Cogitation #3

11 5 2
                                    

Hari-hariku selalu membosankan, terulang secara rutin setiap harinya. Akan tetapi, hari ini ada yang berbeda, Ren mengajakku untuk keluar malam ini dan bermain bersamanya. Aku benar-benar berharap ini akan menyenangkan dan aku tak mengacaukan segalanya. Aku memilih untuk memakai wide leg jeans berwarna biru muda, cardigan krem dan tank top putih. Aku berharap tidak salah kostum karena ini adalah baju yang paling nyaman untuk kupakai setelah aku menimbang berpuluh-puluh kali mau mengenakan baju yang mana. Aku juga berpikir berkali-kali bagaimana Ren akan menjemputku karena kami sama-sama baru berumur 16, dan tentu saja belum memiliki surat izin mengemudi.

"Ra, temen kamu udah datang nih." Teriak ibuku dari bawah.

"Iya mah, Ara turun."

Ren sedang berbincang dengan ayahku. Ah apakah aku harus memotret momen ini dan menyerahkan pada reporter? Ayahku adalah tipe orang yang sangat posesif terhadap anak perempuannya, bahkan tak banyak teman-temanku yang berani berkunjung ke rumahku karena ayahku terlalu galak. Tapi aku tetap tidak bisa merasa senang, Ren hanya sahabatku. Tidak lebih.

Aku dan Ren segera keluar setelah meminta izin kepada ayahku. Ternyata Ren membawa supirnya untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan yang belum ku ketahui.

"Kita mau kemana Ren?"

"Pasar malem mau kan? Kemaren aku ngeliat gitu jadi aku mau ngajak kamu kesana."

"Mau bangetttt." Jawabku bersemangat.
Hari ini Ren menggunakan kemeja berwarna hitam tanpa dikancing, kaos polos hitam sebagai inner dan jeans berwarna hitam pula. Benar-benar sangat tidak match dengan bajuku, tapi aku sudah merasa beruntung karena baju yang kupakai tidak salah kostum.

"Mau apa dulu?"

"Bianglala yuk."

"Ogheyy lez go."

Actually, aku suka naik bianglala, sayang sekali aku takut ketinggian.

"Ren pinjem tangan kamu."

Ren segera memberikan tangannya kepadaku, dan tentu saja tangannya terasa hangat, karena aku sedang menahan rasa takutku, maka tanganku otomatis mendingin.

"Ra, kayanya aku mau nembak Al deh."
Aku otomatis melepaskan genggaman tanganku pada tangan Ren.

"Ra, kamu gapapa?"

"Eh ga kok, aku kaget aja tadi."

"Setelah beberapa bulan kenal Al, aku ngerasa cocok sama dia,apalagi Al anaknya seru banget gitu."

"Oh gitu, semangat ya semoga diterima sama Al."

Aku benar benar harus menelan pahit kali ini, terasa sesak tapi tak bisa mengungkapkan adalah another level of pain. Terlebih akan lama jika menunggu sampai jam 8, masih ada tersisa satu setengah jam. Aku dan Ren segera menuruni bianglala yang kami naiki setelah petugas yang berjaga membukakan pintu.

"Ra mau beli sesuatu ga?" Tanya Ren melihat ke arahku.

"Oh iya kamu kan suka banget jagung." Lanjut Ren.

Aku benar-benar tak sanggup menahan sesak yang ku rasakan.

"Ren, aku tiba-tiba ga enak badan, kalo kita pulang sekarang aja gimana?"

"Eh, kamu sakit Ra?"

"Maaf ya."

"Hey, gapapa, ya udah yuk kita pulang."

Aku benar-benar merusak acara hari ini. Aku bahkan bisa mendengar nada kecewa Ren di balik kalimat khawatirnya. Akan tetapi aku benar-benar sudah tidak sanggup menahan sesakku ketika orang yang kusuka ternyata lebih memilih sahabatku ketimbang diriku. Andai saja, aku mampu mengungkapkan secara langsung, mungkin sekarang aku sedang menangis tersedu-sedu sambil mengatakan bahwa aku menyukai Ren lebih dari siapapun. Tapi aku tak ingin membuat citraku menjadi buruk, lebih baik aku memendamnya.
Untuk pertama kalinya aku membenci pasar malam.

***

Hari senin pukul 3 sore, entah kesialan apalagi yang akan aku dapatkan setelah laki-laki yang kusuka lebih memilih teman sebangku ku. Mereka resmi berpacaran, memang siapa lagi yang akan menolak Ren yang super sempurna? Mungkin ada, tapi yang pasti itu bukan aku maupun Al.

"Ra, abis ini aku, ren dan anak-anak mau nongki mau ikut ga?" Tanya Al sambil membereskan peralatan sekolahnya.

"Ga ada yang jemput nanti gue." Balasku beralasan karena aku yakin pasti aku akan melihat bagaimana Ren dan Al bermesraan disana.

"Alah santuy lah kalo itu, nanti banyak yang bawa motor kok, kalo enggak nanti gue bareng lo deh naik go-car."

Aku kehabisan alasan,"Oke deh, gue kabarin orang rumah dulu."

Aku benar-benar makin membenci hari senin. Setelah sholat ashar, aku, Ren dan Al menumpang ke mobil kakak kelas kenalan Al, tentu saja dia sudah mempunyai SIM. Aku duduk di depan bersama Rafa, kakak kelas kami, Al yang memaksaku. Anyway, Rafa memintaku untuk memanggilnya langsung nama tanpa embel embel kak karena katanya Al juga melakukan hal yang sama, selain itu dia juga mengatakan ia lebih suka dipanggil nama langsung karena terlihat seperti teman bukan senior dan junior. Jika dipikir-pikir sepertinya Al memang cocok dengan Ren, mereka sama-sama famous di sekolah padahal masih awal tahun pertama.

Rafa juga termasuk siswa yang perfect, dia masuk ke dalam 10 besar ranking parallel jurusan MIPA, aku mengetahuinya dari majalah sekolah yang kubaca beberapa hari lalu di perpustakaan. Dari sepuluh siswa kelas 11 yang masuk ke dalam 10 besar tersebut, Rafa punya point plus lain, ia sangat good looking. Aku sampai heran bagaimana bisa manusia-manusia yang berdekatan dengan Ren dan Al selalu sempurna seperti mereka. Aku bahkan merasa kentang dibandingkan mereka yang terlihat seperti berlian.

Sesampainya di kafe, kami memilih untuk menyatukan dua meja menjadi satu, agar kami bisa tetap berada dalam satu circle. Beberapa kali aku melihat betapa Ren sangat manis memerlakukan Al, hal yang kurasakan tentu saja ingin segera menghilang dari tempat itu segera. Ada beberapa teman lain yang juga asik berbincang tentang hal ringan, PTN, hobi, lagu, kafe yang nyaman dan beberapa hal random lain, tentu saja selain membicarakan keburukan orang lain, kupikir itu memang bukan kelas mereka membicarakan hal tersebut, mereka manusia-manusia berkualitas yang sepertinya terlalu sibuk untuk hal selain memperhatikan keburukan orang lain. Hampir dua jam disini, dan sekarang sudah pukul lima di sore hari.

"Ra, pulang bareng Rafa ya, rumah kalian searah kok." Beritahu Al kepadaku.

Aku mengangguk dan menanyai Rafa, "Kamu habis ini langsung pulang atau mau kemana dulu?"

"Langsung pulang, kenapa?"

"Oh enggak kok, misal kamu mau kemana dulu biar aku pesen gojek gitu."

"Gak kok, yuk pulang."

Sebeneranya ada first impression lain yang membuatku takjub dengan Rafa, his manners. Contohnya saja ia membukakan pintu kafe untukku yang berada di belakangnya, tidak, manner ini tidak hanya dilakukan untukku tapi dia melakukannya kepada siapapun orang di belakangnya.

Contohnya tadi saat masuk rafa berada di paling depan dan ia menahan pintu sampai orang terakhir masuk, padahal aku sangat yakin jika Rafa tidak mengenal anak SMP itu. Kafe yang kami kunjungi tidak terlalu jauh dari sekolahku yang berarti tidak jauh juga dari rumahku, karena rumahku sangat dekat dengan sekolahku.
Saat sampai di kamarku, aku bergegas menghubngi Al melalui chat untuk meminta nomor Rafa, Al tentu saja memberikannya walaupun dengan sedikit godaan.

"Udah sampe rumah? Makasih ya tumpangannya." ketikku padanya, yang juga kutahu dia sedang online.

"Udah baru aja Ra, sama sama." Balasnya tanpa menyingkat kata-kata di pesan tersebut.

Aku tak membalasnya lagi karena aku memang hanya ingin menyampaikan terimakasih sekaligus memastikannya sudah sampai di rumahnya, tidak l

***

Terimakasih tetap membaca sampai part ini, semoga suka🥰

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang