04

68 52 42
                                    

Dengan tangan memegangi botol plastik, Samuel berdiri.

Berjalan dengan pelan menuju Aksara, sambil seringai an kejam tampak menghiasi wajahnya.

"Duh, Sar, Pasti capek ya?" Samuel bertanya dengan "perhatian."

Aksara diam membisu, enggan untuk menjawab. Dia hanya memandang Samuel dengan mata sedikit berkaca.

Tiba tiba, dalam pandangan Aksara, dia melihat Samuel meludah. Meludah ke botol Aqua yang entah sejak kapan sudah dibuka olehnya.

Melihat ini, mata Aksara sedikit membesar. Gila, mau diapakan lagi aku? Pikirnya.

Hatinya cemas, gelisah dengan sangat.

"Oi, lu pada ludahin ni aer!" Samuel berteriak pada kawan kawannya, memberi perintah.

Mungkin karena sudah paham dengan tujuan Samuel, kawan kawannya dengan cepat datang dan meludahi botol itu. Namun ketika Rini hendak mengikuti, Samuel mencegah.

"Gausa, biar yang laki aja udah. Lo kesana aja," kata Samuel sedikit lembut.

"Yah, oke." Tanpa banyak menunda, Rini pergi kesamping, menonton dengan tenang.

Setelah itu, terlihat Samuel kembali menutup Aqua dan dikocoknya dengan cepat. Dia bergaya seakan bartender profesional saja, batin Aksara.

Cukup lama, mungkin 5 menit kemudian Samuel berhenti. Dia tersenyum dengan "ramah" pada Aksara, berjalan mendekatinya.

"Nah, gini, Sa. Gue mau minta maaf, dari tadi uda main pukul aja ke lo. Maaf ya? Haus ga? Nih ada minum, diminum ya," ucapnya.

Diam membeku, Aksara tak tahu harus berbuat apa.

Gila, gimana aku bisa minum air kaya gitu? Ga mungkin.. Please siapa aja, tolong aku! Aksara terus berdoa dalam hatinya, takut sekali dengan tindakan Samuel sekarang ini.

Samuel semakin mendekat, sedang Aksara mencoba mundur sekuat tenaga.

"Ayo, Sa. Sini, gapapa," ucap ramah Samuel.

Seisi kelas diam, tak ada yang bersuara, bahkan Nino juga diam memalingkan muka. Melihat ini, Aksara merasa pahit didalam.

Sialan, apa ngulurin tangan buat nolong itu susah? Hei, ada seseorang yang perlu kamu bantu disini! Aksara membatin, tak kuasa dengan tindak teman temannya.

Dipandangnya Samuel lalu berkata, "Sam, udahlah, aku iki salah opo sama kamu? Aku ndak pernah ganggu kamu.." Suaranya semakin lirih, dia takut.

[Iki : Ini. Opo : Apa.]

"Ahahaha." Mendengar itu, Samuel tertawa lalu berkata, "gapapa, gue cuma butuh hiburan aja."

Tiba tiba, Samuel menundukkan badannya, dipegang tengkuk Aksara sekuat tenaga. Ini terjadi begitu cepat, bahkan Aksara belum sempat memprosesnya.

"Minum nih!" Botol itu ditempelkan pada bibir Aksara, dan dipaksalah Aksara untuk meminumnya.

"Emhh!!" Aksara mencoba meronta, tapi tak bisa. Rasa air itu aneh, dan ketika dia ingat itu di penuhi ludah orang lain, dia merasa ingin muntah.

Apa salahku?! Air matanya mengalir, dia merasa sudah tidak tahan lagi. Hidupnya seakan selalu diuji.

Tak berselang lama, air itu habis. Baju, Aksara basah karena terkena tumpahan waktu meronta tadi.

"Nah gini dong, abis kan? Ga nyangka lo suka air liur. Gays!! Kalo lu pada mau ngeludah, nih ada tampungannya!" Samuel berteriak sembari membalik kan badan melihat seisi kelas.

Mendengar ini, serentak seisi kelas pun tertawa kecuali Nino. Dia merasa gagal menjadi teman tapi tak bisa berbuat apa apa.

Aksara diam membisu, duduk dan bersender pada tembok dibelakangnya. Pikirannya kosong, entah bagaimana dia merasa sangat dilecehkan kali ini.

Ketika Samuel melihat ini, dia ingin terus melanjutkan aksinya namun...

BRAK!!

Pintu kelas didobrak dengan keras, otomatis seisi kelas menoleh namun Aksara tetap diam.

Di pintu kelas, terlihat seorang wanita mengenakan pakaian mengajar resmi, berusia sekitar 25 - 26 tahun. Tampang galak dan marah tertampang jelas diwajahnya.

Dia Bu Ana, guru Aksara yang sepatutnya mengajar setelah Pak Irfan namun entah bagaimana terlambat. Karena keterlambatannya itu  kekacauan ini terjadi.

"Samuel," Bu Ana berkata dengan suara yang dalam, "kamu apakan lagi, Aksara?" Tatapan matanya yang tajam itu memandang tepat pada Samuel.

Anehnya, Samuel tenang tidak terlihat jejak kepanikan dalam mukanya. Mungkin karena sudah terbiasa.

"Ga saya apa apain, bu. Saya cuma kasih dia "minum" sebagai permintaan maaf saja," Samuel tersenyum pada Bu Ana. Terlihat sekali bahwa dia tidak takut akan konsekuensi nya.

"Kamu jangan bohong! Kalau seandainya benar Aksara tidak kamu apa apa kan, kenapa dia terlihat lesu begitu?!" Bu Ana menunjuk pada Aksara yang terduduk lesu disana, tampang nya terlihat sangat menderita.

"Lho, saya juga tidak tau, bu. Kenapa tanya saya? Saya bukan Aksara, bu. Saya ga tau apa yang difikirin sama dia." Samuel dengan Lues dan santai nya menjawab.

"Jangan bohong!"

"Lho saya tidak berbohong, ini ibu bisa tanya langsung ke teman teman yang lain," kata Samuel lalu menoleh dan bertanya "Gayss, gue macem macem ga sama Aksara?!"

Serentak seisi kelas menjawab "Ngga!!"

Bu Ana diam melihat ini, dia kesal dan marah. Kenapa tidak ada yang membantu Aksara sama sekali?! Batin Bu Ana, terombang ambing emosi.

"Oke, saya tidak peduli. Kamu, Samuel, kembali duduk kemeja mu dan kalian juga!" Perintah Bu Ana pada Samuel dan kawan kawannya.

"Baik, bu." Jawab mereka. Terlihat senyum kemenangan tertampang diwajah Samuel yang penuh kepuasan.

Bu Ana berjalan maju, menghampiri Aksara.

"Nak Sara gapapa?" Tanya Bu Ana lembut, beliau terlihat khawatir sekali.

Aksara sadar dan buru buru tersenyum. "Ndak, bu, ndak papa. Aku baik aja."

"Yaudah, bisa berdiri ngga?"

"Bisa, bu, bisa." Buru buru Aksara berdiri, lalu menghadap Bu Ana.

"Baik Kalau begitu, kamu ikut saya." Titah Bu Ana, kemudian Bu Ana berkata, "Kalian kerjakan tugas Halaman 140 - 170. Hari ini harus sudah selesai."

"Yah, buu!!!" Anak anak kelas mengeluh, namun dihiraukan oleh Bu Ana. Toh salah mereka menutupi kesalahan pelaku.

Bu Ana dan Aksara pun berjalan keluar, entah kemana.

- • - • - • -

Bersambung.

Note : Halo, teman teman. Sudah 2 hari berlalu sejak update terakhir kali.

Disini saya hanya memohon maaf, ada sedikit kendala yang membuat saya tidak bisa menulis dari kemarin bahkan sampai sekarang saya hanya menulis sekitar 800 kata.

Maaf sekali lagi atas ketidak profesional annya. Hanya kondisi tubuh saya sedikit, kurang.

- Septa.

Bully : Cerita Perihal Pembunuh Tanpa TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang