Bagian I

30 2 0
                                    

"... Untuk daerah Bandung dan sekitarnya, diperkirakan hujan akan selalu turun dari siang hingga sore hari dalam beberapa hari kedepan. BMKG menyatakan, curah hujan tersebut disebabkan oleh perubahan arah angin selatan yang cukup ekstrim karena faktor globalisasi."

Mega senja seharusnya sudah mulai menyebar rata di ambang cakrawala pada saat itu, namun langit angkasa tidak kunjung menampakkan mentari. Prakiraan cuaca memprediksi hujan akan turun mulai pada hari itu hingga beberapa hari ke depan, jadi gelapnya dunia luar tidak mengejutkan Renava Julianto yang menengok ke sudut jendela kelasnya, baru saja terbangun dari lamunannya. Dirinya sedang menjalani jeda istirahat sekolah setelah jam pelajaran sesi pertama telah dilalui.

Sesuai rutinitas, Renava tetap berdiam di bangkunya meskipun teman-teman sekelasnya sudah banyak yang nangkring di depan koridor kelas, membicarakan hal-hal remeh seputar pergaulan anak SMA pada umumnya, atau cuma sekedar melampiaskan hasrat ingin berontak terhadap sistem sekolah yang mengharuskannya masuk kelas pada jam-jam tertentu dengan keluyuran entah ke mana.

Tidak ada yang mengajaknya ngobrol. Renava biasanya selalu menyibukkan diri dengan membuat catatan acak pada buku tulisnya, namun kali ini ia hanya terdiam hampa tanpa berucap apa-apa. Teman sekelasnya bukannya mengabaikannya, namun di awal-awal mereka satu kelas, setiap disapa ia hanya membalas singkat dan menjawab, "tidak apa-apa". Setiap ia diajak bergabung ke dalam obrolan, ia kerap menggelengkan kepalanya. Ia hanya merespon ketika ada hal-hal penting seputar tugas kelas atau pun meminjam catatan, namun ia selalu membalas secara singkat dan luas tanpa membuka pintu obrolan panjang.

Hingga pada satu waktu, teman-teman sekelasnya menyerah dan memilih membiarkannya hidup di alam pikirannya sendiri. Dan, layaknya jiwa manusia yang kerap membicarakan pribadi orang lain untuk mengisi obrolan, Renava bukanlah topik yang dikecualikan.

"Itu si Renava, dari tadi duduk bengong gak ngapa-ngapain. Biasanya 'kan dia nyatet-nyatet gak jelas gitu."

"Lagi ada masalah keluarga, kali. Biarin aja."

"Masalah apa ya kira-kira?"

"Mana gue tahu, gue bukan bapaknya."

"Tanyain aja gitu ya?"

"Percuma. Gak bakal jawab dia. Entar elu malah diginiin sama dia,"

Ketika salah satu teman sekelasnya menirukan raut wajahnya dengan maksud ejekan, semua yang melihatnya sontak tertawa lepas. Memang mudah menjadikan objek individu yang berbeda sebagai bahan lelucon, karena tidak ada yang lebih menggelikan selain melihat tingkah laku seorang anak yang berbeda dari yang lainnya seperti Renava.

Renava tahu akan hal itu, tahu bahwa selama ini ia mendengar gunjingan dan sindiran dari khalayak kelas karena keputusannya menutup diri dari mereka. Tidak ada keinginan darinya untuk membuka diri, namun tetap saja, guyonan mereka memunculkan rasa sakit yang terpendam dalam-dalam.

"Aku memang pantas untuk ditertawakan, tapi kenapa tetap saja terasa sakit?" pikirnya, yang tetap melamun, duduk lemas menyandarkan kepalanya di kusen jendela.

....

Pukul 2 siang lewat 30 menit. Hujan turun sesuai prediksi. Sebagian siswa tidak ambil pusing karena masih ada kegiatan ekskul yang harus dijalani, sebagian lagi yang memang sedang jadwal kosong, atau tidak aktif di ekskul manapun, memilih untuk menunggu di depan aula masuk gedung sekolah. Sebagian lagi sudah melenggang pulang dengan payung yang mereka bawa.

Renava, yang tidak membawa payung, menunggu dengan sabar sembari membuka gawainya, bukan untuk membuka media sosial, namun hanya sekedar membunuh waktu dengan memainkan game-game ringan. Sementara, siswa yang lain ada yang berkelompok untuk bermain game multiplayer bersama-sama. Mereka bukannya mengabaikan Renava, sudah beberapa kali diajak namun Renava tetap menggelengkan kepala. Selain karena game yang dimainkan berbeda, Renava juga tidak ada ketertarikan untuk bermain bersama mereka.

Hujan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang