05

51 38 26
                                    

Dalam lorong sepi, terlihat dua insan beda usia berjalan berdampingan. Mereka Aksara dan Bu Ana, entah hendak pergi kemana.

"Ini kita mau kemana bu?" Aksara bertanya tiba tiba, suaranya sedikit bergetar, mungkin gugup.

Dalam fikiran nya, dia mengira Bu Ana akan menagih "setoran" pelanggar.

Bu Ana sedikit melirik Aksara, tanpa sadar senyuman tipis muncul di wajahnya. Entah, baginya Aksara nampak sedikit lucu.

"Kita ga akan ke kantor, tenang aja. Kita cuma akan ke UKS, luka mu perlu di obati," kata Bu Ana dengan lembut.

Mendengar ini, Aksara kembali rileks tak merasa gugup seperti sebelumnya. Lantas ia pun menjawab, "baik, bu."

Senyum di wajah Bu Ana semakin lebar, dia merasa setiap kali berbincang dengan Aksara hatinya merasa sedikit senang.

- • - • - • -

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di UKS.

"Nah, ayo, Sara, kamu masuk dulu." Bu Ana membuka pintu UKS yang tertutup. Mungkin karena tidak ada orang didalamnya?

Tanpa menunda, Aksara pun segera masuk ke UKS. Didalam UKS terdapat kasur yang tertata dengan rapi, dipersiapkan untuk siswa yang mungkin kurang enak badan saat belajar. Ruangannya dicat dengan warna Hijau Tosca, tampak menyegarkan bagi Aksara.

Berjalan menuju salah satu kasur disana, Aksara kemudian merebahkan dirinya.

"Duh, enak iki habis pegel pegel langsung mapan turu," ucap Aksara dengan mata terpejam disana.

[Iki : Ini. Mapan turu : Siap tidur (dalam kata diatas dimaksud untuk merebah kan diri.)]

"Ekhem." Terdengar suara berdeham dari samping, Aksara pun menoleh ke arah suara.

"Eh, Bu Ana.." Cengengesan, Aksara lupa akan kehadiran Bu Ana.

"Iya, ada apa, Nak Sara?" Bu Ana berjalan mendekati Aksara, sedikit tertawa lalu berkata, "uda kamu rebahan aja dulu, saya ambilkan Betadine untuk lukamu."

Bu Ana berjalan sedikit menjauh dari Aksara, lebih tepatnya ke arah pojok belakang UKS. Disana terdapat sebuah lemari gantung kecil, mungkin untuk menyimpan obat obatan, pikir Aksara.

Tak berselang lama, Bu Ana kembali. Di tangan nya nampak sebotol Betadine baru, beberapa kapas dan plester luka.

Duduk di ranjang yang sama dengan Aksara, dia kemudian berkata, "Lepas bajumu, saya lihat tadi perut mu sempat ditendang Samuel."

"Ah.. i - iya, bu." Gugup merambah pada Aksara, jantung berdetak cepat seakan berpesta.

Aksara kemudian duduk, ingin membelakangi Bu Ana namun ditahan olehnya.

"Ga perlu ngehadap belakang, toh ibu juga ga macam macam."

"B-baik, bu." Kemudian, Aksara mulai melepas kancingnya satu persatu. Dari atas kebawah, dengan kecepatan yang sangat pelan.

Pikirannya meronta karena gugup, mungkin dia belum pernah dalam kondisi seperti ini sebelumnya.

Setelah kancing terakhir dilepas, Aksara mencopot dasi yang dikenakannya. Ditaruhnya tepat disamping, kemudian baju putih nya pun turut dilepaskan.

Kini hanya tersisa kaos oblong tanpa lengan yang digunakan Aksara sebagai dalaman.

"Kenapa berhenti? Lepas juga, yang mau ibu periksa itu perutmu." Bu Ana gemas dengan tingkah Aksara.

"Ah, baik," kata Aksara kaku, kemudian kaos oblong pun turut serta dilepas dan tergeletak disamping Aksara.

"Sudah, bu." Wajah Aksara terasa panas, dia pun menundukkan kepala tak berani melihat Bu Ana.

Bu Ana melihat badan Aksara dengan seksama. Lengannya meski sedikit kecil tapi terkesan kokoh, badan nya kurus namun otot ototnya sedikit terlihat. Kurang gizi ni anak, Bu Ana membatin.

Bu Ana mendekatkan tubuhnya ke Aksara, sedikit condong untuk melihat luka pada bagian perutnya.

"Lihat nih, lebam lebam. Uda kamu rebah dulu sana." Titah Bu Ana.

Aksara hanya mengangguk lalu menuruti apa yang di perintah Bu Ana.

"Nih, di obatin dulu," kata Bu Ana sembari meneteskan Betadine pada kapas, dan disentuh sentuh kan pada luka Aksara.

"Sstt.. sakit, bu. Pelan pelan," kata Aksara sambil merintih.

"Hus, tahan. Kamu ini anak laki, harus kuat." Bu Ana dengan sabar mengurusi luka Aksara.

"Besok besok jangan terlalu berurusan sama Samuel, ngerti? Kalau dia ngelunjak, lawan." Semakin kesini, Bu Ana sering kali merasa kasihan pada Aksara. Toh, Aksara hanya ingin punya teman yang banyak tapi malah sebaliknya yang didapat.

"Iya, bu. Insyaallah, hehehe." Aksara hanya cengengesan saja, duh memang anak ini diberitahu malah ketawa ketawa, batin Bu Ana.

"Yasudah, intinya begitu, kamu jangan terlalu de kata dengan..." Tanpa disadari, Aksara terus menatap wajah Bu Ana yang cantik itu. Senyum tak luntur dari mukanya yang babak belur, entah apa yabg di fikirkan olehnya.

- • - • - • -

Singkat cerita, waktu pulang pun tiba dan Aksara sudah singgah dengan tenang dirumahnya.

"Duh, tadi aku mikir opo ya? Kok sampe natap Bu Ana kaya gitu." Dikamar nya yang suram, Aksara bergumam. Memikirkan apa yang telah dia lakukan tadi.

[Opo : Apa.]

"Yah, sudahlah. Sekarang waktunya kerja." Kemudian  Aksara berdiri, hendak berangkat ketempat ia bekerja.

"Aksara?"

Ketika dia sudah ingin mengunci pintu rumah, tiba tiba saja dia mendengar seseorang memanggilnya.

Dia pun berbalik dan dia melihat seorang gadis seumurannya berdiri, dengan wajah ingin tahunya.

"Rini?"

Aksara kaget, pasalnya, siswi yang saat ini berdiri depannya adalah Rini. Salah satu dari kelompok Samuel, dan satu satunya wanita di kelompok itu.

"Ini rumah lo?" Tanya nya, terlihat dia sangat penasaran.

Gugup, Aksara hanya mengangguk.

"Oh.. gue boleh masuk? Sama gue mau minta minum, boleh ga? Hehe," kata Rini sambil dengan manis tersenyum.

"Ah.. t-tapi gue mau kerja." Terbata bata Aksara menjawab, sungguh dia saat ini sangat amat gugup.

"Ha? Lo kerja? Ah yauda lah gapapa, ayo masuk." Tanpa aba aba, Rini menarik tangan Aksara. Dengan cepat, Rini membuka pintu rumah Aksara kemudian menarik Aksara masuk kedalam.

Sebelum bisa merespon, Aksara sudah duduk manis dalam rumahnya. Didepannya ada Rini, salah satu siswi yang sering membullynya.

Rini tersenyum manis pada Aksara, dia bersikap seolah olah dia adalah teman baik Aksara.

"Jadi, Sa..." Rini melihat lihat keadaan dalam rumah yang sedikit kumuh. "Ini rumah lo? Lumayan bagus."

"Eh? Makasih.." Kepala Aksara terus menunduk, takut menatap Rini meski tingkahnya seperti bidadari.

Apa yang Rini perbuat disini? Mau apa dia kesini? Apa yang dia inginkan dariku? Segala macam bentuk pikiran terus malayang dalam benak Aksara.

Lalu apakah Rini hanya ingin sekedar mampir dan bercengkrama atau malah sebaliknya?

- • - • - • -

Bersambung.

Bully : Cerita Perihal Pembunuh Tanpa TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang