Sesuai apa yang dah aku bilang, jam 9 malem nieh update🥳.
Baikkan aku?
Notifikasi ini kalian dapet jam berapa, teman?
* * *
Kelendra langsung membagikan buku paket bersampul coklat ditangannya, gerakannya yang sangat terkesan buru-buru membuat mereka yang menerima bagian menutup rapat mulut.Kalendra pindah, membagikan buku dibarisan kedua. Pandangan matanya tertunduk hanya menatap buku saja. Ia sudah hapal berapa manusia dibarisan ini.
"Wesss, santai-santai."
Gerakan Kalendra berhenti, ia menatap tajam Aldo.
Dasarnya Aldo, manusia paling tak mengerti keadaan. Namun, tatapan bagaikan silet itu membuatnya paham. Sembari mengambil beberapa buku yang telah Kalen taruh dimejanya, ia menyengir lebar.
Tinggal satu buku yang tersisa untuk barisan ini, masih dengan menatap tajam Aldo, Kalendra melempar buku paket itu dengan kasar, menghasilkan suara yang nyaring. Anak-anak berseragam abu-putih dikelas itu langsung menatap kearahnya, untung guru sedang tak ada dalam kelas. Jika digambarkan kartun, mungkin rambut Aldo beterbangan sangking kerasnya Kalen melambar buku kemeja.
"Makanya, mulut dijaga, Do," bisik temannya dari belakang.
Kalendra berlalu dari sana. Seperti tadi, ia membagikan buku dibarisan selanjutnya. Kurang tiga buku, jatahnya sudah habis. "Sisanya, tunggu cewe itu." Ujarnya memberi tahu, dengan menenteng satu buku paket ditangannya, Kalen berjalan kearah mejanya.
Tak lama setelahnya, Deva datang dengan nafas memburu, sepertinya gadis itu habis berlari.
Lagi-lagi, Aldo berkomentar. "Eh, eh, eh. Abis dikejar siapa Va? Ada hantu?"
Tabokan dari belakang didapat Aldo. Remaja pria itu hanya tersenyum menoleh kebelakang.
Devaya hanya tersenyum kearah Aldo. Melihat buku paket bagian kanannya sudah ada dimeja-meja, ia meringis, sembari melangkahkan kaki menuju temannya yang belum kebagian buku, mata Deva melirik pelan kearah Kalen. Ia tersenyum tipis, duduk anteng, cowo itu tengah fokus pada bukunya, Deva merasa bersalah. Tidak enak, karena terlalu lama bersama Leo tadi.
Setelah selesai membagikan buku, Deva kembali kebangkunya. Dalam jalannya, matanya terus melirik Kalendra, cowo itu terlihat begitu kerenneble, membaca buku dengan menopang pipi, serta memainkan lidahnya didalam. Deva menggingit bibir bagian dalamnya. Ia duduk, mulai fokus pada pelajaran
Getaran disaku seragam mengalihkan fokus Kalendra. Dengan tatapan masih tertuju pada buku ia merogoh ponselnya. Mata Kalen berpindah dari buku ke layar ponsel. Mengerutkan kening saat melihat satu nontifikasi pesan dengan nomor yang tak dikenal. Jari Kalendra membuka pesan itu, seketika decihan keluar dari bibirnya. Melempar pelan ponsel miliknya diatas buku, ia pun lantas memijat kening. Tanpa bisa dicegah, kejadian tiga tahun lalu berputar, kepalanya menggeleng pelan, semakin memijat keningnya menghalau sakit.
"Maaf, lama ya. Ibu tadi ada tamu."
Suara itu akhirnya membantu Kalendra, dengan mood yang sudah hancur, Kalendra berusaha mengumpulkan semangat belajarnya. Kata-kata tiga tahun lalu itu membakar semangatnya. Ia harus senantiasa mengingat itu, agar dirinya bisa sukses.
Pembelajaran segera dimulai.
"Baik, materi bab ini sudah selesai ya, masih ada waktu, kita koreksi saja sama-sama tugas yang saya beri kemarin. Silahkan kumpulkan dimeja saya dahulu, nanti akan saya bagikan secara acak, kemudian kita koreksi bersama."
Intrupsi dari guru tersebut membangkitkan mereka dari kursi masing-masing, sambil menenteng buku tugas, mereka berjalan kearah meja, mengumpulnya diatas sesuai perintah sang guru. Sayup-sayup terdengar decakan, mereka yang tidak mengerjakan tugas sudah bahagia diawal, karena mengira sang guru lupa dan melanjutkan materi daripada meminta tugas, tapi kenyataan menghantam mereka, ternyata diakhir pembelajaran, tugas tetap dikumpul. Guru tetap mengingat apa yang telah ia beri, biarpun tekadang dirinya tak meminta tugas lalu, itu hanya sebagian kecil dari guru yang ingin membahagiakan anak didiknya.
"Sudah?"
Bu Dayu, guru sejarah itu kemudian menghitung jumlah buku tulis yang sudah terkumpul dimejanya. "Oke, udah pas." Ujarnya, kemudian ia membagikan buku-buku itu.
Setelah semua buku habis tak tersisa dimejanya, mulailah aktivitas mengoreksi.
Devaya Slavina, batinnya membaca. Kalendra mulai mengoreksi, begitupun dengan yang lainnya.
Sepuluh menit cukup mereka habiskan untuk mengoreksi.
"Aldo," bu Dayu menyebutkan nama yang akan ia mintai nilai
Seorang gadis mengangkat tangan, dia yang membawa buku milik Aldo, "Betul tujuh, salah tiga, Bu."
Bu Dayu mengangguk, ia mencatat keterangan itu.
Sampai giliran, "Devaya,"
Kalendra mengangkat tangan, "Tidak ada salah, Bu."
Devaya sontak menatap Kalen, ia tahu betul ada dua jawaban yang salah, dirinya ingat, nomor dua dan lima jawabannya tidak sesuai dengan kunci jawaban dari sang guru.
Seperti tak menangkap tatapan Deva, Kalendra manggut-manggut menatap buku miliknya.
Wanita kepala tiga itu memberikan jempolnya sembari lanjut menulis.
Selesai dengan seluruh siswa, pas sekali jam pembelajaran habis.
"Ok, ges, makasih ya! Jan lupa kembalikan buku kepemiliknya," dengan gaya anak muda, guru sejarah tersebut melambaikan tangan dan berlalu keluar kelas.
"Terimakasih kembali, Ibu cantic!" balas kompak anak XI MIPA 1 menggiring kepergian sang guru.
Kalendra berjalan kearah Deva, menyodorkan buku cewe itu.
Tersenyum, Deva mengambilnya. Buru-buru ia membuka tepat dihalaman tugas. Benar dugaannnya, nomor dua dan lima memang tidak sesuai dengan jawaban asli dari bu Dayu. Di samping jawaban miliknya, ada jawaban yang benar. Dari tulisannya mirip dengan tulisan miliknya, tapi dirinya tidak mungkin yang menulis itu. Apa lagi memakai pensil, Deva ingat dirinya hari ini lupa membawa kotak alat tulis, pulpen pun ia meminjam tadi.
"Ganti jawaban lo."
Deva mengangkat kepala, ia memandang Kalendra yang sudah berbalik badan melangkah keluar kelas. "Kalen, enggak seharusnya lo ngelakuin ini," tegur Deva.
Kalendra menghentikan langkahnya. Menoleh sedikit, "Awalnya gue nggak mau ngelakuin ini, tapi lo kayaknya mau nilai lo jelek, padahal gue udah ngasih jawaban ke lo di sticky note. Gue cuma niat bantu aja, kalau lo emang gk terima, bisa datang ke Ibu, ngomong jujur." Setelah mengetakan kalimat yang cukup panjang, Kalendra pergi.
Deva mematung. Refleks, tangannya merogoh laci. Menarik, Sticky Note-pemberian Kalen yang tadi ia temple didalam laci. Deva membalikkan kertas pink itu, terperangah, betul apa yang diucapkan cowo itu. Dibalik kertas ada jawaban yang seharusnya ia salah.
* * *
Terimakasih udah baca.
Spam next?
Follow akun ig dan wp aku buat tahu kapan update selanjutnya ya! fabasti8

KAMU SEDANG MEMBACA
Kalendra
Teen FictionDia bernama Kalendra, hidupnya tak pernah merasa damai. Selalu dididik untuk menjadi terbaik dari yang baik. Sebagai bukti kekerasan sang ayah, ada goresan panjang yang menghiasi punggung kekarnya. Jika didalam rumah seperti neraka baginya, maka di...