Jam Antik

31 6 1
                                    

Jam yang aku pakai jarum pendeknya menunjuk ke arah angka empat, sedang yang lebih panjang menunjuk angka dua belas. Jam ini sudah tidak berfungsi lagi, mungkin baterainya habis atau mesinnya yang sudah rusak total. Wajar saja, kakek bilang jam ini sudah ada padanya sejak jaman Soekarno, disimpan karena merupakan pemberian dari seorang jenderal asal Belanda, kenalannya. Ada puluhan bahkan lebih koleksi jam tua di kamar kakek, tetapi hanya yang satu inilah yang disimpan di dalam kotak kaca serta hanya boleh disentuh olehnya. Jam ini pulalah satu-satunya yang menarik perhatianku. Desainnya sangat berbeda dari jam-jam lain yang pernah kulihat, warnanya emas sehingga keantikannya tak pernah luntur.

Setiap hari Rabu kakek pergi ke pasar hanya sekadar bertemu teman lama, atau memakan semangkuk mi kesukaannya, biasanya pulang jam empat sore. Aku sendiri pulang sekolah jam dua, jadi kesempatanku untuk menyentuh jam ini berlangsung selama dua jam. Selama itu tak henti-hentinya aku mengagumi betapa jam yang kupakai terlihat modis dan cocok dengan warna kulitku yang terang. Selagi memakai jam itu, aku merasa percaya diri saja bergaya di depan cermin.

"Nanti kalau kakek tahu, kau bisa kena marah." Tiba-tiba adikku Fulgen mengejutkanku.

"Astaga! Bikin kaget saja. Sana pergi main."

"Kita kan dilarang menyentuh jam itu."

"Asal jangan kau beritahu saja, beres kan?"

"Kalau aku beritahu bagaimana?"

"Coba saja dan lihat apa yang akan terjadi."

Mendengar kata-kataku yang terdengar seperti ancaman seorang penjahat itu, adikku hanya bisa diam dan berlalu. Maka tinggallah aku sendiri dengan jam di tanganku. Beruntunglah selama ini aku membangun citra keras kepada adikku, sehingga mau bagaimana pun, dia tidak akan berani berbuat apa-apa.

Barulah ketika waktu menunjukkan pukul empat sore, harus kuakhiri kegiatan gaya-gayaanku, mengingat kakek pasti sudah berada di persimpangan menunggu untuk dijemput. Karena adikku biasanya bermain bola, aku sendirilah yang akan menjemput kakek. Sebenarnya bawaannya tidak banyak. Hanya sekilo daging babi dan sebungkus besar mi serta gorengan. Bagiku menjemput kakek bukanlah pekerjaan yang melelahkan, apalagi kalau ketika turun hujan. Sengaja kubawa satu payung untuk kakek pakai saja agar aku bisa main hujan-hujanan.

"Kakek bawa apa?" Walau aku tahu isi bungkusan-bungkusan itu, tetapi pertanyaanku selalu sama hanya sekadar basa-basi.

"Daging."

"Pasar ramai?"

"Ramai."

"Tadi bertemu siapa?" Tanyaku lagi sembari memakan gorengan yang kuambil dari dalam plastik.

"Si James. Goreng itu dari dia. Padahal sudah kubilang tidak usah."

Si James yang dimaksud adalah tukang daging langganan kakek, istrinya menjual mi dan berbagai jenis gorengan. James dibaca james, bukan jeims apalagi jems. Kalau orang Batak biasanya memang begitu. Diberi nama bagus Listra, dipanggil listara atau bisa jadi lastiri. Diberi nama Robert dipanggil robet. Temanku saja Namanya Elisha Wati dipanggil keriting karena rambutnya keriting.

Setibanya di rumah, kubuka bungkusan mi terlebih dulu, kupindahkan ke dalam piring untuk dimakan bersama. Satu piring kusisakan untuk Fulgen adikku, sengaja kuahnya kupisahkan, supaya minya tidak bengkak. Bagianku sedikit karena sepanjang jalan aku sudah makan gorengan.

"Kenapa tidak ada goreng pisang?" Tanyaku sambil menyiapkan tampi dan talenan berukuran besar yang terbuat dari batang pohon nangka depan rumah.

"Katanya sudah habis." Balas kakek sambil membuka bungkusan daging yang kemudian dipindahkannya ke atas tampi. Langkahku sigap mengambil pisau dari laci di kamar kakek.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZiarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang