Nyonya Zhang mungkin bisa dibilang merupakan versi perempuan dari ZheHan. Selain rambut panjang dan garis halus rahangnya, Gong Jun tak begitu menemukan perbedaan di antara ibu dan anak itu. Mungkin ada satu hal lagi. Nyonya Zhang lebih ramah.
Wanita berparas anggun itu menyambut kedatangan Gong Jun dan ZheHan dengan senyum merekah indah di teras rumah. Lengan rampingnya meraih mereka berdua sekaligus dalam satu dekapan hangat. Frekuensi pertemuan Gong Jun dengan ibu ZheHan memanglah bisa dihitung dengan jari di satu tangan, namun keramahan wanita yang telah menjadi mertuanya itu membabat habis kecanggungan yang bahkan belum sempat memunculkan tunas. Gong Jun merasa nyaman berada di dekatnya. Kehangatan yang ia rasakan dari aura keibuannya, mengingatkan Gong Jun akan ibunya sendiri.
Senyum yang coba Gong Jun sembunyikan menyelinap keluar begitu saja, tak bisa ditahannya, kala ia melihat ibu mertuanya menceramahi ZheHan dengan nada khawatir khas seorang ibu saat wanita itu menyadari langkah kaki ZheHan yang tak seimbang. Tatapan tajam ZheHan ke arahnya hanya semakin membuat senyum itu menjelma seringai jahil.
Ada perasaan hangat yang membasuh petak kering di hatinya. Ada sentuhan bahagia yang mekar menggelitik dadanya. Gong Jun merasa seperti pulang ke rumah, kepada keluarga baru yang baru didapatnya.
Perasaan bahagia itu, pemandangan menghangatkan itu, ingin ia abadikan di dalam bab baru yang baru saja dipijakinya. Tak ingin ia biarkan keluarga baru ini tersobek dari lembar-lembar yang tertulisi kisah hidupnya.
Tas besar berisi pakaian ia hempaskan di atas tempat tidur berlapiskan sprei hijau muda. Koper berukuran tanggung di tangan satunya ia sandarkan di meja samping tempat tidur. Mereka hanya akan menginap selama dua hari satu malam. Namun ZheHan mengemas seperti ingin pindahan saja.
Gong Jun mengedarkan pandang, mengamati sekeliling kamar tidur yang cukup luas itu. Ia tak tahu, apakah kamar itu biasanya serapih ini selama ditinggali ZheHan dulu, ataukah sengaja dirapikan karena kedatangan mereka hari itu.
Ada sebuah meja belajar di dekat jendela, dengan rak kecil berisi buku-buku komik yang berjajar rapih. Gong Jun membayangkan ZheHan remaja duduk di sana sambil mengerjakan tugas sekolah, kemudian menggerutu sebal karena jenuh, dan membaca buku komik sebagai pelarian. Terlihat seperti sesuatu yang akan ZheHan lakukan. Senyum kecil tersungging di bibir Gong Jun.
"Apa yang lucu?" Suara ZheHan yang terdengar menyelidik membuyarkan lamunan Gong Jun tentang aktifitas ZheHan versi muda di kamarnya dulu. Nada kesal yang samar mewarnai suara itu membuat senyum kecil di wajah Gong Jun sedikit melebar.
Didapatinya ZheHan duduk di atas tempat tidur, bertumpukan kedua tangan di belakang tubuhnya. Ia menatap Gong Jun penuh curiga.
Menggemaskan.
"Tidak ada." Gong Jun berujar santai, tanpa peduli menyembunyikan kebohongan. Tatapan ZheHan semakin tajam saja.
Tawa kecil terhembus dari bibir Gong Jun. "Kamarmu cukup rapih, ya."
ZheHan mendelik, "Kenapa? Kau pikir kamarku berantakan? Aku orangnya suka kerapihan, tahu."
Gong Jun terkekeh, "Iya, aku percaya. Aku percaya."
Ekspresi di wajah ZheHan melembut. Ujung-ujung bibirnya terangkat mengulas senyum tipis.
Kaki Gong Jun bergerak dengan sendirinya membawa tubuhnya duduk di samping ZheHan. Busa kasur yang empuk itu mengempis ke dalam menopang berat tubuhnya. Hening mengisi celah di antara mereka yang hanya menyisakan jarak beberapa senti.
"Kakimu sudah baikan?" Gong Jun bertanya memecah sunyi. Replika bola dunia kecil di tengah rak meja belajar menjadi tumpuan pandangan nanarnya.
ZheHan menggumam. Matras di bawah tubuhnya bergerak membal saat ia sedikit bergeser ke belakang. "Ya, sudah tidak sesakit kemarin." Sejenak ia terdiam. Suaranya terdengar malu-malu saat ia berkata, "Terima kasih. Sudah merawatku."
Gong Jun menunduk menatap jari-jarinya, menyembunyikan senyum yang mulai menyapa, "Bukan masalah. Sudah tugasku."
Senyum itu kemudian berubah kaku, setelah dua buah kata mendobrak keluar dari ujung lidahnya. "Aku suamimu."
Hening.
Hening yang terasa mencekik.
Gong Jun bisa merasakan tubuh ZheHan yang disekap tegang. Tak ada jawab yang keluar untuk mengangkatnya dari lumbung kerisauan.
Hanya ketukan dari luar dan suara ceria mengumumkan makan malam yang membebaskan Gong Jun dari ketidakberdayaannya berbuat apapun.
*
Gong Jun tertawa lepas pada sesuatu yang dikatakan ayah ZheHan. Sambil menyendokkan sayur ke piring ZheHan, ia menimpali gurauan itu dengan leluconnya sendiri. Ayah ZheHan tertawa lebih keras.
Gong Jun merasakan de javu di meja makan keluarga Zhang malam itu. Ia tahu alasannya tanpa perlu berpikir. Dan ia rasa, ZheHan pun merasakan hal yang sama.
Berbeda dengan yang dilakukan ZheHan atas dasar keterpaksaan pada malam berhari-hari lalu, yang dilakukan Gong Jun saat itu didasari oleh ketulusan hati dan kejujuran yang tak dibuat-buat. Gong Jun merasa bahagia malam itu. Ia bercengkerama dengan keluarga barunya, bercanda ditemani sajian makan malam menggugah selera. Gong Jun sungguh merasa bahagia.
"Kau perlu makan lebih banyak. Seorang petugas polisi membutuhkan energi lebih untuk menumpas kejahatan." Gong Jun menambahkan beberapa sendok wortel bercampur kubis ke piring ZheHan. Sekilas pandang yang ia curi ke arah ZheHan menunjukkan sebuah wajah yang berkerut dahinya.
"Kau beruntung sekali, HanHan. Suamimu sangat perhatian kepadamu. Ibu tidak salah memilihkan suami." Nyonya Zhang menyembunyikan tawa di balik jari-jari lentiknya yang menguncup anggun.
ZheHan menegakkan posisi duduknya di atas kursi kayu, "Benar, bu. Aku sangat beruntung." Ia sedikit bergeser untuk menghapad ke arah Gong Jun. Juluran tangannya yang tiba-tiba singgah di pipi Gong Jun membuat Gong Jun hampir tersedak oleh jamur yang belum selesai dikunyahnya.
Gong Jun dan ZheHan saling tatap. Ia seketika mengenali kepura-puraan yang menyamarkan raut asli di wajah itu.
"Aku sangat beruntung memiliknya." Bagi orang lain yang, ucapan itu akan terdengar begitu tulus sehingga siapapun yang mendengarnya pasti akan menatap gemas dengan hati berbunga-bunga. Tapi Gong Jun tahu yang sebenarnya.
Tanpa menghiraukan pedih yang ingin menggapai-gapai, ia meletakkan sendok di atas piring lalu melakukan hal yang sama seperti yang ZheHan lakukan.
Mata indah itu membelalak dipenuhi keterkejutan, kala Gong Jun menempatkan telapak tangannya di pipi yang mulai memunculkan semu merah begitu cepat itu. Gong Jun bisa merasakan tangan ZheHan menegang di wajahnya.
"Aku juga beruntung telah memilikimu, sayang." Ucap Gong Jun dengan penuh kesungguhan hati. Ibu jarinya mengusap pipi halus itu.
ZheHan melepaskan tangannya dari wajah Gong Jun seperti orang tersengat listrik. Dengan gelagat salah tingkah ia menyibukkan diri menumpuk beberapa lauk di piring Gong Jun hingga hampir penuh.
"Ma- makanlah yang banyak. Kau terlalu kurus." ZheHan tergagap disertai tawa yang menggema gugup. Rona merah yang menghias pipinya begitu elok dipandang mata.
Gong Jun menumpukan sisi dagu di punggung tangannya. Pandangannya tak bisa lepas dari ZheHan yang menyendokkan makanan ke mulut dengan tangan sedikit gemetar.
"Jangan hanya menatapku. Cepat makan."
"Kau mau menyuapiku?"
"Jangan bermimpi."
Ibu ZheHan hanya menatap dengan senyuman geli dan mata berbinar-binar seperti tengah menonton adegan romantis di drama percintaan. Sedang ayah ZheHan, ia menggerutu kepada piringnya, mengeluhkan tentang pasangan anak muda yang tak tahu tempat memamerkan kemesraan.
*
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangmu, Tentang Kita 【END】
RomanceGong Jun menerima perjodohan itu karena ia terpesona, dan jatuh cinta pada pandangan pertama pada pria yang akan menjadi suaminya. Pernikahan yang ia impikan menjadi sebuah bab baru penuh kebahagiaan, ternyata harus menjadi sebuah kisah kelam. Bunga...