Pagi telah menyapa, Kalendra saat ini sudah siap dengan seragam bersihnya, beruntungnya karena hari ini hari rabu, jadi seragam putih abu-abu kemarin tidak dikenakannya lagi. Kamar yang seharusnya berantakan khas pemuda pria itu tidak seperti kenyataannya, kamar yang didominasi gelap milik Kalendra terlihat bersih dan rapi. Barang-barangnya tertata dengan baik. Kamar pria berusia tujuh belas tahun itu tidak tersentuh orang lain kecuali dirinya sendiri dan sang adik, para ART yang dipekerjakan tak pernah satu kali pun memasuki kamarnya, itu atas permintaan Kalen sendiri. Dirinya merasa mampu untuk membersihkan kamarnya tanpa meminta bantuan pada orang lain.
Selesai dengan persiapannya, Kalen bergegas keluar dari kamar, ia berjalan menuju kamar adiknya. Mengetuk pintu beberapa kali sembari memanggil nama adiknya.
"Ami?"
Panggilan ketiga terdengar balasan.
"Iya, Abang! Sebentar! Ami lagi siap-siap."
Kalendra tersenyum kecil mendengar suara adiknya yang terdengar biasa saja, malahan terdengar ceria. Kalen bersyukur, kejadian semalam tidak membuat suasana hati Ami larut dalam kesedihan.
"Oke, Abang tunggu dibawah ya?"
Kalen tanpa mendengar balasan adiknya berbalik, melangkah menjauh. Tapi sebelum langkahnya benar-benar menjauhi kamar sang adik, terdengar suara pintu yang terbuka.
Kalen berhenti, ia menoleh kemudian sedikit menyerongkan badan menghadap gadis cantik yang berdiri diambang pintu itu. Ekpresi Kalen seakan mengatakan 'Apa?' pada adiknya yang tak kunjung berbicara dan menatap lantai.
Kalen berdehem pelan untuk menyadarkan Ami.
"Em..., Bang, boleh kita sarapannya diluar aja?" Ami bersuara pelan, menatap abangnya dengan sedikit memohon.
Alis Kalen bergerak keatas tapi sedetik kemudian ia mengangguk paham. Ia tersenyum, "Baiklah Putri," jawabnya membungkuk seperti seorang bawahan pada putri raja yang siap menjalankan perintah.
Wajah Ami berubah seratus delapan puluh derajat, ia tersenyum sedikit terkekeh.
Kalendra mendekat, mengacak gemas rambut Ami yang terurai, "Sana gih siap-siap."
Masih dengan bibir yang tertarik lebar, Ami mundur dua langkah, menyebabkan tangan sang abang terlepas dari atas kepalanya. Ami membungkukkan badan dengan kakikirinya yang ditekk kebelakang layaknya seorang putri yang pernah ia lihat dikartun Berbie. "Baik, Pangeran," ujarnya membalas kelakuan sang kakak.
Setelahnya tawa tidak dapat terbendung. Kakak beradik itu tertawa oleh kelakuan mereka sendiri. Keduanya terlihat bahagia seakan kejadian semalam tidak pernah terjadi. Kalen akhirnya menghentikan tawanya yang diikuti Ami. Ami berlalu memasuki kamarnya, menuju meja rias, mengambil satu ikatan rambut dan tasnya yang menggantung dikursi, setelah mendapat semua yang ia butuhkan, ia berlari mendekati kakaknya yang menunggunya didepan pintu. Kakaknya itu terlihat tampan, Ami yakin disekolah pasti banyak cewe-cewe yang mengagumi kakaknya itu.
Ternyata, perkiraannya salah, adiknya masih terbawa dampak semalam. Permintaan sang adik mampu menyadarkan Kalen, bahwa adiknya itu ingin segera keluar dari rumah yang tak memiliki definisi rumah mereka.
"Let's go!" girang Ami menarik kakaknya untuk segera berjalan.
Tawa Ami diselingi candaan dan kekehan Kalendra perlahan menghilang seiring tubuh keduanya menjauhi lantai dua, menyisahkan senyum kecut dibibir ayah mereka yang diam-diam mengamati kedua anaknya dari jauh. Bagas menyentuh dadanya yang terasa nyeri.
* * *
"Ami mau sarapan apa?" Tanya Kalendra tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang masih tampak redup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kalendra
Teen FictionDia bernama Kalendra, hidupnya tak pernah merasa damai. Selalu dididik untuk menjadi terbaik dari yang baik. Sebagai bukti kekerasan sang ayah, ada goresan panjang yang menghiasi punggung kekarnya. Jika didalam rumah seperti neraka baginya, maka di...