Dua.

56 18 1
                                    

   
    Bulan tersentak dan menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka. Matanya yang basah seketika berbinar saat melihat Awan berdiri di ambang pintu dan mengisyaratkannya untuk masuk.

    “Kamu.. ngebolehin Bulan masuk?” tanya Bulan masih tak yakin hati Awan telah luluh.

    “Gue hitung sampe tiga, kalau lo gak langsung masuk, pintunya bakal gue tu—” Awan menghentikan kalimatnya karena sebelum dirinya selesai bicara, Bulan sudah lebih dulu menyerobot, memasuki rumahnya. Laki-laki itu mendengus lalu mengernyit mendengar teriakan gadis aneh itu dari dalam ruang tamunya.

    “Ngapain sih pake teriak-teriak segala? Lo abis liat setan apa gimana, hah?” Awan menggerutu sambil berjalan menghampiri Bulan yang berdiri melongo di dekat sofa ruang tamunya. Gadis itu tampak shock, mata besarnya membelalak, mulutnya menganga dan tubuhnya kaku tak bergerak. Awan dengan santainya berjalan mendekat dan menekan kening gadis itu dengan telunjuknya.

    “Lo kenapa?”

“Ini.. ini.. kamu sebut.. rumah??”

    Awan mengernyit heran melihat gadis di sampingnya yang tiba-tiba menjadi gagap. Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mengangkat kedua tangannya membentang di udara.

    “Ini kamu sebut rumah?? Ini lebih mirip tempat sampah!” seru Bulan, sedikit berteriak. Matanya memindai seisi ruang tamu Awan yang berantakan seperti kapal pecah. Sama sekali tidak terlihat seperti ruang tamu. Ruangan yang lebih kecil dari kamar Bulan itu sungguh tidak layak digunakan sebagai tempat menerima tamu.

    Ruangan itu hanya diisi oleh dua buah sofa usang di sudut ruangan dan sebuah meja persegi panjang di dekat kedua sofa tersebut. Sebuah televisi berukuran sedang terpajang di atas lemari setinggi pinggang. Selain itu, tak ada barang lain di ruangan itu selain kotak kardus yang tersusun berantakan di setiap sudut ruangan, lembaran-lembaran kertas yang bertebaran di lantai, bungkus snack dan kaleng kosong yang juga berserakan di lantai.

    Awan mendesis jengkel, “Kalau gitu, lo cari aja tempat laen yang bisa lo sebut rumah! Dan tinggalin tempat sampah ini!”

Bulan hendak protes tapi urung ketika memikirkan posisinya saat ini. Seharusnya, sebagai seseorang yang telah membantunya, Bulan menghargai Awan, seberapa benrantakan pun rumahnya.

    “Maaf.. Bulan gak akan protes lagi deh. Cuma ya..” Bulan mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah sarat kekecewaan. Bagaimana mungkin laki-laki setampan Awan tinggal di tempat semacam ini?

    “Kalau lo mau makan, masak aja sendiri. Dapurnya ada di sebelah sana..” ujar Awan sembari menunjuk sebuah ruangan yang disebutnya dapur dan menyerahkan bungkusan belanjaannya pada Bulan. Selanjutnya, laki-laki itu melenggang menuju sofa usangnya, merebahkan diri dan menghidupkan televisi.

    Bulan memandang Awan dan bungkusan di tangannya bergantian. Detik berikutnya, gadis itu mendekati pintu ruangan yang ditunjukkan Awan dan melongokkan kepalanya ke dalam. Seketika saja Bulan terbelalak, jauh lebih shock dari sebelumnya. Ruangan yang disebut dapur oleh Awan benar-benar membuatnya tak mampu berkata-kata. Tempat itu kotor, berantakan dan sedikit tercium bau tak sedap dari dalamnya. Bulan dapat melihat piring kotor menumpuk dengan tidak teraturnya, tempat sampah yang teronggok di pojok ruangan dengan isi tumpah serta dinding dan jendela yang penuh sarang laba-laba.

    “Ya Tuhan.. Ayah.. Bunda..” Bulan hampir menangis ketika melihat kondisi dapur Awan. Beribu-ribu kali berbeda dengan dapur di rumah mewahnya. Dapurnya begitu luas dengan warna putih yang mendominasi. Tatanannya seperti dapur milik hotel bintang lima, bahkan peralatan masaknya mengkilap seperti baru.

Rembulan di balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang