"Dimana? Siapa laki-laki itu?! Akan kubunuh dia! Kukeluarkan jeroannya sekalian!"
Sudah hampir subuh, kepada Nursita, Dahlan masih saja berapi-api menanyakan keberadaan laki-laki asing yang sudah main belakang dengan istrinya sepekan terakhir sejak dia berada di luar kota. Pusaka tajam peninggalan mendiang bapaknya dia pegang erat-erat. Desa inilah desa terburuk. Dimana-mana, tak jarang terdengar kabar si anu berselingkuh dengan si ono, si itu sudah tak perawan karena si ini sudah merenggutnya di malam minggu, dan sebagainya. Nursita memperlambat ritme tangisnya, kedengarannya dia sudah kelelahan. Tubuhnya masih terbalut selapis kain sarung yang buru-buru dililitkannya ketika pertama kali didapati sang suami tengah memadu cinta dengan laki-laki yang sekejap sudah menghilang batang hidungnya. Dahlan mendekat beberapa langkah, dia cengkeram bahu Nursita.
"Saat hari sudah terang, kau harus bicara dengan bapak ibumu!" Mata Nursita terbelalak.
"Jangan kang! Jangan.. Mau kutaruh dimana mukaku kang?"
"Pikirmu mau kau taruh dimana Sita?! Jauh-jauh aku bekerja ke kota, supaya bisa menafkahimu lebih dari cukup. Tapi begini perbuatanmu. Sungguh biadab kau, Sita! Kalau saja aku ini suami yang tegas macam si Danu itu, sudah kugorok tenggorokanmu sama seperti yang dilakukannya pada istrinya!"
Tangis Nursita kembali pecah. Didekapnya suaminya yang tengah disulut api amarah itu. Dada keduanya saling melekat, kepalanya menunduk, matanya tak berani menengadah. Tak juga sanggup dia berkata-kata, namun tangisnya belum selesai. Pria itu melepaskan diri, membuat istrinya tersungkur di atas lantai. Dahlan membetulkan posisi kemejanya seraya berjalan ke arah jendela. Dia duduk di atas kursi kayu, kakinya dia angkat ke atas meja. Keris yang tadinya siap menerkam mangsa dia letakkan di atas meja, kini tangannya memegang sebatang rokok.
"Aku menikahimu karena ibuku menyukaimu. Sekali aku menolak keinginannya, dua kali pula aku dipaksa menemuimu."
Kepala Nursita bangkit, pandangannya lekat pada suami.
"Ini lagi! Ini lagi!" Wanita itu berteriak sambil memukul-mukul lantai.
"Diam! Kau tak berhak bicara! Berani-beraninya!"
"Akang tidak pernah mencintaiku, lalu untuk apa cemburu?"
"Cemburu katamu? Mengapa harus? Aku tidak cemburu sekali pun kau main dengan kepala desa. Masalahnya Sita! Lihat di jari manismu itu! Kau sudah dipersunting seseorang! Semua orang tau Nursita adalah istriku!"
"Apa boleh buat? Tetangga sudah tau semuanya. Ceraikan saja aku."
Sungguh Dahlan tak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Nursita, wanita yang sudah genap setahun lamanya membina rumah tangga bersamanya. Dia memang tak pernah menaruh rasa pada wanita itu, tidak heran, hingga kini, dia enggan memiliki keturunan darinya. Baginya, tidak ada sehari pun hari baik yang dia dapat selama bersama Nursita. Tetapi, bersama Nursita, setidaknya dia sudah menjalankan amanah terakhir mendiang ibunya. Sewaktu masih rajin mengurus sawah, Dahlan biasanya pulang saat petang. Kemudian dia akan buru-buru mandi, makan malam, lalu tidur lebih awal. Begitulah kesehariannya, sampai suatu waktu dia akhirnya menjadi supir muatan barang. Tak tentu jam berapa pulangnya, kadang juga tak pulang berpekan-pekan hingga berbulan-bulan. Suatu hari didapatinya Nursita tengah sakit keras. Dia menyurati adik perempuan Nursita yang sudah putus sekolah untuk merawatnya sampai pulih. Beratus-ratus ribu dia berikan untuk biaya pengobatannya tanpa sekali pun mengunjunginya di rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari desa.
"Aku mau cerai." Sekali lagi Nursita bicara.
"Ya, ya, aku setuju. Tidak ada baiknya juga jika pernikahan ini diteruskan."
Mendengar ucapan suaminya, Nursita malah kecewa. Matanya kembali berkaca-kaca. Selama ini dia cukup senang hidup serumah dengan Dahlan. Tak sekali pun dia merasa menyesal telah menikah dengan Dahlan, sebab sudah sejak SMA, dia jatuh cinta dengan laki-laki berparas rupawan itu. Sayangnya laki-laki itu hanya mencintai satu wanita sepanjang hidupnya. Mariam, sahabatnya sendiri. Kedua sejoli itu saling mencintai. Namun, Nursita tetap bercita-cita suatu saat akan dipersatukan dengan laki-laki idamannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ziarah
Short StoryDi dalam judul ini akan berisi berbagai kisah terkait kematian. Jadi, kemungkinan tidak akan ada romantisme di dalamnya. Kalau pun ada, hanya numpang lewat sekadar mengguncang emosimu. Selamat membaca!