1. One and Only Holter's

2K 285 44
                                    

Rate ✔️Komentar ✔️Share this story ✔️Happy Reading ✔️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rate ✔️
Komentar ✔️
Share this story ✔️
Happy Reading ✔️

Rate ✔️Komentar ✔️Share this story ✔️Happy Reading ✔️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 1

One and Only Holter's

Manhattan, New York.

"Sialan," desah Rain seraya memijat batang hidung di antara matanya.

"Rain, apa aku harus memberitahu istri Ryan?" tanya Robert, asisten Rain.

"Ah, iya," gumam Rain yang nyaris melupakan jika saudara kembarnya memiliki istri sekarang dan wanita itu sedang mengandung. "Biar aku yang mengurusnya."

Rain merogoh ponsel dati dalam saku jaketnya, tetapi ia tidak segera menekan kunci tombol layar ponsel di tangannya. Ia hanya menimang-nimang benda itu kemudian masukannya kembali ke dalam sakunya dan menghela napas dalam-dalam seraya menatap jenazah Ryan.

"Siapkan pemakamannya secepatnya," ucap Rain kepada Robert.

"Kau belum memberi tahu istrinya." Robert menyahut karena ia jelas melihat jika Rain belum menghubungi istri Ryan.

Rain menatap Robert dengan tatapan datar, nyaris dingin. "Apa kau tidak mendengar?"

Rain tidak suka mengulang perkataannya, ia tidak suka mendengarkan bantahan, dan dia tidak menyukai perdebatan. Di dunia ini, semua keputusan yang diambil oleh Rain adalah mutlak dan benar.

Robert mengernyit tanpa bisa berbuat apa-apa. "Baiklah," katanya sembari bergeser menjauhi ranjang di mana Ryan terbaring kaku. "Apa lagi yang kau perlukan?"

"Bawakan ponsel Ryan ke sini."

Robert mengangguk, pria tiga puluh tahun itu menjauh dari Rain untuk mengejawantahkan perintah tuannya untuk menyiapkan pemakaman Ryan.

Ryan tiba-tiba tersungkur setelah bermain basket bersama Rain sambil memegangi dadanya. Rain telah melakukan yang terbaik, ia memanggil ambulans agar Ryan mendapatkan pertolongan pertama. Sayangnya meski tim medis telah berusaha semaksimal mungkin untuk Ryan, tetap kuasa Tuhan yang bertindak. Ryan mengembuskan napasnya yang terakhir malam itu.

Rain kembali menarik kain yang menutupi wajah Ryan yang pucat tak bernyawa dan berucap, "Kalian terlalu cepat meninggalkan aku."

Ayahnya yang merupakan satu-satunya tempat mereka bergantung meninggal saat mereka berdua baru saja lulus sekolah menengah atas karena sakit dan sekarang satu-satunya keluarga yang tersisa juga meninggalkan Rain.

Ia memejamkan matanya dengan erat, membiarkan air mata merembes dan mengalir di pipinya. "Aku akan merawat anakmu," ucapannya pelan seraya membuka matanya. "Aku akan bertanggung jawab dan menjadi orang tua yang baik untuk satu-satunya penerus keluarga Holter. Aku akan mendidiknya dengan baik seperti ayah kita mendidik kita, mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung. Dan aku berjanji, sesibuk apa pun aku nanti, aku akan tetap bermain dengannya seperti ayah kita."

Telapak tangan Rain menyeka air matanya lalu meletakkan keningnya di atas kening Ryan yang dingin. "Aku menyayangimu, Ryan. Beristirahatlah dengan tenang."

Ia menjauhkan diri dari Ryan dan keluar dari kamar tempat Ryan berada kemudian duduk di lorong rumah sakit dengan hingga Robert datang bersama dengan orang-orang yang akan mengurus jenazah Ryan.

"Pemakaman akan dilaksanakan pukul sembilan pagi," ucap Robert lambat-lambat, ia bahkan tidak berani dengan terang-terangan menatap wajah Rain yang ditekuk menghadap ke lantai.

"Apa kau membawa ponsel Ryan?"

"Ya," sahut Robert dan cepat-cepat mengeluarkan benda yang ditanyakan oleh Rain lalu memberikannya.

Rain menerima ponsel yang diberikan Robert lalu menekan kunci tombol dan berusaha memasukkan kode akses, tetapi gagal. Kemudian rain menggunakan teknologi pendeteksi wajah untuk membuka kunci ponsel Ryan dan dalam sekejap ponsel itu dapat diakses.

Pria itu kembali duduk di bangku besi sambil mengotak-atik ponsel di tangannya kemudian setelah berselang beberapa menit, ia menempelkan ponsel itu ke telinganya.

"Rain mengalami serangan jantung dan dia telah tiada," ucap Rain setelah suara Claudya Avery, istri Ryan menjawab panggilan telefonnya.

"Ya Tuhan," erang wanita itu. "Di mana kau, Babe? Aku akan menyusulmu."

"Aku di rumah sakit," jawab Rain.

"Aku akan ke sana."

"Tidak perlu, kau masih dalam jam kerja." Untungnya saat mengajaknya bermain basket, Ryan sempat memberitahu jika istrinya sedang menangani kasus penting.

"Aku harus mendampingimu, kau sedang berduka karena kehilangan saudara kembarmu."

Perut Rain terasa mual mendengar ucapan Cloudy, wanita adalah makhluk penuh kepura-puraan di matanya. Jika bukan karena Ryan adalah bagian dari ILP Scurity, Rain yakin Cloudy tidak akan peduli. Wanita itu sama saja seperti wanita lain yang hanya mengincar uang keluarga Holter.

"Kau tidak perlu ke sini," tegas Rain. Nyaris sinis.

"Tidak, Babe. Rain adalah saudaramu, dia keluarga kita. Dan kewajibanku mendampingimu dalam suka dan duka, kita telah bersumpah."

Persetan dengan sumpah itu, ibunya meninggalkan ayahnya padahal mereka juga telah bersumpah di depan Tuhan.

Rain berdehem pelan. "Aku tidak ingin kau melihatku dalam keadaan sangat buruk."

"Babe, aku akan tetap ke sana."

Rain mengeratkan rahangnya, ia tidak menyukai wanita keras kepala apa lagi berani membantahnya. Tetapi, demi satu-satunya keturunan keluarga Holter, ia bersedia sedikit menurunkan egonya.

"Besok pukul sembilan kau bisa datang ke pemakaman ke GREEN-WOOD CEMETERY," ujar Rain memberitahu Cloudy. "Berpakaianlah yang pantas," lanjutnya dengan suara dingin.

Bersambung....

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak komentar dan RATE.
Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.
❤️❤️🍒

90 Days with Devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang