Ziarah

119 29 112
                                    


Hari sudah semakin gelap, seisi kantor sudah pulang satu jam sebelumnya. Tinggallah Hara dengan setumpuk jurnal yang perlu direvisi lembar demi lembar. Setiap setahun sekali, di tanggal yang sama, Hara sengaja menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan sebanyak mungkin walau tidak sedang diburu deadline. Kedua bola matanya menatap tajam pada layar komputer di hadapannya, jemarinya sibuk berselancar di atas papan ketik dan juga membolak-balik kertas-kertas berisi jurnal, sesekali dia melirik ke arah ponsel di sebelahnya. Pikirannya sedang ke mana-mana, tampak dari rautnya yang terkadang mengerut, kemudian datar, begitu seterusnya. Dengan pikiran yang ke mana-mana itu, seakan-akan dia berharap dapat membuat suatu keputusan.

"Belum pulang ra?"

"Ada apa?"

"Ah, dompetku ketinggalan, untung belum jauh."

"Oh, begitu."

"Kamu belum pulang? Atau, kamu mau temani aku sebentar?"

"Kemana tiba-tiba?"

"Sudah, bereskan dulu barang-barangmu. Ikut aku."

Hara merasa situasi yang dihadapinya ini sangat tidak nyaman. Satu-satunya yang sedang tidak baik-baik saja adalah Hara, tetapi dia harus mengikuti perkataan managernya yang usianya hanya setahun lebih tua darinya itu.

Dalam perjalanan, Hara senang mengamat-amati isi mobil tua si manager. Waktu dia masih kecil, mendiang bapaknya juga mengendarai jenis mobil yang sama persis. Kadang-kadang dia punya keinginan untuk menanyakan perihal mobil tersebut kepada si manager yang tengah menyetir di sebelahnya. Namun dia urungkan niatnya itu.

"Jadi, kamu masih tinggal di Kenyeri?"

"Masih."

Mendengar jawaban sesingkat itu, si manager menghentikan pembicaraan. Hara menggosok-gosok lututnya pertanda canggung.

"ACnya terlalu dingin ya? Aku sedang coba-coba pasang AC di mobil ini, tapi rasa-rasanya nggak cocok. Mobil tua sih."

"Hahahahahah."

"Kamu tertawa?"

Hara terdiam lalu menekan tomboll off AC. Dia melirik ke sebelah kiri, perlahan menarik tuas kaca, lalu menghirup udara malam yang dingin.

"Dulu bapak nggak suka pakai AC."

Managernya mengernyitkan dahi tanpa niatan membalas kata-kata Hara. Hara kembali menggosok-gosok lututnya, kali ini dia juga mulai menggoyang-goyangkan kaki. Tiba-tiba nada alarm di ponsel Hara berbunyi, membuat kepala dan bahunya bangkit. Sehabis melirik layar ponsel sekilas dan mematikan alarm, wajahnya kembali muram. Tampak kekecewaan di wajahnya karena seharusnya pada saat-saat seperti ini dia lebih baik sendiri. Sebenarnya, tadinya dia berencana akan pulang dalam keadaan sangat letih, sehingga saat tiba di rumah, dia bisa langsung tertidur lelap. Sampailah pada tikungan kelima kalinya, mobil tua itu belum juga tiba pada tujuan yang entah kemana.

"Pesan dari teman?"

"Hanya alarm pengingat."

"Kamu ada acara hari ini?"

"Bukan aku. Orang lain."

Si manager menghela napas, lalu mengalihkan pembicaraan.

"Kemana kamu biasanya di akhir pekan?"

"Di rumah aja."

"Nggak keluar dengan teman?"

"Aku nggak tertarik."

"Mau dengar musik?"

Tanpa jawaban, Hara langsung mengambil sebuah kaset usang dari dalam laci yang tulisan pada sampulnya hampir tidak bisa terbaca lagi. Dia melirik dan meraba-raba seisi laci, namun kaset itu adalah satu-satunya yang ada di sana. Hara tak punya pilihan lain, dia memasukkan kaset itu ke dalam tape. Saat lagu pertama mulai mengeluarkan suara, degup jantung Hara serasa beradu, hendak keluar dari berbagai sisi, rautnya tampak termangu. Alunan musik itu seakan-akan menyeretnya pada seorang kawan yang sekian lama tak berjumpa.

"Kamu nggak suka lagunya? Maaf, aku cuma punya kaset itu. Mau dimatikan?"

"Lagu ini berjudul kota."

"Kamu tau Iwan Fals?"

"Lagu ini kesukaan bapak."

Si manager diam dan membiarkan Hara mengenang mendiang bapaknya lebih lama. Tentu saja si manager tahu hal yang menimpa keluarga Hara. Orangtuanya bercerai saat Hara masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya membawa adik perempuan Hara satu-satunya dan memilih menikahi bos kaya raya yang berasal dari Kalimantan. Hara hanya tinggal berdua dengan mendiang sejak saat itu. Kabarnya selama lima tahun terakhir, bapaknya sakit-sakitan, hingga pada akhirnya Hara tinggal sendirian. Sejak kepergian orang yang dikasihinya itu, Hara yang gemar bercerita dan acapkali bersikap ramah itu berubah menjadi pemurung. Wajarlah segala kenangan dan perasaan rindu membuatnya larut dalam kesedihan. Pernah sekali waktu, Hara datang ke kantor dengan wajah yang teramat pucat. Sepertinya dia tidak makan berhari-hari. Matanya lebam dan tubuhnya kurus kering sampai orang-orang mengira jika disenggol sedikit saja, tubuhnya yang layu itu akan tumbang dengan mudah.

Jalanan semakin gelap dan sepi. Hara tertidur lelap. Sesekali dia menepis wajahnya. Sadar akan hal itu, si manager menutup kaca mobil dengan hati-hati. Tak sampai sepuluh menit, Hara terjaga. Dia mencoba bersikap tenang, berusaha mengumpulkan kesadaran dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Kemudian dia menoleh ke sebelah kanan, lalu mengamati sekitar. Dia merogoh ponsel dalam tasnya, melirik sedikit lalu memasukkannya kembali.

"Kamu sudah bangun?"

"Sebenarnya kamu mau kemana?"

"Kita sudah sampai."

Hara terdiam, mencoba memahami situasi. Pikirannya kabur.

"Ayo turun."

Kali ini wajah Hara memerah, air matanya menggenang dan hendak tumpah seluruhnya. Dia memandang managernya itu dalam-dalam, dan tiba-tiba dia menangis seperti anak kecil. Tangisannya lama-kelamaan terdengar semakin berat seakan-akan minta didekap. Si manager menerjemahkan itu dalam hati. Dia memeluk Hara, menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkan.

"Terimakasih Nisa."

Dengan nada sendu, Hara menggenggam tangan sahabatnya itu. Suasana perlahan tenang dan dengan langkah yang hati-hati, mereka turun dari mobil.

"Sebentar. Aku ambil hadiah untuk om."

Sampailah Hara dan Nisa di rumah terakhir mendiang bapak Hara. Nisa menyodorkan sebungkus rokok gudang garam merah ke tangan Hara. Sekeranjang bunga warna-warni ditebarkan sedikit demi sedikit. Hara menarik napas seleganya dan merapalkan doa yang panjang. Mereka mengakhiri temu kangen itu dengan menyiram air di atas makam mendiang, kemudian Hara mengambil posisi duduk di sebelah makam bapak tercinta lalu menyalakan dua batang rokok. Nisa mendekat dan menggeser-geser tubuh Hara meminta sedikit ruang. Bunyi alarm di ponsel Hara kembali bersuara. Kali ini dia tidak berbuat apa-apa, dia membiarkan alarm itu terus bersuara sampai selesai. Ditariknya dalam-dalam asap rokoknya lalu menghela panjang.

"Aku tidak akan mematikan alarm ini lagi."

Hara memandang layar ponselnya sambil senyum-senyum. Dia usap-usap foto yang jadi latar alarm itu, lalu dikecupnya perlahan.

"Kalau om masih hidup, pasti udah direpetin kamu karena merokok terus."

"Ssst.. Nanti bapak dengar."

Mereka berdua kemudian tertawa seperti sepasang teman kecil yang diam-diam merahasiakan sesuatu dari orang dewasa. 

ZiarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang