"Gimana? Enggak lama, kok tiga bulan saja," bujuk Tuan Ares dengan wajah memelas, rupanya si Kuat ini bisa berpose seperti itu juga.
Tiga bulan bukan waktu yang singkat, ada sembilan puluh lebih hari untuk mendampingi seseorang yang kenal saja tidak. Apakah aku bisa bertahan, jadi istri sementaranya?
Tapi bagaimana cara Adelia bicara dengan bapak, takutnya orang tua yang punya penyakit jantung itu bisa langsung mengakhiri hayat kalau dengar aku tiba-tiba izin menikah, dan emak bakalan sakit telinga dengar-in gosip tetangga yang mengira aku hamil di luar kandungan. Eh, bukan. Di luar nikah.
"Tunggu sebentar, aku pikir-pikir dulu," ucapku dengan nada berat. Sungguh, asli kali ini sangat sulit menarik keputusan.
"Jangan kelamaan, dua hari lagi om Surya sudah di sini," desak tuan Ares seakan tak memberiku cela untuk berpikir. Menurut dia mengambil keputusan menikah semudah mengambil duit dari ATM.
Kalau dipikir-pikir lebih dalam, sepertinya aku bisa meraup keuntungan dari mereka, jadi istri CEO, dapat kerja, dan tinggal di rumah mewah, bukan kah sesuatu yang menyenangkan?
"Aku mau terima, tapi ada satu syaratnya. Selama tiga bulan jadi istri siri aku tidak ingin buat anak, sediakan kamar untuk aku tidur sendiri," tuturku setelah memilih kata yang pas untuk memberi tahu maksud pembicaraan, supaya tidak akan ada atraksi belah duren.
"Baiklah, tidak akan ada. Kamu, cukup menikah dan mendampingi Haris selama ayah dan uminya ada di sini," tandas tuan Ares dengan tatapan serius.
Kedengarannya cukup mudah, tapi aku tidak bisa menerima begitu saja tawaran ini, sebagai anak yang berbakti pada kedua orang tua harus meminta restu mereka dulu.
Namun, tak akan mungkin aku ceritakan kalau menikahnya hanya untuk tiga bulan, bisa dihapus nama Adelia Sujojo dari kartu keluarga. Isi kepala jadi kacau mencari titik terangnya, bagaimana cara supaya mereka bisa mengerti.
"Aku telepon bapak sama emak dulu, bisa?" tanyaku ragu-ragu.
"Iya, silakan ... yakinkan orang tuamu. Kalau siap, nanti pagi pak Udin jemput mereka!" seru tuan Ares yang menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
Aku berharap bapak tidak akan kaget dengan berita dadakan ini. Kucoba menelepon Alika adikku yang masih sekolah SMP.
Suara ‘tut tut’ saat menunggu panggilan tersambung bak suara kereta api, membuatku memutar kembali memori kerinduan ketika pulang kampung.
"Halo, Dek ...!" sapaku ketika teleponnya diangkat.
"Iya, ada apa, Kak? bapak belum ada duit, jadi jangan minta kiriman dulu, bayar buku aku sama Dafa saja belum lunas," serbu Alika dari balik telepon, sepertinya anak ini mewarisi sifat emak. tanpa memberiku cela untuk bicara ia sudah mendahului seenak jidatnya.
"Kakak belum ngomong ini, Dek ... bapak sama emak ada?"
"Ada di belakang, tunggu sebentar aku kasih dulu hapenya," jawab Alika sigap.
Rasanya semua kata yang ingin disampaikan menghilang dari ingatan, otakku bekerja keras menyusun kembali kalimat yang baik dan benar untuk merayu kedua orang tua itu.
"Halo!" teriak suara nge-bass, sudah pasti itu bapak.
"Iya, halo ... bapak sudah makan?" Aku basa-basi dulu, baru kali ini bicara dengan bapak sendiri serasa mau ngomong dengan bapak orang.
"Ada apa, langsung saja, nanti pulsa adikmu habis kalau kebanyakan ngomong!"
Bagaimana ceritanya aku yang telepon pulsa Alika yang habis, bapak harus diberi pencerahan.
"Aku yang panggil ini, Pak. Enggak bakalan abis, kok. Jadi gini, Bapak-"
"Bapak belum punya duit, Kamu kalau belum dapat kerjaan pulang saja secepatnya. emak sama bapak sudah pusing tujuh tikungan, kang Didin nagih bapak terus. Kalau bukan untuk bayar kamu kuliah, emak ngak bakalan minjem duit sama rentenir bajingan itu. Pulang secepatnya, nikah sama kang Didin biar hutang lunas!" Suara yang ngerap sudah jelas dia emakku. Telinga ini hampir saja menyerah jadi bagian dari tubuh mendengar ocehannya tanpa jeda.
Sepetinya bukan waktu yang tepat untuk menceritakan kabar pernikahan, beban pikiranku malah semakin bertambah.
"Baiklah, Emak. Nanti Adelia telepon lagi."
Kuputuskan telepon, tulang belulang dan hati terasa nyeri. Antara kasihan dan sebel tapi takut jadi anak durhaka, dikutuk jadi maling, terus dikandangi.
"Aku boleh minta satu permintaan lagi?" Kutatap wajah yang sedari tadi mendelik.
"Katakan saja, jangan ragu-ragu!" tukas tuan Ares yang memperbaiki posisi duduknya.
"Kasih aku uang seratus juta. Eh, bukan sepuluh juta."
Kalau mereka mau memberikan aku uang sepuluh juta, akan aku kirim ke kampung untuk membayar utang pada kang Didin.
"Untuk apa uang sebanyak itu?" nyolot tuan Ares yang seperti tidak terima.
"Berikan saja!" seru lelaki tampan yang baru saja selesai mandi, tak sengaja kulihat tubuhnya yang hanya terbalut handuk, dan rambut yang basah.
Sudah kuduga, uang sebanyak itu tidak ada apa-apa bagi orang kaya seperti dia. Aku semakin yakin untuk jadi istri sirinya. Toh, hanya sebatas status.
"Tapi, untuk apa dulu uangnya?" tanya tuan Ares yang sangat perhitungan.
Ingin kukatakan mau beli cilok, barangkali saja dia langsung geger otak, tapi tak ada gunanya, yang ada tuan Haris malah mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk pengobatannya.
"Di kampung bapak jodohin aku dengan kang Didin, karena bapak enggak sanggup bayar hutang." Terdengar seperti cerita yang dibuat-buat, namun begitulah kenyataannya.
Tuan Ares menjelajahi pupil mataku seperti seorang psikolog yang mencari letak kebohongan.
Karena tuan Haris sudah deal, aku pun setuju maka pernikahan siri akan dilaksanakan dua hari lagi. Besok pak Udin akan menjemput keluargaku di kampung. Betapa bangganya bapak sama emak dijemput pakai mobil. Adelia Sujojo pasti akan jadi buah bibir menikah dengan pengusaha kaya.
Tuan Ares mengantarku ke kamar yang sudah disediakan, masih di lantai dua juga, dan tak kalah mewah dengan kamar tuan Haris. Ada springbad king size, televisi rasa layar bioskop, sofa empuk, AC dan kamar mandi di dalam lengkap dengan shower juga bathtub.
Dari balik gorden putih yang berlubang-lubang aku bisa melihat pemandangan, jendela ini berhadapan langsung dengan taman. Ya ampun, rasanya seperti sedang menginap di hotel bintang tujuh, bikin hilang sakit kepala.
Tidak puas hanya dengan melihat dari dalam, aku membuka pintu kecil yang menghubungkan ke balkon. Sambil berdiri di belakang pagar pembatas, aku melihat-lihat sekitar rumah, meski ada sedikit rasa pusing berada di ketinggian.
"Kok bisa sih, nih orang kaya banget," gumamku yang takjub.
Karena hari semakin petang, langit tampak kekuningan. Hawa-hawa malam mulai terasa. Aku bergegas masuk dan menutup kembali pintu, tak lupa menarik gorden warna cokelat menutupi kain yang transparan.
Ingin segera kucoba mandi di bathtup, entah bagaimana rasanya berendam di dalam loyang besar itu.
Dengan hati-hati aku masuk ke dalam kamar mandi, membuka satu persatu pakaian. Sebelum berendam kucelupkan tangan terlebih dahulu mengecek suhu airnya. Rupanya dingin.
"Aku ingin berendam dengan air hangat, bagaimana caranya?"
Pada sisi dinding ada sebuah benda persegi yang memiliki tombol, tapi aku bingung apakah itu khusus bathtup atau bagaimana. Aku takut kalau salah pencet malah berefek fatal.
Kuambil handuk yang tergantung di dalam kamar mandi untuk menutupi tubuh, siapa tahu saja ada pelayan yang bisa membantu, sambil mengendap berjalan keluar kutajamkan penglihatan.
Baru beberapa langkah keluar.
"Arrrrrrrggghhhh ...!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN ANAK KOS & CEO TAMPAN (18+)
HumorAdelia Sujojo, seorang gadis lugu yang tinggal nge-kos. Siapa sangkah, panggilan interviu untuk kerja dari perusahaan tekstil malah menjerumuskan dia ke dalam pernikahan siri dengan CEO tampan. Yuk, simak seru dan lucunya Adelia Sujojo dalam kisah i...