Sebuah Tekad

622 114 14
                                    


Jika ditanya apa yang paling ia harapkan untuk terulang kembali, itu adalah percakapan dengan topik tak biasa yang mengalir tak terasa hingga larut di meja makan kemarin malam. Meski bahan dari obrolan larut malam itu tak keluar dari lingkaran tema yang memuat 'darah, senjata, mayat, dan pelaku selicin belut sungai'.

Gong Jun tak memendam risau akan tema pembicaraan yang bisa membuat orang lain mengernyitkan dahi. Apa lagi bagi sepasang pengantin baru seperti mereka. Ia tak merasa keberatan meski percakapan yang membuat jembatan pemisah di anatara mereka berkerut satu jengkal itu bukanlah hal-hal yang membungakan hati; seperti diskusi memilih tempat bulan madu, ataupun perseteruan kecil diselingi tawa untuk memutuskan restoran tempat kencan makan malam.

Gong Jun tak masalah, meski hal yang bisa mereka bicarakan dengan kasual hanyalah masalah pembunuhan.

Ia akan membicarakan kasus pembunuhan lagi dan lagi, jika itu bisa membuatnya menggenggam beberapa cuil waktu dari dua puluh empat jam untuk berdua dengan ZheHan. Ia ingin saat-saat menyenangkan kemarin malam itu terulang kembali.

Makan malam yang tertutup tudung saji di meja makan masih menanti penikmatnya untuk pulang. Namun hingga makanan itu turun suhunya, sesuap pun masih belum berkurang dari porsinya.

Gong Jun sudah terbiasa dengan ZheHan yang terkadang pulang sangat larut. Tapi selama seminggu ia hidup berdua dengan pria itu, tak pernah didapatinya ia pulang selarut ini. Jarum merah di jam dinding terus bergerak diiringi detak, lajunya menggeser jarum pendek hingga hampir meraih angka dua belas. Hari sebentar lagi akan berganti, namun ZheHan belum juga menampakkan tanda-tanda akan sampai di rumah.

Rasa khawatir yang menggelayut berat membuatnya terpancing untuk menekan nomor ZheHan di ponselnya, melakukan panggilan darurat yang ingin menanyakan di mana dia sekarang, apakah baik-baik saja, dan perlukah Gong Jun datang menjemput. Tapi belum sempat ia menyaut ponsel yang tergeletak di atas meja, suara bel dari pintu depan mengagetkannya. Ada kelegaan yang menghinggapi, namun juga ada kecemasan hebat yang merayap-rayap.

ZheHan tidak pernah membunyikan bel. Gong Jun sudah memberinya kunci cadangan rumah ini.

Langkah tergesa mengantarkan Gong Jun ke pintu depan. Tangannya yang gemetar memutar kunci gelagapan. Apapun itu, tolong, semoga ZheHan baik-baik saja, pintanya dalam hati berulang kali.

Napasnya yang tertahan di tenggorokan menemukan jalan keluar dalam satu hembusan berat kala ia melihat ZheHan tak kurang suatu apa. Namun rasa khawatir tetap tak mau pergi. Karena ZheHan terlihat tidak baik-baik saja.

Lengan ZheHan melingkar di pundak seorang pria yang tak lebih tinggi darinya. Tubuhnya lemas bersandar pada sisi tubuh pria yang tak dikenal Gong Jun itu. Naluri membuat Gong Jun ingin mengajukan tanya tentang apa yang sudah terjadi. Namun sebuah aroma pekat yang begitu ia kenal membungkam mulutnya.

ZheHan tercium seperti segalon alkohol.

Pria yang menopang tubuh ZheHan memberi Gong Jun senyum simpati. "Dia mabuk berat. Aku harus mengantarkannya pulang. Kalau tidak, dia akan tergeletak di pinggir jalan."

Gong Jun memaksa tubuhnya untuk bekerja. Ia menghampiri, dengan tangkas mengambil alih beban yang menggelayut lunglai di bahu pria itu. ZheHan mengerang di dekat telinga Gong Jun, membuat bulu-bulu halus di lengan Gong Jun yang tertambat di sekeliling pinggang rampingnya berdiri semua.

"Aku minta maaf sudah merepotkan." Gong Jun berusaha agar suaranya tak bergetar meski ZheHan sudah membenamkan separuh wajah di lehernya. Napas hangat ZheHan menggelitik kulit leher Gong Jun yang hampir memerah. "Apa Anda mau masuk sebentar?"

Tawaran itu ia utarakan basa-basi, sekedar untuk memenuhi peran sebagai tuan rumah yang sopan. Tak lebih dari itu. Ia tau pria itu akan menolak, mengingat malam sudah semakin larut. Karena itu Gong Jun agak terkejut saat pria itu mengangguk.

Gong Jun langsung mengerjap paham. Pria itu, ada yang ingin ia bicarakan.

*

Wajah pulas ZheHan belum mendekati kenyamanan buaian mimpi. Dahinya berkerut, matanya rapat terpejam. Seperti ada bayangan kelam yang mengganggunya, menjauhkannya dari nyenyak. Gong Jun menyentuhkan ujung telunjuknya pada kerutan di dahi yang memunculkan titik-titik peluh itu, meluruskan permukaannya dari kekusutan. Sejenak ZheHan tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Gong Jun seharusnya kembali ke kamarnya, merebut waktu yang tersisa untuk menuai lelap sebelum fajar menyingsing dari ufuk timur. Tapi Gong Jun tak mau beranjak dari posisinya di tepi tempat tidur di mana ZheHan sedang berbaring memerangi mimpi buruknya.

Dipandanginya dalam-dalam wajah yang tek henti mempesonanya itu. Wajah ayu yang menurutnya tak sesuai dengan profesi yang disandangnya. Gong Jun selalu berpikir, pria seindah ZheHan tak seharusnya berkutat dengan senjata api ataupun berendam dalam kisah-kisah kelam seputar pembunuhan. Pria ini terlalu indah untuk profesi yang membahayakan nyawa itu.

Dan sepertinya, bukan Gong Jun saja yang berpikir demikian. Ibu ZheHan pun memiliki sentimen yang sama.

Pria yang mengantar ZheHan pulang sejam lalu itu, Han Ying namanya. Pria yang bertugas di departemen yang sama dengan ZheHan. Ia menceritakan banyak hal kepada Gong Jun. Hal-hal yang membuat Gong Jun semakin ingin merengkuh tubuh ZheHan ke dalam peluknya, dan menyembuyikannya dari mata kejam dunia.

Ibu ZheHan tak pernah setuju putera moleknya terjun menjadi petugas kepolisian. Ia menginginkan puteranya untuk meneruskan perusahaan ayahnya, sebuah profesi yang sudah jelas lebih aman, jauh dari bahaya. Namun kegigihan ZheHan tak mudah diruntuhkan. Meski dengan keterpaksaan, ibunya akhirnya membiarkannya menjemput mimpinya untuk membasmi segala bentuk ketidakadilan, menantang bahaya di luar sana.

"Anda tahu kenapa Nyonya Zhang ingin segera menikahkannya?" Han Ying bertanya setelah menyeruput kopi yang baru diseduhkan Gong Jun. "Karena ia ingin ada yang menjaga ZheHan. Ia ingin ada yang mengawasi dan melindungi puteranya. Meski tidak dua puluh empat jam. Tapi setidaknya, dia bisa merasa sedikit tenang karena ada yang memperhatikan puteranya."

Gong Jun hanya bisa memandangi jari-jarinya yang menggantung di antara lutut tanpa bisa berkata apapun. Tak tahu bagaimana harus menanggapi penjelasan yang tak pernah terpikirkan olehnya itu. Batinnya bergemuruh oleh sesal, dan kekecewaan pada dirinya sendiri. Sesal karena tak dari awal dia mengetahui harapan ibu mertuanya.

"ZheHan orang yang keras kepala. Tapi hatinya sangat lembut. Aku tahu itu. Sudah lama aku menjadi temannya. Aku hanya ingin mengatakan, jika sesekali ia berbicara atau bertingkah kurang menyenangkan, tolong jangan diambil hati. Itu hanya salah satu caranya untuk melindungi egonya yang mudah terluka. Aku hanya ingin meminta satu hal, Tuan Gong. Tolong jaga ZheHan. Pria yang selalu berlagak kuat itu, sebenarnya sangat rapuh."

Han Ying pergi meninggalkan rumah Gong Jun yang kembali ditelan kesunyian. Ia pergi setelah bertukar kontak dengan Gong Jun., dan berjanji untuk mengabari Gong Jun jika ada sesuatu yang terjadi pada ZheHan.

Gong Jun memindahkan sehelai rambut yang menempel di pelipis ZheHan karena keringat. Ujung jarinya melayang di dekat wajah yang akhirnya merengkuh lelap itu. Ingin disentuhnya wajah itu, namun tak cukup keberanian ia miliki.

"Kau kejam sekali, kau tahu." Gong Jun berbisik lirih di tengah remang kamar tidur. "Aku sudah jatuh cinta begini dalam, tapi persaanku tak ada yang terbalaskan."

Gong Jun mengulum senyum pahit. Sekali lagi ia tenggelam dalam kekaguman akan pesona paras ayu yang tengah terlelap itu.

"Aku ingin mempertahankan pernikahan ini, ZheHan. Akan kutunjukkan padamu ketulusan dan kesungguhanku. Aku juga bisa keras kepala sepertimu."

ZheHan menggeliat di atas kasur. Punggung tangannya mengusap-usap matanya yang masih terpejam. Sebuah suara tak terdefinisikan teracau dari bibirnya sebelum ia kembali pulas.

"Aku akan menjagamu, ZheHan. Bukan hanya karena aku ingin memenuhi harapan ibumu. Tapi karena aku memang ingin melindungimu."

Gong Jun menghembuskan napas pelan. Udara hangat yang mengalir dari bibirnya menghilang di tengah remang.

"Karena aku mencintaimu."

***

(Bersambung)

Tentangmu, Tentang Kita 【END】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang