01 "Mimpi"

752 89 116
                                    

"Siapa kau?!"

Kian Santang terpojok di sudut sebuah ruangan. Matanya membulat sempurna saat melihat sabit besar milik sosok itu makin mendekat, dan siap untuk menusuk tubuhnya.

"100 hari.." Gumam sosok itu.

Kian Santang yang tak dapat mengeluarkan kesaktiannya hanya bisa pasrah. Untuk sekadar memukul mundur dengan kaki pun ia tak bisa. Entahlah, tubuhnya seperti tak mau digerakkan.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Apa maksudnya 100 hari?"

Sosok itu tak menggubris pertanyaan Kian Santang. Ia malah membenahi jubah hitamnya yang sedikit berantakan.

"Hei! Jawab aku!! Apa kau tak mendengarku?!"

Hening beberapa saat, hingga sosok hitam itu tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Kian Santang tak merasa lega, tapi justru semakin was-was.

"Kau diberi waktu hidup 100 hari, Kian Santang.."

Ia sedikit terperanjat ketika suara itu kembali muncul. Kali ini gertakannya pun menggema dan memekakkan telinga.

"U-untuk apa? Apa salahku?! Tolong jelaskan!"

"..kau akan mendapat kebahagiaan selama 100 hari. Setelahnya, kau akan kujemput pulang."

Degh

"Maksudmu.. hidupku tinggal 100 hari lagi, lalu setelah itu mati?"

Lagi- lagi sosok itu tak menjawab pertanyaannya. Ia membiarkan Kian Santang hanyut dalam rasa kebingungan.

***

"HUAAH!"

Dengan tubuh penuh peluh, Kian Santang berhasil membuka matanya. Tampak di sekelilingnya saat ini, ia tengah berada di atas ranjang tidur.

"Mimpi itu lagi..."

Kian Santang merasakan debar jantungnya yang luar biasa kencang. Bayangan hitam bersama suara-suara menyeramkan itu masih menghantui pikirannya.

"Tidak, Aku tidak boleh mempercayai mimpi itu. Sebab tak ada makhluk yang mengetahui kapan ia akan mati. Astagfirullahaladzim.."

Sudah 3 hari berturut-turut Kian Santang mendapatkan mimpi buruk itu. Anehnya, tiap kali sampai di alam bawah sadar ia selalu dibuat lupa dan tak tahu apa-apa.

Beberapa saat setelahnya, di wisma seorang anak raja..

"Hoahm.. mengapa di waktu pagi buta seperti ini ayahanda memanggil kita..?" gumam Surawisesa dengan mata terpejam.

"Aku tak tahu rayi, pasti ada sebuah misi penting yang harus kita kerjakan."

Kian Santang yang sudah terbangun sebelum shubuh, mencoba untuk membangunkan adiknya.

"Rayi, ayolah.. basuh wajahmu agar rasa kantuk itu hilang."

Surawisesa yang masih setengah sadar merasa sangat terganggu dengan guncangan tangan rakanya. Ia pun mengalah dan beranjak bangun.

"Baiklah, baiklah..!"

Surawisesa mengangkat kedua tangannya, memberi kode pada sang kakak untuk menariknya bangkit dari tempat itu.

"Manja sekali kau"

***

Surawisesa berjalan bersama Kian Santang menuju ruang semedi. Sesampainya di sana, mereka menjumpai tiga orang yang telah berdiri menunggu.

100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang