Pintu kayu terbuka akibat dorongan pelan, Nisa yang tadinya terlelap, menilik seketika. Lagi-lagi tampak seorang wanita yang wajahnya sangat akrab di ingatannya. Cahaya-cahaya yang menembus jendela kaca membuat pandangannya samar-samar. Ditambah butir-butir halus yang masih menggenang di pelupuk matanya. Entah sejak kapan, dia menyadari ruangan yang tertata itu bukanlah bagian dari rumahnya. Beberapa tas yang terlalu pink, hiasan-hiasan dinding yang manis, bunga-bunga sama sekali bukan gayanya.
"Sudah bangun?"
Tangan elok nan gemulai menyapukan meja kerja. Tersaji sepotong roti tawar dengan selai antara cokelat atau kacang di tengahnya, segelas air putih, segelas susu. Nisa masih terkantuk-kantuk sembari mengikuti gerak-gerik wanita itu, seolah sesuatu di dalam dirinya memerintahkan demikian. Wanita dengan dandanan luar biasa molek itu mengambil posisi di atas kursi di sebelah ranjang. Keduanya bertatapan. Senyumnya sangat menawan, pikir Nisa.
"Bagaimana tidurmu?"
Nisa mendeham segan lalu mengangguk. Wajah wanita itu mulai kelihatan. Ibarat kalau semakin diperhatikan, semakin dia menjelma monster yang teramat menakutkan. Raut penasaran Nisa yang sedari tadi dia pendam kini berganti kesal.
"Kamu marah denganku?"
Nisa tak bergeming.
"Aku tidak tahu alamat rumahmu, jadi aku membawamu ke sini."
Bola mata Nisa berputar, jengkel.
"Kamu pingsan."
Nisa mencoba menebak apa yang sudah dia lewatkan, namun dia tetap tak mengerti. Ingatannya kabur-kabur. Ritme napasnya segera dia kuasai. Sementara Wayan masih menunggu sebuah jawaban, dia lebih mirip seorang ibu yang sedang membujuk anaknya yang habis dimarahi guru di sekolah, ketimbang seorang rekan kerja. Wayan lalu tersenyum.
"Kamu itu bicara dalam hati terus."
"Sudah, sudah. Aku mau pulang."
"Ini akhir pekan, kamu tidak perlu buru-buru begitu. Setidaknya sarapanlah dulu. Aku akan keluar kalau kamu tidak nyaman."
Nisa hendak mengatakan sesuatu yang dia bingung bagaimana memulainya. Dia ingin tahu sejauh mana dia sudah terperangkap. Ada banyak hal yang tertumpuk di dalam pikirannya. Dia hanya menahan diri. Nanti juga tahu sendiri, katanya dalam hati. Wayan bangkit dengan nampan di tangannya. Sebelum sampai di bibir pintu, dia berbalik.
"Padahal kamu tinggal tanya. Kenapa memendam begitu?"
Nisa tertegun. Dalam hati dia takut sekaligus takjub. Wayan, wanita macam apa dia ini, tanyanya dalam hati. Setelah pintu tertutup, tangannya yang lembap mulai bergerak meraih gelas berisi air putih. Rotinya mulai dingin. Di dalam saku celananya ada yang janggal, dikeluarkannya dan dengan segera dia bawa ke penghujung ruangan. Betapa leganya dia kini, asap rokok menembus ruang di paru-parunya, mencairkan segala beban di kepalanya, membuat matanya berbinar-binar. Setelah dilihat-lihat, balkon tempat dia berdiri berada di lantai dua. Uniknya, tidak ada pemandangan yang menghadirkan suasana-suasana seperti di rumah orang Bali pada umumnya, pelinggih, banten dan bahkan dupa. Tak lama setelah mengamati suasana di luar, mata Nisa tertuju pada foto berbingkai hitam yang terletak di ujung meja. Foto itu menarik perhatiannya, terlebih lagi benda-benda di ruangan itu sedari tadi didominasi warna pink yang menggelikan. Belum dia perhatikan foto itu benar-benar, Wayan sudah di belakangnya.
"Itu kakak."
Nisa terkejut dan buru-buru meletakkan foto itu di posisi semula.
"Astaga! Bisa tidak kamu mengetuk pintu dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ziarah
Short StoryDi dalam judul ini akan berisi berbagai kisah terkait kematian. Jadi, kemungkinan tidak akan ada romantisme di dalamnya. Kalau pun ada, hanya numpang lewat sekadar mengguncang emosimu. Selamat membaca!