Diculik

13 2 0
                                    

Karena posisi ranjang yang lebih tinggi dari lemari, kulirik mangkuk berukiran tinta warna keemasan yang ada di atasnya. Dalam mangkuk itu ada bubur bercampur sayuran, lumayan untuk mengobati rasa lapar yang membabi buta.

"Udah, buruan makan! enggak ada racunnya, kok," oceh lelaki yang sibuk merapikan kemeja hitam yang baru saja menutupi tubuh kekarnya.

Dengan tampang pura-pura jaim, badan kurus ini kuseret menepi ke sisi ranjang sambil mengulurkan tangan, meraih nampan dari atas bufet. Air putih segelas segera kuteguk, terasa segar sekali masuk ke dalam tenggorokan, kayak ada rasa manis-manisnya. Tanpa menunggu perintah lagi segera aku lahap bubur yang enaknya baru kali ini Adelia rasakan.

Bubur rasa nambah.

"Kita interviu sambil makan saja, aku masih ada urusan yang lebih penting," songong lelaki yang kini duduk di sofa, cara dia memperhatikan aku makan bikin susah menelan.

Sambil mengemut bubur kuanggukkan kepala padanya sebagai tanda setuju. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan diwawancarai dengan cara yang aduhai seperti ini, di kamar mewah, sambil makan, bosnya ganteng juga. Eh, entah ... aku belum tahu jabatan orang ini bos atau apa, tapi dari gelagatnya ia sok nge-bos.

Seingat pikiran ini tadi malam tidak mimpi aneh-aneh, tapi sekarang dewa keberuntungan sedang berpihak pada Adelia Sujojo, bahagianya aku.

Semoga saja langsung ditawari jadi Manajer atau Direktur. Ya ampun impianku luar biasa sekali. Kalau saja jadi kenyataan, aku bakalan memecat orang di kantor perusahaan tadi yang sudah tega membiarkanku pergi begitu saja.

"Nama siapa?" Pertanyaan pertama yang sangat muda.

"Adelia Sujojo!" jawabku bangga sebagai anak sulung dari bapak Sujojo.

"Umur."

"Tiga puluh dua, ehe dua puluh tiga, hehe ...." Lirikan matanya lumayan menyeramkan, sepertinya sedang tidak mood diajak bercanda.

"Alamat!" tanya suara dingin bernada berat. Eh ... cobalah pikir betapa cool-nya orang ini.

"Jalan Bangau, kos-an pelangi!" Kalimatku membuat keningnya mengernyit. Entah apa yang sedang dipikirkan si Bos cakep.

"Oke, cukup! sehabis makan, kamu kembali ke kos, bawa semua barang-barang yang kamu perlukan ke sini," lelaki yang aku belum tahu siapa namanya kini beranjak dari sofa mengambil tasnya lalu keluar begitu saja, bahkan dia tidak memberi tahu pekerjaan apa yang akan diberikan.

Otakku berpikir sejenak, sepertinya barusan itu bukan interviu, tapi sedang mengajak untuk berkenalan, mana ada interviu semacam itu, dia belum menanyakan latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, kelebihanku dan lain-lain.

Rasa-rasanya orang ini sedang mempermainkan Adelia Sujojo. Lagi pula untuk apa dia menyuruh memindahkan barang-barang dari kos ke rumah ini. Tak lain dan tak bukan pasti akan memperkerjakan aku sebagai pelayan di sini. Sial!

Dengan hati-hati aku turun dari atas pembaringan mewah, sambil berjalan mengendap mengintip keluar. Mataku hampir saja menggelinding ke lantai saat menyaksikan rumah yang mirip istana.

"Wuah, fantastis!"

Ada banyak guci berkilau dan perabot yang menyilaukan pandangan, lantai bersih bagai cermin, lukisan-lukisan aneh terpajang di setiap sisi dinding. Aku mengosok-gosok mata, barangkali saja ini hanya efek katarak.

"Non, ayo saya antar!" Suara seorang lelaki mengagetkanku saat baru saja melangkah ke luar kamar.

"Eh, makasih ... enggak usah, Pak. Saya naik angkot saja! Permisi." Sambil berlarian kecil ke sembarang arah aku kebingungan mencari pintu keluar.

"Pintunya sebelah sana, Non!" Lelaki tua itu menunjuk ke arah kiri, segera kuikuti arahannya.

Aku baru tersadar ternyata sedang berada di lantai dua ketika melihat tangga, dengan tergopoh-gopoh kuturuni anak tangga terlapis karpet sambil berpegangan dipagar besi yang menjulang hingga bawah.

Ada dua wanita melihat setiap pergerakanku, kalau dilihat dari baju seragam yang mereka pakai sepertinya pelayan. Tanpa memedulikan orang-orang itu aku terus berjalan menuju pintu besar, semoga saja pintu utamanya.

Syukur tak terkira akhirnya lolos juga, semakin aku memacu langkah, melewati taman yang sangat terawat menuju pintu gerbang. Sialnya di depan ada security yang berjaga sedang mengintaiku.

"Mau ke mana, Non?" tanya Security kepo ingin tahu urusan orang lain.

"Pulang!" jawabku tanpa basa-basi.

"Kenapa tidak di antar Si Udin?" Mungkin si Udin itu bapak tua tadi, yang menawarkan untuk mengantarku.

"Eh, dia lagi sakit perut, enggak apa-apa aku naik angkot saja, tolong bukain pintunya," seruku pada orang yang lebih tua, semoga saja tidak berdosa.

Untung saja Security ini percaya, ia membukakan gerbang hanya dengan sekali klik dari benda yang ia genggam, benar-benar canggih. Tak ingin lama-lama tercengang aku segera keluar dan berlari menjauh dari gerbang.

Di bawah terik matahari yang menyengat aku berjalan menyusuri trotoar dengan keringat bercucuran, ada banyak angkot berkeliaran, tapi sayang saat menggeledah isi dompet hanya tersisa lima ribu rupiah.

Masih cukup untuk bayar, tapi kalau dipakai sekarang, besok sudah enggak ada uang untuk jajan. Mau tak mau jalan kaki saja sampai kos.

Tak mengapa, hal semacam ini sudah biasa, lagian jalan kaki kan sehat, makanya aku langsing. Jaraknya juga tidak terlalu jauh, hanya jalan terus, ketemu persimpangan belok kiri, jalan lagi terus, belok kanan, terus, sampai deh. Yang terpenting sekarang perut sudah kenyang.

"Orang tadi siapa, yah? apa jangan-jangan orang ganteng yang Dejar maksud itu--" Tak bisa kuteruskan kata-kata, mulut mengangga dengan mata melotot.

Keterlaluan mentang-mentang orang kaya tampan suka bertindak semena-mena, hanya melihat penampilan orang lain dari luarnya saja, dia tidak tahu kalau Adelia Sujojo yang pakai kemeja kusut ini lulus dengan predikat cumlaude.

Kira-kira sekitar setengah jam baru lah aku sampai di depan kos. Tenggorokan sangat kering, kulit memerah dan kaki pegal. Dalam keadaan tertatih-tatih aku berusaha menuju kamar nomor sembilan.

"Huwaaaah Dejar ... ambilkan air cepat!" teriakku saat mendaratkan tubuh ke teras kecil di depan kamar.

"Lah, kamu kenapa?" tanya Dejar saat membuka pintu sambil menyodorkan segayung air yang ingin kusiram di rambut lepeknya.

"Air minum, Cah ayu ... Geulis ... beautyful ... semprul, woy!"

Harus menekan emosi dalam-dalam menghadapi sahabat model kayak begini, memberinya sedikit pujian bisa membuat pikirannya terbuka lebar, terbukti secepat kilat ia mengambilkan segelas air untukku.

Tegukan demi tegukan sampai gelas kosong, kembali kuberikan gelas pada Dejar yang menatap penuh tanya.

"Aku tadi di culik!" curhatku, sambil mengatur nafas.

"Hah? Kok bisa, terus penculiknya mana? tadi cara kamu kabur gimana? plis cerita dong, Del ... siapa tahu bisa jadi bahan novel gue!" cetus Dejar melebihi kecepatan emakku yang suka nge-rap kalau lagi mengomel.

Dasar sahabat enggak ada akhlak, sempat-sempatnya berpikir mengambil keuntungan dari aku yang baru kena apes. Namun, meskipun dia bikin kesal, kemampuannya menulis bisa aku diacungi jempol. Terlalu banyak rebahan, kemahirannya mengelola kata-kata malah semakin lejit.

Bersambung ....

PERNIKAHAN ANAK KOS & CEO TAMPAN  (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang