terhubung dengan tabung IV tergantung pada sebuah tiang besi menyadarkan Endra bahwa dia sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
"Sudah bangung, Bro?" Suara berat dengan nada khawatir yang tak bisa disembunyikan mengalihkan fokus Endra. Dia mendapati Jeremy sedang duduk menyilangkan kaki di sofa. Endra berusaha bangun meskipun rasa pening belum sepenuhnya hilang.
"Sudah lama di sini?" tanya Endra sembari menyandarkan punggungnya pada bantal di belakangnya.
"Gue yang bawa elu kesini. Kalau mau bunuh diri sono noh terjun dari jembatan, bukan gak makan sama sekali. Gak elit banget cara elu bunuh diri," omel Jeremy.
Pria berambut pirang itu beranjak dari tempat duduknya lalu membuka bekal berisi bubur. Dengan cekatan dia mengatur makanan dan minuman diatas meja kecil khusus pasien.
"Elu yang memasak ini untuk gue?" tanya Endra dengan wajah sengaja dibuat berbinar. Dia ingin menggoda kawan baiknya tersebut.
"Emang napa?" balas Jeremy.
"Aku terharu atas perhatianmu," goda Endra.
"Terharu kepala elu. Itu buatan emakmu. Dia yang bawa ke sini waktu elu belum siuman," sentak Jeremy. Dia kembali duduk di sofa sambil menimang sebuah apel.
"Mama gue ke sini?" ulang Endra.
Tangannya yang bersiap menyuap sesendok bubur berhenti di udara. Jeremy hanya mengangguk karena mulutnya sibuk melahap apel di tangannya.
Endra terdiam dan melanjutkan makan. Tidak dipungkiri kalau perutnya benar-benar lapar. Dia sudah lupa kapan terakhir makan hanya karena terus memikirkan rasa sakit yang sering menyerang beberapa hari terakhir.
Pintu kamar diketuk dari luar. Sesaat kemudian muncul Dokter Wawan Purba yang ditemui Endra sehari sebelumnya. Dokter paruh baya tersebut langsung tersenyum mendapati Endra sudah sadarkan diri, sedangkan Endra langsung menyisihkan mangkuk bubur yang isinya tinggal sedikit ke atas meja di sebelah ranjang kemudian meneguk isi gelasnya dengan tergesa.
"Santai saja, Pak Endra," ujar Dokter Wawan.
"Silahkan duduk, Dok." Jeremy menawarkan sebuah kursi kepada sang dokter dengan sopan.
"Oh, terima kasih." Dokter Wawan duduk di kursi yang diletakkan di samping ranjang rawat Endra sebelum melanjutkan, "Ada yang akan saya sampaikan kepada Anda."
Endra duduk tegak dengan wajah sedikit tegang. Setelah tes kesehatan kemarin, Dokter Wawan berjanji akan memberitahukan hasilnya hari ini. Jadi, mungkin dia datang untuk tujuan itu.
"Silahkan, Dok," tukas Endra dengan senyum tipis.
Dokter Wawan menoleh ke arah Jeremy sejenak. Endra yang paham maksud sang dokter langsung menambahkan. "Ini Jeremy, dia sahabat dekat saya. Tidak apa-apa jika dia mendengarkan apa yang Dokter katakan."
Dokter Wawan menganggukkan kepala kemudian mengambil sebuah catatan dari saku jas snelinya. Dokter paruh baya itu terdiam sejenak seolah merenung lalu beralih menatap wajah Endra dengan seksama. Endra menanti dengan jantung berdebar tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Penyembuh (TAMAT)
Ficción General*🏆Winner of Sunny-Autumn Writing Challenge 2021🏆🥇* Blurb: Apa yang akan dilakukan seorang fotografer terkenal Endra Arifiandi Putrawan ketika dia harus mengahadapi kenyataan bahwa dirinya mengidap penyakit misterius yang tak bisa disembuhkan oleh...