Waiting

1.5K 139 2
                                    

Suara sirene ambulance memecah jalanan kota Jakarta, pengemudi lainnya berusaha membuka jalan agar ambulance tersebut dapat melaju tanpa hambatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara sirene ambulance memecah jalanan kota Jakarta, pengemudi lainnya berusaha membuka jalan agar ambulance tersebut dapat melaju tanpa hambatan. Sang supir tetap fokus dan berusaha agar dapat sampai dengan cepat kerumah sakit, petugas lainnya beserta Gilang juga berusaha menekan pendarahan yang terjadi ditubuh pasien itu.

Dua puluh menit perjalanan akhirnya ambulance berhenti tepat di depan Luxeberg International Hospital, salah satu rumah sakit swasta milik keluarga Luxeberg yang terkenal akan teknologi medis yang digunakan sangat memadai bukan hanya canggih tapi juga sangat sangat lengkap. Dan yang menjadi nilai plus dari rumah sakit ini adalah pelayanan yang diberikan serta keahlian dari dokter-dokternya.

Tiga orang dokter spesialis dan tiga perawat sudah berdiri didepan mobil ambulance dengan sebuah brangkar pasien. Tepat ketika ambulance terbuka petugas mengeluarkan pasien tersebut dan memindahkannya dari tandu ke brangkar yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit tak lupa dengan kantung oksigen yang senantiasa menopang pernapasan si pasien.

Para dokter berlari membawa pasien menuju ruang operasi setelah memeriksa tanda vital dan keadaan pasien tentunya dengan beberapa penjelasan yang diberikan oleh gilang mengenai peristiwa yang sebelumnya terjadi sebelum pasien kehilangan kesadarannya. Salah satu dokter yang ikut membawa pasien turun dari ambulance tadi tampak pucat dan bergetar, tiba-tiba menangis dan terduduk dilantai depan ruang operasi. Salah satu rekannya menghela napas dan mencoba membantunya untuk duduk disalah satu kursi didepan ruang operasi itu.

“Tenang aja Ger, everything is gonna be okay. Adik lu bakal bisa pulih. Lu diem aja disini, berdoa terus, percaya sama Dokter Gaby dan tim nya, mereka bakal berusaha nyelamatin Rey. Sekarang lu telpon orang tua lu dan sebisa mungkin jangan panik.” Andre temannya sesama dokter berusaha untuk sedikit menghibur dan menenangkan temannya itu, Gerald yang merupakan kakak kedua dari Rey.

“ Gua harus apa Ndre? Gua ga tau harus gimana, gua dokter tapi ga bisa apa-apa. Gua hanya diam doang sambil nunggu kabar dari orang orang yang di dalam. Gua kakak macam apa Ndre?” Lirih Gerald dengan tatapan sayu dan air mata yang sudah membasahi pipinya. Matanya sudah tampak memerah dan sedikit membengkak, suaranya pun terdengar serak dan kadang kadang hilang seolah ikut berduka melihat keadaan Rey.

“All is well, just call your parents or your brother. Gua ada jadwal operasi tiga puluh menit lagi dan gua ga bisa biarin lu sendiri disini. Bisa bisa lu teriak kaya orang kesetanan, ntar pamor gua jadi teman lu berkurang.” Ucap Andre mencoba menghibur dengan quotes ahklaklessnya disertai kekehan yang terdengar pedih.

“Okai.” Tangan Gerald masuk ke saku jas dokternya mengambil handphone berlogo buah apel tersebut. Mencari nomor kedua orang tuanya dan mulai memanggil. Satu panggilan tidak terjawab, dua panggilan tidak terjawab, dan dipanggilan ketiga hanya terdengar suara dari operator menandakan bahwa si empunya menonaktifkan handphone nya. Tidak berhenti sampai disitu, dia mencoba mengirimkan pesan kepada kedua orang tuanya yang selalu sibuk itu.

Rey kecelakaan, sekarang sedang diruang operasi. Kalau kalian masih peduli bisa datang ke Luxeberg International Hospital.

Setelah mengirimkan pesan itu kepada kedua ornag tuanya, Geralt kemudian menghubungi kakaknya Mattew.

“Hallo”

“Kalau lu ga sibuk temani gua di Luxeberg International Hospital sekarang. Rey kecelakaan. Gua ada di depan ruang operasi VVIP.” Ucapnya berusaha tenang.

“....”

“lu masih disanakan? Gua tunggu, Gua ga bisa sendiri.” Tanpa mendengarkan balasan dari seberang Geralt memutuskan panggilannya sepihak.

“Lu siap-siap aja Ndre, kakak gua bakal ke sini bentar lagi”

“Oke, lu jangan aneh aneh. Gua pergi dulu” balas andre seraya menepuk pelan pundak temannya itu berharap dapat memberikan ketenangan.

Selepas kepergian Andre, Geralt berusaha untuk tidak lepas kontrol. Dia cukup terpukul melihat kondisi adiknya itu saat ini walaupun mereka tidak terlalu dekat yang namanya saudara apalagi sedarah pasti akan merasa sedih. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi itu, berharap ketika pintu itu terbuka hanya kabar baik yang akan didapatkannya. Rasa bersalah semakin menggerogoti dadanya.

Dia kembali teringat sikapnya selama ini kepada sang adik, adiknya masih kecil dan membutuhkan perhatian harus bisa bersikap dewasa ketika masih menginjak 10 tahun. Adik kecilnya yang harus bisa memenuhi ekspektasi kedua orang tuanya dan yang selalu disandingkan dengan kedua kakaknya. Adik kecilnya yang selalu dituntut untuk menjadi sempurna bagi kedua orang tuanya. Ia kembali mengingat bagaimana mata adiknya yang selalu menatap dia dan kakaknya dengan tatapan “bantu aku, aku sudah lelah” yang selalu mereka abaikan. Dia tahu betul bagaimana rapuh dan hancurnya adik kecilnya itu mengingat perlakuan dan perkataan yang selalu dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Perasaan sesak memenuhi dadanya, airmatanya kembali terjatuh tanpa diminta.

Bayangan-bayangan sendu dan kesepian yang dialami adiknya tak henti hentinya berputar dikepalanya, dia melepaskan semuanya dengan tangisan tanpa suara.
Mattew yang baru saja tiba menyaksikan keadaan adik laki lakinya itu sangat hancur. Dengan langkah gontai iapun berjalan ke arah Geralt, merengkuh tubuh adiknya yang bergetar hebat itu, menepuk nepuk punggung kokoh yang kini tertunduk lesu itu dan sesekali mengelus rambut hitam legam adiknya itu sambil berbisik untuk menenangkan adiknya.

“Tenanglah, kakak sudah disini. Everything is gonna be okai hmmm. Lu ga sendiri, gua ada disini Ger. Lu istirahat dulu, makan, cuci muka, terus balik lagi kesini kalau udah sedikit tenang. Okai?” ucap Mattew. Merasa Geralt sudah sedikit tanang dia kembali menepuk bahu kanan adiknya itu.

“Lu bisa nangis juga ya, lu balik dulu terus istirahat sebentar. Sekalian ambilin pakaian ganti gua kalau bisa. Gua bakal disini nungguin Rey. Kalau ada apa-apa nanti gua kabarin.” Mencoba untuk meyakinkan adiknya.

“Gua berharap dia bisa selamat bang, gua merasa bersalah”

“Iya, gua juga. Sekarang lu istirahat aja, masa ntar kalau Rey udah buka mata lu nya malah tepar. Sakitnya ga seberapa malunya itu ntar” kekehnya.

Geralt menghela napasnya dengan cukup keras menandakan bahwa dia sangat frustasi saat ini. Matanya melirik kearah pintu tempat adiknya dioperasi kemudian dia berdiri. Menepuk nepuk baju dan celananya yang terlihat cukup berantakan kemudian pamit kepada kakaknya untuk menenangkan diri sejenak.

“Gua balik bentar, telpon gua kalau butuh sesuatu ataupun terjadi sesuatu”. Menepuk pundak kakaknya kemudian pergi.

Kepergian adiknya tak luput dari pandangan Mattew, sejujurnya diapun merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya itu. Posisinya sebagai putra sulung menuntutnya harus kuat dan bisa menjadi sandaran adik-adiknya dan tidak boleh terlihat lemah. Setelah Geralt menghilang dari pandangannya dia kembali menatap pintu ruang operasi itu. Menghela napasnya dengan berat dan duduk di kursi sembari menunggu operasi adiknya yang tak kunjung usai.

Bersandar dikursi dengan kepala menengadah keatas dan memejamkan matanya dengan tangan yang diletakkan diatas dahi kemudian mencoba untuk tidur sebentar. Rasanya dia sangat lelah karena harus mengurus perusahaannya dan sekarang harus menunggu adiknya yang sedang berjuang dengan banyaknya peralatan medis yang menopang kehidupan adiknya itu. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

“All is well” gumannya pilu kemudian terlelap.

.
.
.
.
.
.
.
.
 
Kasih komen dan like ya guys. Gw berharap kalian suka sama ceritanya huhu, maaf kalau ada typo


-Ariani, 10 Juni 2021

PSYCHE: Rey TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang