Panggilan Kerja

48 3 1
                                    

Setelah setahun menganggur pasca wisuda, akhirnya ada juga perusahaan yang mau menerimaku jadi karyawannya. Itu artinya Adelia harus mengucapkan selamat tinggal pada kaum rebahan, karena sebentar lagi akan jadi wanita kantoran.

"Yeay ... yuhuuuuu!" sorak gembiraku tak bisa tertahan setelah membaca e-mail masuk dari perusahaan tekstil terbesar di kota ini.

"Apaan, sih, Del?" tanya Si Tukang upil yang selama ini setia menjadi teman sekamar nge-kos.

Secepat cahaya langkahku menuju ranjangnya dan mendaratkan tubuh ke atas kasur yang sama sekali tidak empuk. Tak disangkah gadis tengah berbaring itu tertular semangatku, langsung saja ia duduk, mungkin juga jiwa keponya lagi mode on.

"Ini, loh ... Jar, aku diterima kerja, yeay!"

"Di mana?" Dejar yang bau iler di sampingku duduk semakin mepet.

"Di perusahaan tekstil terbesar itu, Jar!" tuturku dengan sejelas-jelasnya agar otak dia yang setahun ini membeku bisa paham.

Yah, setelah wisuda bersama kami memutuskan untuk tidak pulang kampung dan mencoba cari kerja di ibu kota, tetapi kenyataannya selama setahun ini malah menjadi beban negara, alias menambah angka pengangguran.

"Yang CEO-nya terkenal tampan itu yah, Del," tuturnya sok tahu, entah dari mana isu seperti itu sampai di telinganya. Kalau soal cakep Dejar memang paling laju.

"Mau cakep kek, mau jelek kek, bodoh amat! yang penting sekarang aku dapat kerjaan ...."

Terlalu senang tak sadar kedua tanganku memeluk Dejar yang seharian belum mandi, aroma keteknya menyerbak menusuk hidung. Tak beda jauh denganku, terakhir kali diguyur air dua hari yang lalu. Hehe.

Sebenarnya aku belum sepenuhnya diterima kerja di perusahaan itu, masih ada satu tahapan lagi yakni harus ikut interviu.

Namun, setidaknya Adelia harus bersyukur, selama ini terluntang-lantang ke sana kemari membawa berkas lamaran kerja tidak juga membuahkan hasil. Rupanya Tuhan sudah menyediakan nasib baik untuk hambanya yang sabar ini.

Karena setengah jam lagi pukul sepuluh, aku harus bergegas mandi, luluran, sampoan biar kotobe yang berkoloni ini pada rontok.

"Jar, odolku habis ...!" teriakku dari dalam kamar mandi.

"Sama, Del! Aku udah tiga hari enggak gosok gigi!" teriaknya balik.

"Eh, gile bener ... pantas aja bau lu kayak comberan!" keluhku dengan suara pelan berharap ia tidak dengar.

Terpaksa kusuruhi Dejar untuk mengambilkan pisau di rak yang ada di dapur kecil kami. Tanpa menunggu lama, Dejar mengetuk pintu, segera kubuka sedikit lalu mengambil benda tajam yang ia berikan. Tak lupa menutup kembali pintu dari bahan plastik ini.

Tak ada cara lain, selain memotong wadah odol yang sudah tak bisa dipencet. Aku sangat yakin masih ada isinya menyempil di sudut-sudut. Benar saja, saat terpotong jadi dua, kucolok dengan jari, rupanya masih bisa dipakai untuk beberapa hari ke depan. Lumayan untuk irit uang yang sudah sekarat.

Setelah selesai membersihkan seluruh tubuh, aku berlarian kecil menuju lemari plastik warna cokelat bergambar teddy bear di sudut kamar.

Saat pintunya terbuka terpampang pakaian yang tak lagi beraturan, entah aku lupa kapan terakhir kalinya melipat pakaian-pakaian ini.

Jemariku menyusuri kain di dalam sana, mencari sosok kemeja dan rok yang biasa kupakai saat melamar pekerjaan. Beberapa menit kemudian akhirnya ketemu juga.

"Jar, pinjam setrikaan, dong!" seruku pada gadis yang sibuk mengelus layar handphone-nya.

"Udah rusak, Del ... tuh!" ucapnya santai sambil memajukan bibir ke arah setrika yang kabelnya pada mencuat ke luar.

"Haiksss!"

Masih dengan baju mandi aku mencoba ke luar kamar, siapa tahu ada tetangga kos yang mau meminjamkan benda untuk menghilangkan kekusutan itu. Namun, naas sekali, mungkin karena libur kuliah para penghuni kos pada pulang kampung atau apalah aku tak tahu jelas.

Dengan rasa terpaksa kupakai kemeja yang kusut minta ampun itu dengan rok yang lipitannya hampir hilang. Duhai ibu peri, di mana kini kau berada, tolong rubah pakaianku ini jadi kinclong.

Dengan posisi rukuk dengan rambut basah menjuntai ke bawah, kugosok-gosok handuk di kepala agar cepat kering.

Setelah selesai menyisir, kuambil ginju dari atas lemari. Pewarna bibir dengan warna merah terang kupoleskan dengan hati-hati. Sekarang Adelia Sujojo tidak lagi terlihat pucat.

Di depan cermin kupastikan penampilan ini benar-benar sudah menarik, agar siapa saja yang akan melakukan interviu akan terpikat denganku. Tak lupa membawa tote bag kesayangan.

Terakhir mengambil sepatu dari dalam kardus, lumayan berdebu. Kutarik baju kumal di depan pintu yang bermetamorfosis jadi keset untuk memhempas debu-debu yang menempel di sepatu hitam mulai jelek, tapi tak apa karena Adelia selalu bersyukur.

"Dejar, aku berangkat dulu, doain yah ... biar lolos. Kalau berhasil, aku traktir, deh!" pamitku sembari meminta doa restu pada sahabat seperjuangan.

"Okey, mau traktir apaan?" tanya gadis yang memamerkan gigi kuningnya.

"Ci- lok ... hehe."

Tertangkap sorot mataku senyumnya seketika pudar, alih-alih sumpah serapah yang mengiringi langkah ini meninggalkan indekos.

Selangkah lagi Adelia Sujojo akan menjadi orang terpandang di kampung, menjadi anak kebanggaan orang tua. Kalau nanti sudah berhasil diterima menjadi karyawan, aku harus bisa menarik Dejar kerja bersama.

Lima menit berlalu belum juga ada angkot yang lewat. Kulirik jam digital di handphone sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Lumayan masih ada waktu untuk perjalanan.

Akhirnya yang ditunggu datang juga, angkot warna biru kelabu menghampiriku. Hanya sekali lambaian tangan driver mengerem mendadak.

Dari tengah jalan aku berlarian masuk ke dalam angkot, melewati karnet yang berdiri di ambang pintu. Sekarang jadi bingung mau duduk di mana, tak ada lagi kursi yang kosong.

"Bang, gimana sih ... kalau udah full gini ngapain nambah penumpang!" protesku pada abang sopir angkot.

"Lah, gimana, sih ... kan, Eneng yang maksa naik, pake nyetop di tengah jalan segala!" cetus lelaki yang sibuk memutar setir. Para penumpang tak mau kalah memandangi Adelia yang cantik ini.

Mau bagaimana lagi, kulihat ke belakang ada dua ekor ayam yang sudah berak entah milik siapa, di sisi kiri nenek-nenek sibuk menggosok pelipisnya dengan minyak cap kampak, di sebelahnya emak-emak menyusui balita seakan tak peduli gunungnya kelihatan, di sisi kiri bapak-bapak mengapit karung ikan asin. Sunggu perpaduan aroma yang luar biasa.

Sepanjang jalan kenangan dengan menahan nafas yang hampir habis, akhirnya tiba juga di depan sebuah gedung bertingkat, tempat tujuanku, entah berapa lantai, belum sempat menghitungnya. Sebelum turun kuserahkan selembar uang bergambar pahlawan Imam Bondjol pada driver angkot.

"Akhirnya, masih ada waktu lima menit tersisa," gumamku saat melirik kembali jam di handphone.

Rasa gugup bercampur malu membuatku jadi kaku, tapi kuupayakan untuk mengatur debar jantung dengan menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskan kasar lewat mulut.

Melangkah kikuk menuju sebuah pos tempat Security berjaga sambil melihat-lihat pada gedung megah. Sebentar lagi aku akan menjadi bagian dari perusahaan ini.

"Permisi, Pak!" sapaku pada lelaki bertubuh tegap memakai pakaian putih hitam.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya Security itu dengan suara ngegas, bikin aku makin gugup.

"Sa- sa- saya mau interviu." Sial, baru ditanya seperti ini saja sudah terbata-bata bagaimana mau diwawancarai.

Bersambung ....

PERNIKAHAN ANAK KOS & CEO TAMPAN  (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang