Satu.

61 19 0
                                    


    Awan masih mengantuk. Terbukti dari matanya yang menyipit dan masih sulit terbuka sepenuhnya. Sesekali laki-laki itu menguap lebar tanpa repot-repot menutup mulutnya. Ia rasa, takkan ada orang yang melihat tingkahnya di jalananan sesepi ini.

    Jam sembilan lebih beberapa menit. Awan mendengus melihat jam tangannya. Seharusnya ia masih bergelut nyaman di tempat tidurnya saat ini. Tapi dikarenakan perutnya yang keroncongan dan kulkasnya kosong, laki-laki itu terpaksa harus melangkah ke supermarket terdekat demi mendapatkan beberapa bungkus makanan instan.

    Awan memelankan langkahnya ketika tiba-tiba sepasang telinganya menangkap suara seorang gadis yang sedang menangis. Laki-laki itu menoleh kesana kemari demi mencari sumber suara dan langkahnya terhenti total ketika dilihatnya seorang gadis sedang meringkuk di dekat tiang listrik beberapa meter di depannya.

   Kening Awan berkerut, kepalanya memiring sedikit dan matanya memicing menatap sang gadis di depan sana. Suara tangisan itu bersumber dari sana dan ia tak mengerti apa yang telah menimpa gadis itu sampai harus menangis seperti gelandangan. Atau dia memang gelandangan?

    Rasa penasaran sepertinya mampu membuat Awan menunda rasa laparnya. Laki-laki itu berjalan mendekati gadis berambut panjang yang masih menangis tersedu-sedu di dekat tiang listrik.

   “Apa yang lo lakuin disitu?” tanya Awan datar begitu dirinya tiba di depan gadis itu. Seketika gadis itu mendongak, menampakkan wajah kacaunya yang dipenuhi air mata dan beberapa helai rambut yang menempel di wajahnya.

    Sebelah alis Awan terangkat tinggi. Gadis itu menatapnya dalam diam. Dari pergerakan bola matanya, Awan yakin gadis itu sedang memperhatikan detail wajahnya.

    “Ngapain lo liat-liat?!” seru Awan, risih.

    Gadis itu sedikit tersentak dan mengerjap pelan beberapa kali. Tangan mungilnya bergerak cepat mengusap wajahnya yang basah. Dengan gerakan cepat, gadis aneh itu melompat berdiri dan menatap Awan dengan tatapan penuh arti.

    “Saya.. nyasar! Udah gitu dirampok. Dan sekarang saya juga gak tau harus kemana. Barang-barang saya, uang saya sampe handphone, semuanya ludes diambil. Mana laper banget lagi.. Oh ya, berhubung kamu orang pertama yang bicara sama saya selain perampok sialan itu, kamu harus bantu saya, ya! Hmm.. traktir saya makan!”

    Awan mengerutkan kening dan memicingkan mata. Sama sekali tak menyangka gadis di depannya itu begitu berani meminta traktiran darinya. Dih! Kenal aja nggak!

    Sejenak, Awan memperhatikan penampilan gadis di depannya. Dari caranya berpakaian, jelas terlihat bahwa gadis itu bukan gelandangan, pakaiannya terlihat mahal apalagi sepatu hak tingginya yang begitu tampak elegan. Mungkin benar dia dirampok, tapi kenapa Awan harus mentraktirnya makan?

    Awan menyeringai, lalu tanpa belas kasihan berjalan meninggalkan gadis itu. Tak peduli sekalipun gadis aneh itu berteriak dan mengejarnya.

    “Heh, mana bisa kamu kayak gitu? Bukannya sebagai sesama manusia, kita itu harus saling tolong menolong ya?! Kemana jiwa patriotisme kamu buat bangsa dan negara? Nolongin orang yang lagi kesusahan aja, kamu gak sudi!”

    Awan memutar bola matanya dan tetap melanjutkan langkah diiringi ocehan gadis yang berusaha menyamai langkah di sampingnya.

    “Nama saya Bulan, Rembulan Kartamanggala. Seharusnya sekarang saya tuh lagi liburan sama temen-temen saya. Tapi.. saya malah ketiban sial. Saya ketinggalan rombongan temen-temen saya, tiket pesawat saya juga ketuker. Eh.. sekarang saya malah terdampar disini. Dan tadi juga saya kena jambret. Apes betul, kan?? Apa cerita saya ini gak cukup buat bikin kamu peduli?” gadis bernama Bulan itu menatap Awan dengan puppy-eyesnya yang menggemaskan. Awan meliriknya sekilas dan hanya meresponnya dengan dengusan malas.

Rembulan di balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang