Cogitation #6

6 5 2
                                    

No edit hehe

***

“Nad, gue boleh telfon lo gak, kapanpun sesenggang lo.” Tulisku pada pesan yang kukirimkan kepada sahabatku yang memang kami jarang berkomunikasi, tapi selalu ad ajika saling membutuhkan.
Belum lima menit pesanku terkirim, tapi di ponselku sudah ada nama Nadia, yang menunjukkan kontak tersebut menelponku.

“Hallo Ra, ada apa?” Nadia terdengar khawatir.

“Nad gue tiba-tiba kangen banget sama Ren, rasanya tuh kaya sesak banget gitu loh, lo pernah ngalamin ga?” Jujurku pada Nadia.

“Lo tahu sendiri kan masalah terberat dalam hidup gue tu apa. jadi, gue juga sering ngerasa kaya gtu. Biasanya kalo lagi sakit gitu, gue pasti nangis, selesai nangis gue kadang nelpon lo, lo tahu sendirilah ya.”

“Nad, sebenernya gue udah deket sama salah satu cowok di sekolah gue, dia baik banget, pinter, cakep. Kayanya nyokap gue kalo belum punya ayah gue, dia bakalan suka sih sama tuh cowok.
Cuman gue masih ragu buat melangkah sama dia, di malam malam yang random gini, gue kaya masih kangen sama Ren.”

“Menurut gue, lo udah bisa gas sih sama si cowo itu, lo cuman kangen dia karna belum ada yang ngisi kekosongan lo, ini pendapat gue sih Ra, cuman yang paling tahu soal diri lo ya cuman lo sendiri.”

“Besok gue mau ke malioboro bareng dia.”

“Wishhh, gas aja lah kalo gitu, jangan ngasih batesan apa-apa lagi ke dia.”
“Sialan tahu aja lo.”

Obrolan kami disambung dengan obrolan-obrolan tak bermutu lain, contohnya saja tentang berapa banyak anak yang sudah dimiliki oleh kucing di depan rumah Nadia yang kami temukan dulu. Nadia memang salah satu orang yang paling dekat denganku, karena kami kenal sudah sejak kami TK.

***

“Loh kamu dah beli jajan duluan?” tanya Rafa saat aku membuka pintu mobilnya.

“Iya biar cepet, aku beli rumput laut kok, rasa sapi panggang.”

Rumput laut rasa sapi panggang adalah camilan yang paling disukai oleh Rafa, yang jujur menurutku memang enak!
Rafa tersenyum,”Whoah apal banget.”

“Yaiyalah, Ara gitu loh, peka.”

Rafa tidak menjawab, ia hanya mengusap pelan surai hitamku. Aku sampai heran kenapa laki-laki tidak ada yang peka bahwa hal tersebut bisa membuat para perempuan hampir serangan jantung.

Tak banyak obrolan antara aku dan Rafa, kami hanya mendengarkan lagu yang kami putar sejak awal perjalanan. Dan entah bagaimana kami sudah sampai di Tugu Jogja, yang berarti kami sudah sangat dekat dengan Malioboro.

“Ra, kamu gak pengen nyoba sama aku? Kamu sadar kan kalo kita emang ada apa-apa sejak awal?”

Aku terkejut dan tentu saja tahu kemana arah percakapan kami.

“Kaget banget, kamu tiba-tiba ngomong kaya gitu wkwk.” Aku menyebutkan kata ‘wkwk’ dengan menyebutkan satu ppersatu hurufnya.

“Aku emang berpikiran buat nyoba sih sama kamu. Cuman, tahu ga Raf, aku tu kalo in relationship jadi Clingy banget dan bucin banget.”

“Mau ngakak tapi lagi serius.” Jawab Rafa spontan tanpa dosa.

“Aku udah tahu dari awal sih, jadi aku ga masalah.” Jawaban Rafa tepat saat kami berhenti di parkiran mobil yang tersedia di Malioboro.

“Tahu dari mana Raf?”

“Udah ayok turun, dah sampe nih.” Rafa mengalihkan pembicaraan kami. Aku menurut dan tidak memperpanjang obrolan kami.

Tempat yang kami tuju pertama kali adalah Gramedia yang terletak di salah satu Mall di Malioboro. Hal ini sudah aku bicarakan dengan Rafa sebelumnya karena aku hendak mencari buku-buku untuk UTBK. Kami harus berjalan agak jauh untuk sampai di Mall yang kami tuju, dengan tangan Rafa yang menggenggam tanganku. Aku sangat berharap kepada Tuhan agar tanganku tidak sedingin es, jujur saja aku sangat berdebar karena Rafa menggenggam tanganku, maklum aku sudah lama sekali tidak menjalin hubungan, karena terlanjur menyukai Ren.

Saat sampai di Gramedia, aku akhirnya memilih dua buku untuk UTBK, satu untuk SAINTEK dan satu lagi untuk SOSHUM. Hal itu karena aku masih belum menentukan pilihan akan kemana aku saat kuliah nanti, dan memang ada pikiran untuk lintas jurusan, sayang aku belum yakin.

“Nanti bukunya pasti gak guna salah satu.” Kata Rafa setelah kami keluar dari Gramedia.

“Berguna kok, aku bisa preloved atau kasihin ke temen.”

“Gak IPC aja?” Gurau Rafa padaku.

“Gak deh mas, makasih satu jurusan aja pusing.” Jawabku serius.

Jika kalian bertanya-tanya, tentu saja aku membayar buku-buku itu dengan uangku sendiri. Sebenarnya Rafa sudah akan membayar buku ini, akan tetapi karena aku sadar ini untuk kebutuhanku sendiri di masa depan maka aku lebih memilih membayarnya sendiri. Apalagi Rafa tidak membeli apapun di Gramedia. Sangat memalukan untukku jika Rafa membayar buku-buku ini, kami masih SMA yang menggunakan uang orang tua.

Kami kembali berjalan-jalan di Malioboro dengan Rafa yang membawakan dua buku tebal di tangan kanannya dan tangan kirinya menggandeng tanganku. Malioboro ramai takut kepisah, mungkin itu alasan Rafa menggandengku, atau karena kami menjalin hubungan? Ah entahlah. Oh ya, satu hal yang tak pernah kulewatkan jika datang ke Malioboro, Membeli gelang. Aku dari dulu memang suka memakai gelang tali, mungkin menurut beberapa orang terkesan norak, tapi aku benar-benar menyukainya.

Karena memang sudah waktunya makan malam, akhirnya kami memilih untuk makan malam terlebih dahulu. Aku sudah membeli bakpia kesukaan ibuku sebagai oleh-oleh. Mungkin jalan-jalan kali ini ini akan ditutup dengan makan malam di salah satu warung pecel di sana.

Rafa memesan makanan kami, “kamu mau apa ra?”

“Aku dada ayam sama minumnya es jeruk.”

“Okay deh.”

Rafa memesan lele goreng dengan es jeruk tentu saja.

“Aku suka deh waktu tadi kamu manggil mas.”

Aku buru-buru menyeruput es jerukku yang datang lebih dulu dibanding makanan kami. Dan sepertinya suhu Malioboro naik, aku tiba-tiba menjadi semakin gerah, walaupun kuyakin aku gerah karena pernyataan absurd Rafa.

***

Makasih banyak ya udah baca sampe sini, semoga suka sama part ini(♡´▽'♡)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang