Cakra menatap kagum rumah yang kini ada didepan matanya. Rumah ini berkali-kali lebih besar dari rumahnya. Bahkan halaman didepannya saja lebih luas dari rumahnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ayo masuk, kita ketemu saudara-saudara kamu sama ibu baru kamu."
Cakra menatap heran pada Andreas, sang ayah, "ibu kamu tidak pernah cerita?"
"Cerita apa, Yah?"
"Ayo masuk mobil dulu." Cakra mengikuti ayahnya masuk ke dalam mobil dan duduk di tempat semula.
"Sebelumnya ayah minta maaf sama kamu, selama ini ayah tidak pernah jadi orang tua yang baik buat kamu. Ayah cuma kirim uang buat kalian selama bertahun-tahun. Kamu sekarang sudah dewasa, ayah harap kamu tidak membenci ayah setelah ini." Andreas menarik napas terlebih dahulu, mempersiapkan diri untuk berkata jujur dan bersiap menerima reaksi sang anak.
"Sebenarnya hubungan ayah dan ibu tidak direstui oleh kakek dan nenek kamu atau lebih tepatnya orang tua ayah, itu karena ibu kamu berasal dari keluarga sederhana. Ayah dijodohkan dengan sahabat ayah dan beberapa bulan kemudian kami menikah. Satu bulan sebelumnya ayah dan ibu terpaksa menikah diam-diam tanpa ditahu keluarga. Ayah dulu masih sering mengunjungi kalian tiap 2 bulan sekali. Saat kamu sudah lahir, ayah hanya bisa mengunjungi kamu sampai usia 5 bulan. Setelahnya kakek kamu menyuruh ayah untuk fokus pada perusahaan dan keluarga ayah yang sekarang, jika tidak kalian akan berada dalam bahaya. Ayah terpaksa mengikuti kemauan kakek kamu. Ayah selalu disibukkan dengan pekerjaan dan kadang sampai lupa untuk mengirimkan kalian uang bulanan. Maafkan ayah, Cakra. Ayah bukan orang tua yang baik. Bahkan saat ibumu meninggal, ayah masih disibukkan dengan pekerjaan diluar kota." pria paruh baya itu mencengkram kuat kemudinya dan air matanya lolos jika mengingat perjuangan istrinya untuk hidup bersama buah hati mereka. Andreas terkadang menyuruh orang suruhannya untuk memantau Cakra dan ibunya.
"Gapapa, Yah. Cakra yakin ibu tau ayah juga ngalamin kesulitan, yang penting sekarang aku udah ketemu ayah." Andreas sedikit kaget saat melihat reaksi Cakra yang berbeda dari yang ia bayangkan.
"Kamu gak marah sama ayah?" Cakra tidak marah, hanya ada sedikit rasa kecewa. Namun, ia berusaha menepisnya dan tersenyum pada sang ayah.
"Gak, Cakra ngerti ayah juga pasti kesulitan. Keluarga Cakra sekarang cuma ayah."
"Ternyata kamu benar-benar sudah dewasa. Ibu kamu mendidik kamu dengan baik." Andreas tersenyum dan menepuk-nepuk puncak kepala Cakra. ia senang mendiang istrinya mendidik Cakra dengan baik.
"Tapi yah, istri ayah sekarang pasti tidak mau Cakra disini."
"Jangan berpikir seperti itu. Dia yang menyuruh ayah buat secepatnya mengajak kamu kesini."
"Apa dulu istri ayah tidak keberatan ayah sering ke rumah ibu?"
"Tidak, dia tau ayah sangat mencintai ibumu. Dia pernah bilang ke ayah, dia merasa bersalah karena dia yang hadir sebagai penghalang hubungan kami."