Malam telah tiba dan waktu di ponsel Aksara menunjukan pukul 9.
Aksara duduk termanggu dalam rumahnya, diam membisu. Matanya sayu dan dia nampak seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kenapa rasanya hari ini aku sial ya?" Aksara mengusap kepalanya yang dipotong cepak itu dengan kasar.
Tadi, dia dibully habis habis an disekolah. Dia pun terpaksa membolos dari pekerjaannya karena ada "tamu" spesial yang datang ke rumah nya. Itu, Rini, salah satu dari kelompok pembully yang selalu menganggu Aksara. Meski Aksara tau, Rini jarang sekali benar benar membully nya dan hanya mendengarkan perintah kakak serta Samuel saja, tetap itu sedikit membekas dihati Aksara.
"Apa yang dibilang Rini itu bener?" Pikiran Aksara masih belum tenang, dia gelisah dan kalut. Matanya menerawang ke topik pembicaraan nya dengan Rini.
Flashback.
"Gue minta maaf sama semua perbuatan yang dilakuin sama abang gue juga Samuel. Gue tau, ga masuk akal banget gue bilang gini. Ketika gue selalu diem liat lo disiksa habis habis an sama mereka bahkan terkadang bantu siksa lo juga, gue malah bilang gini," setelah beberapa saat hening, Rini pun mengucapkan apa tujuan kedatangannya.
"Gue ngerti, kita salah banget disini dan bahkan kesannya gue ga tau malu sama sekali. Udah 4 tahun lo alamin semua itu sendiri, tapi lo sama sekali ga ngeluh bahkan seakan akan selalu nerima,
"Gue tau lo bukan pengecut, gue tau itu. Tapi mungkin karena beberapa alasan, lo ga pernah lawan kita. Tolong maafin gue sama temen temen gue, Sa,
"Gue paham rasa sakit lo dan gue pengen berjuang bareng bareng sama lo." Rini sementara berhenti, dia diam menatap mata Aksara.
Aksara mendengar semuanya dan dia balas menatap gadis cantik itu dengan pandangan bingung. Jujur, dia tak pernah sekalipun mengantisipasi hal ini terjadi. Dalam bayangan nya, dia akan diperlakukan seperti itu untuk selamanya tanpa pembela.
Ditatapnya wajah Rini dengan lamat. Dalam pandangan Aksara, Rini bisa dibilang diatas rata rata. Dengan hidungnya yang mancung, kulit putih halus, bulu mata lentik dan bibir ranum yang dimilikinya itu. Sempurna, apa lagi Rini memiliki pupil mata beda. Warna sebiru laut untuk pupil mata kanan dan warna merah darah untuk pupil mata kiri.
Sayangnya, dalam pikiran Aksara, Rini masih salah satu komplotan pembullynya.
Aksi tatap menatap bagi keduanya berlangsung selama hampir lima menit. Melihat tak ada tanggapan dari Aksara, Rini pun melanjutkan.
"Gue..," ekspresi ragu sekaligus malu timbul di permukaan wajahnya, pipinya sedikit merona entah kenapa, "gue suka sama lo."
Diam.
Pikiran Aksara kosong, hal yang paling tak pernah dipikirkan apa lagi dibayangkan olehnya terjadi tiba tiba. Apa ada yang salah dengan kepalanya? Apa mungkin, dia kepentok pintu atau sesuatu ketika dia kesini? Aksara tak henti henti nya berfikir bahwa pendengaran nya salah atau mungkin otak Rini yang salah?
"Ha?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Aksara.
"Em.." Rini tampak gugup, seperti dia tengah berkonflik hebat dalam benaknya. Akhirnya, setelah beberapa waktu dia seperti telah menentukan tekadnya lalu memandang Aksara dengan serius.
"Gue tau, lo ga mungkin percaya sama gue. Ya, gimanapun juga gue udah keterlaluan sama lo.. Tapi! Gue suka sama lo! Gue serius, Sa. Gue gatau ini ada sejak kapan, tapi bahkan ketika kita smp gue uda suka sama lo," ucap Rini dengan mata, sedikit berkaca.
"Gue selalu bersikap seakan akan gue ga peduli sama yang lo alamin, bersikap ngedukung si Sam but hey, lo gatau kan? Didalam hati gue, gue juga ngerasa sakit. Liat lo digebukin, di suruh suruh gajelas bahkan sampe disalahin atas tindakan yang sama sekali ga lu lakuin.
"Gue pengen ngebantu lo.. tapi ga bisa." Rini menundukkan kepalanya, seperti merasa sangat bersalah.
"Gue.." Aksara bingung harus menjawab apa, dia benar benar tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi.
"Lo yakin sama gue?" Setelah beberapa saat pertengkaran batin, Aksara mulai berani mengeluarkan suara. Ditatapnya Rini dengan lamat, seakan mencari setiap petunjuk yang bisa ia dapat.
Rini mendongak, membalas tatapan yang diberikan oleh Aksara dan akhirnya berucap, "Iya, gue yakin." Sorot matanya yang tajam itu memberikan kesan serius pada tanggapannya.
Aksara diam, memikirkan apa yang harus dia katakan.
Melihat Aksara sedikit ragu ragu atau malah sangat ragu, Rini pun memutuskan untuk pamit.
"Sar, gue pulang dulu. Lo bisa pikirin itu nanti, dan ya, dengan gue bilang begini berarti gue pengen jadi pacar lo," kata Rini sembari tersenyum pada Aksara lalu bangkit dan pergi meninggalkan Aksara sendiri.
Aksara hanya diam terpaku menatap punggung Rini yang semakin semu.
End.
"Apa.. aku kudu terima dia?" Semakin Aksara memikirkannya, semakin pusing jadinya.
[kudu : harus.]
"Ah, pusing!" Aksara menggeram, memegangi kepalanya yang terasa berdenyut hebat. Sungguh siksa baginya memikirkan apa yang perlu dia jawab atau tanggapan yang perlu diberikan pada Rini.
"Mending refresing dulu aja lah." Tiba tiba Aksara berdiri, dia ingin merehatkan otaknya sejenak dan pergi keluar jalan jalan.
Pergilah dia menuju kamar dan diambilnya hoodie berwarna biru tua polos tanpa hiasan apa apa. Kemudian dia pub memekai hoodie itu lalu beranjak keluar dari kamar dan pergi meninggalkan rumahnya, tidak lupa dia mengunci rumahnya sebelum pergi.
Skip.
Singkat cerita, saat ini Aksara tengah berada di jalan dekat rumahnya. Pada saat itu sudah pukul sekitar setengah sepuluh malam dan jalanan pun mulai menunjukan kekosongan, alias sepi.
Dia berjalan dengan lambat, menikmati perasaan angin menerpa wajahnya. Tenang, batinnya.
Dia terus berjalan, tanpa tau arah tujuan. Hm, mungkin ke taman cocok? Sekalian ngerenungin jawaban buat Rini tadi.
Kemudian, diapun terus berjalan namun sekarang dengan tujuan. Menuju taman dekat rumahnya.
Ketika baru beberapa menit Aksara berjalan, Aksara bertemu dengan orang yang sangat tidak dia sangka. Itu wanita, dengan pakaiannya yang kasual menutupi seluruh tubuhnya dan hoodie berwarna hitam dengan tulisan "Just playing" di dadanya.
Didekatinya wanita itu, dan ternyata benar. Itu memang orang yang dia kenal.
"Bu Ana?" Di sapa nya dengan pelan, sembari memastikan.
Wanita itu, yang tengah berdiri membelakangi Aksara pun berbalik. Mukanya yang ayu itu nampak sedikit terkejut dengan mulutnya sedikit terbuka lalu cepat ekspresi mukanya berubah menjadi senyum yang sangat indah. Mungkin bahkan bulan yang menyinari mereka pun kalah.
"Oh, Aksara?" Itu adalah Bu Ana, salah satu guru pengajar Aksara.
Bu Ana menatap Aksara dengan senyum diwajahnya, lalu berkata, "sekarang uda malam, kenapa kamu masih keluyuran?"
"Hehehe.. gapapa, bu. Saya cuma mau pergi ke taman depan situ saja," kata Aksara sembari menunjuk ke arah di depannya.
"Oh, kamu mau kesana? Yah, berarti kita sama. Mau jalan kesana bareng saya?" Mendengar bahwa tujuan mereka sama, Bu Ana pun menawari Aksara untuk pergi bersama. Yah, tapi ini bukan kencan, atau mungkin kencan? Haha, lupakan.
"Boleh, bu." Senyum di wajah Aksara yang sempat hilang tadi muncul kembali dan kemudian mulai lah mereka berdua berjalan berdampingan, berbincang dan tertawa di selipan keheningan malam menuju taman.
Bersambung.
"Mungkin memang takdir ku bertemu denganmu dan harap ku meronta ingin bersamamu. Maka semoga, pilihanku untuk menaruh harap, rasa padamu tidak keliru."
-Sang penaruh harap padamu, A.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bully : Cerita Perihal Pembunuh Tanpa Tangan
Dla nastolatkówBully, tindakan tercela tanpa moral atau etika. - • - • - • - "Aku selalu sabar menghadapi semua, berharap kalian bisa menerima ku apa adanya." "Perlakuan kalian semakin keras, namun aku selalu mencoba waras. Apa susah bagimu, untuk menerima ku?" "T...