07

33 18 54
                                    

Taman itu sepi, sunyi. Semilir angin berlalu mencipta suara yang syahdu, dan di tengah tengah taman sepi nan sunyi itu terdapat dua orang yang duduk berdampingan.

"Jadi, Rini bilang dia suka sama kamu?"  Singkat cerita setelah Aksara bertemu Bu Ana, mereka pergi ke taman bersama. Setelahnya Aksara bercerita tentang percakapan antara dia dengan Rini.

Aksara mengangguk, ekspresinya kosong dan tatapan matanya menerawang jauh kedepan. Sepertinya hanya raga yang disini namun pikirannya pergi.

Melihat ini, Bu Ana sedikit kasihan pada Aksara. Dia menepuk dan mengelus elus punggung Aksara, mencoba menenangkan nya. Pikirannya pun juga berkelana, mencoba mencari cara atau jawaban yang tepat atas masalah Aksara.

"Nak Sara.. perasaan Nak Sara sama Rini gimana?" Setelah hening yang cukup, Bu Ana tiba tiba bertanya.

"Ya, gimana? Saya sendiri bingung, bu. Jujur saya sama sekali ga pernah mikir kalau seandainya bakal ada yang suka sama saya," kata Aksara dengan raut pahit dan suara getirnya.

"Toh, ibu tau sendiri saya seperti apa? Saya ga ganteng, muka pas pas an bahkan mungkin muka kasta bawah. Saya sendiri ga kaya, saya cuma yatim piatu yang kerja serabutan aja. Badan juga ceking gini kaya kurang gizi, terus rambut saya juga botak kaya upin ipin."

Bu Ana menggelengkan kepalanya tanpa sadar, senyum kecil timbul di wajahnya yang cantik itu.

"Kamu itu, gausa ngerendahin dirimu. Kamu ganteng, siapa yang bilang kamu jelek? Muka mu ga sejelek yang kamu kira. Terus juga, cewe kalau dewasa bakal lebih suka sama cowo yang udah bisa nyari uang sendiri." Bu Ana diam sebentar, memandangi wajah Aksara dengan lamat.

"Terus juga siapa bilang kamu botak?! Itu masih ada rambutnya, cuma kamu potong pendek saja," kata Bu Ana dengan ekspresi di garang garang kan.

"Jangan terlalu merendah, Sara. Ibu tau, kamu kuat dan kamu hebat. Jangan terlalu dipermasalahkan, kadang kala rasa suka atau sayang ada tanpa alasan." Senyum di wajah Bu Ana kembali.

Aksara diam membisu, mencoba menelaah apa yang dikatakan Bu Ana. Ditatapnya wanita tak jauh beda usia dengannya itu, wajahnya yang manis dan ayu membuat jantung Aksara sedikit berdebar. Sial, apa yang terjadi? Duh, ini kok kaya abis maraton aja dag dig dug gini, Aksara membatin.

Mungkin karena terlalu lama tak dibalas oleh Aksara, Bu Ana menghela nafas dan berkata, "yasudah, ga perlu kamu pikirin itu. Sekarang nikmati saja waktu perenunganmu."

Aksara tersadar dari lamunannya, dia tersenyum malu pada Bu Ana.

"Ah, iya." Aksara mengangguk anggukan kepalanya, berlagak benar benar mendengarkan saran Bu Ana.

Seakan teringat sesuatu, tiba tiba Aksara berhenti mengangguk dan menatap Bu Ana dengan serius. Tatapan matanya langsung tertuju pada Bu Ana.

Ditatap begitu oleh salah satu muridnya, Bu Ana sedikit kaget dan malu. Tanpa sadar ia menunduk dan detak jantungnya meningkat sedikit. Lho, ada apa ini? Kenapa dia tiba tiba begitu? Ini jantung juga kenapa deh, tiba tiba detak cepet ga ngasi aba aba, Bu Ana panik.

"Eh, ada apa?" Dengan suara kecil Bu Ana bertanya dan lambat laun mengangkat kepalanya lalu membalas menatap Aksara.

Senyum aneh muncul di wajah Aksara, mungkin terhibur dengan tingkah gurunya yang di anggap lucu. Aduh, kok ga sopan banget sih aku, batin Aksara mencoba meluruskan pemikirannya.

"Ngga, bu. Cuma tiba tiba keinget sesuatu saja.." Aksara berhenti, memberi jeda ucapannya itu untuk melihat reaksi Bu Ana.

Ketika dia merasa Bu Ana masih diam saja, Aksara lanjut berkata, "Ibu kenapa malam malam datang kesini? Bukannya ga baik ya kalau perempuan keluar malam?" Dua pertanyaan polos itu keluar dari mulut Aksara yang tengah mengusung tema muka serius, kontras yang jelas.

Entah kenapa, setelah mendengar ini Bu Ana menghela nafas lega. Dia tiba tiba merasa telah melewati sesuatu yang berbahaya.

Kemudian, Bu Ana berpaling dari Aksara menghela nafas sedikit, kemudian senyum yang nampak dipaksa pun timbul diwajahnya.

"Sebenernya, ga ada apa apa. Ibu cuma keluar buat cari angin."

Aksara mengerti bahwa masalah yang mungkin dibawa Bu Ana sangat berat namun dia tidak bertanya lebih jauh, hanya membalas dengan senyum semanis yang ia bisa dan anggukan saja.

Mereka kemudian diam membisu, menikmati angin yang menerpa wajah mereka dan memandangi bulan diatas sana. Ketika itu, mungkin karena lelah Bu Ana sedikit bersandar pada Aksara, dia sendiri nampaknya tak sadar.

Aksara diam tanpa ada keluhan keluar dari bibirnya. Toh, kapan lagi bisa disenderin wong ayu? Pikirnya.

[Wong Ayu : Orang cantik.]

Lama mereka mempertahankan posisi itu, hingga tiba tiba hp Aksara yang ditempat kan dalam sakunya berbunyi.

Bip bip.

"Ah!" Bunyi itu menganggetkan mereka, sedikit meminta maaf, Bu Ana beranjak menormalkan duduknya. Aksara hanya tersenyum lalu membuka hpnya.

Dilayar terdapat pesan dari pamannya yang bertanya tentang keadaan nya. Setelah membalas pesan itu Aksara melihat waktu di layar, ternyata sudah pukul 11 saja. Gila, lama banget aku disini duh, uda gitu berdua an lagi sana perempuan. Untung aja ga ada yang liat, batinnya.

"Ada apa, Sar?" Mungkin karena merasa dekat atau karena tidak dilingkungan sekolah, Bu Ana tiba tiba tidak memanggil Aksara dengan embel embel "Nak".

"Oh, nda bu. Cuma tadi alarm saja, sekarang sudah jam 11 malem. Ibu nda pulang?" Logat jawa Aksara kembali entah kenapa.

"Oh, sudah jam 11? Yah kita pulang dulu saja, kamu juga besok ada sekolah kan?" Mengacak acak rambut botak Aksara, Bu Ana seakan memperlakukan Aksara sebagai anak anak.

"Ahaha, nggeh, bu." Jawab Aksara sedikit malu, lalu dia pun berdiri dan berpamitan pergi.

[Nggeh : Iya.]

Bu Ana diam memandangi punggung Aksara yang kian menjauh, entah kenapa pipinya merona namun dalam balutan gelap malam tak ada yang bisa melihat nya.

"Semoga, tuhan membahagiakan mu. Tapi kenapa aku tadi sikap nya kaya gitu? Haduhhh, kan aku gurunya kok bisa bisa nya nyender ke enakan sama dia?!" Gerutuan dengan lancar keluar dari mulut Bu Ana yang ranum namun meski gerutuan itu terdengar sangat kesal wajahnya terus memperlihatkan senyum yang amat lebar. Dia memegangi dadanya yang berpacu sangat cepat.

Bu Ana memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Sebenernya aku ini kenapa? Selalu saja seperti ini jika terus sama dia, tadi pas di UKS pun juga seperti ini. Duh, masalah apa lagi ini?

Bersambung.

"Aku tak mengerti apa yang terjadi, jujur aku tak peduli. Yang ku pedulikan itu kamu, dengan segala kisah pahit hidupmu aku ingin membantu. Karena tanpa sadar, dengan mu aku merasa nyaman."

- Aku yang terlalu tak tahu malu, An.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bully : Cerita Perihal Pembunuh Tanpa TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang