Di malam yang dingin, seorang pangeran tengah mengendap-endap di halaman istana.
"Siapa itu?"
Tubuhnya seketika menegang saat melihat ada seorang wanita yang mendekat. Padahal ia sudah menapakkan kakinya pelan-pelan agar tak menciptakan suara.
"..Putraku?"
Wanita itu berlari dan memeluk tubuh Kian Santang. Sedangkan yang dipeluk pun menghela napas lega setelah mengetahui orang itu adalah bundanya.
"Dari mana saja kau nak? Ibunda sangat mencemaskanmu! Mengapa kau tak kembali bersama saudara-saudarimu?!"
"Maaf telah membuatmu cemas dan lama menunggu, bunda."
Subang Larang memejamkan matanya sejenak. Ia merasa hampir gila karena selalu memikirkan putra bungsunya. "Apa kau baik-baik saja, putraku?"
"Aku tidak apa-apa, bunda." Jawabnya sambil menyunggingkan senyuman kecil.
"Syukurlah.. Mari masuk nak, bersihkan tubuhmu lalu istirahat."
Kian Santang mencubit kain baju sang bunda sembari menggelengkan kepalanya. Subang Larang yang melihat baby eyes dari putranya itu pun paham.
"Jangan khawatir, putraku.. ibunda akan membicarakan hal ini baik-baik dengan ayahandamu. Kau tak akan dimarahi apalagi sampai dihukum."
Subang Larang merangkul si bungsu dan membawanya masuk ke dalam istana. Selesai mengantar hingga ke depan wisma, ia pun pamit dan meninggalkan putranya seorang diri.
"...Kemana saja kau, rayi?!"
Belum sempat membuka pintu, Kian Santang tersentak saat mendapati suara amarah yundanya. Padahal ia baru saja sampai di istana malam ini.
"A-aku..-"
***
Di lain tempat, Nyi Rompang dan kawan-kawannya sedang berada di dalam markas mereka.
"Nenek! Mengapa kita tak menyerangnya saat ia sudah lemah?!" Teriak Prahasini kesal.
"Ohh Prahasinii, lihatlah dirimu! Sampai kini kau pun belum pulih karena pedang Zulfikar itu!" Kali ini bukan Nyi Rompang yang menjawab, melainkan Hariwangsa.
Tahukah kalian? Mereka berempat sudah tampak seperti keluarga bahagia. Nyi Rompang dengan suaminya -Hariwangsa. Lalu anak mereka, Prahasini dan Yudakara.
"Kita belum bisa membunuhnya saat ini, kenari.." Lirih Yudakara.
"Meski tubuhnya sudah menghantam pohon itu sampai roboh, dia masih bisa bangkit, Prahasini.. sedangkan kita semua masih terluka. Jadi aku mengajak kalian semua untuk kabur!" Ujar Nyi Rompang angkat bicara. Semua yang mendengar penjelasannya pun mengangguk paham.
***
"A-aku.."
Kian Santang memejamkan matanya lelah. Tak ada kah yang mengerti? Saat ini ia hanya ingin melepas penat dan tak ingin menemui siapapun.
"Kau gagal menangkap Nyi Rompang, bukan?" Tanya Rara Santang
"Yunda, dia tidak sendirian.. dia membawa teman-temannya!"
"Lalu mengapa kau baru tiba sekarang?!" Tanya Rara Santang lagi
"Tadi.. ada sedikit kecelakaan" Kian Santang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Datang tak diundang. Surawisesa -yang tengah melewati tempat itu- berjalan menengahi pembicaraan kedua saudaranya.
"Raka, kau baru kembali? apa kau lupa dengan tugas yang diberikan ayahanda?" Namun tampaknya ia muncul bukan untuk menengahi, melainkan memperkeruh suasana.
![](https://img.wattpad.com/cover/273264471-288-k544505.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days
Historical FictionDiberi waktu hidup 100 hari untuk mendapat kebahagiaan, atau menjalani hari-hari penuh ancaman? note: cerita ini hanyalah sebuah karangan, tidak ada sangkut-pautnya dengan sejarah