Prolog

12 2 1
                                    

Ruang tanpa cahaya yang membuat matanya tak dapat menangkap objek apapun. Otaknya hanya menerima rangsangan gelap gulita dan sunyi tanpa suara sedikit pun. Ia tidak mengerti, seolah ia berada pada ruang kedap cahaya, suara, dan tanpa gravitasi. Ia tidak tau apakah saat ini tubuhnya menghadap atas atau bawah, ia hanya merasa bahwa tubuhnya melayang.

Tangannya menjulur, mencoba meraih apapun di dekatnya. Kosong. Tak ada apapun. Ia menelan ludah, bersiap mengeluarkan suara. Tidak bisa, suaranya tak terdengar bahkan di telinganya sendiri. Tubuhnya memberi respon dengan keringat dingin, ia ketakutan. Perlahan kakinya mulai gemetar, lalu menjalar ke bagian tubuh yang lain hingga seluruh tubuhnya menggigil gemetaran.

Dari arah punggungnya, ia merasakan ada sesuatu yang mengalir, seperti menariknya ke sana. Perlahan lalu bertambah cepat secara konstan, ia merasakan bahwa itu sebuah pusaran, seperti pusaran air atau pusaran angin. Ia terhisap. Tangannya menggapai-gapai tanpa mendapatkan apapun.

Bruk!

Ia merasa terhempas di suatu tempat yang sebenarnya tidak keras, tapi hentakan itu membuatnya benar-benar terkejut. Lalu cairan hitam pekat keluar dari mulutnya. Ia terbatuk-batuk.

Terdengar suara pintu dibuka dari luar, “Chie-chan? Ada apa?” suara seorang wanita dewasa di ambang pintu.

Klik. Lampu dinyalakan.

Wanita itu terbelalak melihat gadis kecilnya bersimbah cairan hitam sambil terbatuk-batuk. “Kenapa, Chie? Hei, kamu kenapa?” wanita itu mulai panik dengan tenggorokan tercekat.

“Sai! Cepat kemari!” wanita itu berteriak ke arah luar.

Seorang laki-laki dewasa dengan rambut dan mata hitam datang bersama anak laki-laki berambut pirang. “Astaga!” serunya terkejut.

Gadis yang terduduk di tempat tidur itu masih terbatuk-batuk dengan cairan hitam yang dimuntahkannya. Ketika ditanya, ia tak menjawab karena tidak bisa mendengar jelas suara di sekitarnya.

Laki-laki yang tadi dipanggil Sai segera mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya keluar, “Ayo ke klinik!”

“Inojin, kamu jaga rumah, ya!” Pesan wanita itu yang ternyata adalah orang tua dari kedua anak ini.

Anak laki-laki berambut pirang yang namanya Inojin itu mengangguk.

Gadis itu bernama Chie. Tubuhnya dipeluk erat oleh Sai, ayahnya. Kepala Chie terkulai di bahu Sai. Sesekali terbatuk masih dengan cairan hitam yang keluar dari mulut dan hidungnya. Membuat bercak hitam di baju Sai.

Papan nama klinik tetap menyala terang meski malam telah larut, bertuliskan KLINIK 24 JAM. Sai dan Ino segera masuk ke ruang IGD. Chie dibaringkan di salah satu ranjang kosong yang ditunjukkan oleh perawat. Pemeriksaan pun dimulai.

“Ino, Sai, sebaiknya kalian beri ruang untuk kami.” Salah seorang perawat mengingatkan. Sepasang suami istri ini pun melangkah mundur.

Keringat dinging membasahi wajah dan leher Ino. Ia memegang lengan Sai erat-erat. Sedangkan pikiran Sai mulai berkecamuk memikirkan banyak hal, dan yang paling utama adalah keselamatan putri kecilnya. Meski begitu, ia cukup pandai menyembunyikan kepanikannya. Hanya tegang dengan tatapan lurus pada putrinya yang sedang ditangani oleh tim medis.

Setelah selesai pertolongan pertama, Chie tertidur dengan ekspresi seperti biasa. Wajah sudah dibersihkan hingga nampak lebih jelas rona wajah yang perlahan kembali. Bibirnya yang pucat mulai memerah. Sebuah titik tahi lalat di bawah mata kirinya terlihat jelas.

“Chie-chan sudah kuberi obat dan ia akan lebih tenang seperti itu. Sejauh ini tidak ada masalah terdeteksi, aneh memang. Tapi ada baiknya kita tunggu sampai pagi datang, dan kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.” Jelas salah satu dokter wanita berambut merah muda dengan jas putih panjang.

Trio Kwek-kwekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang