Aku akan menceritakan kisah yang kualami dalam minggu ini. Semuanya berawal di satu sore yang temaram, ya mungkin di jam-jam maghrib. Aku membonceng Arumi, adik perempuanku yang baru selesai les mengaji. Sebenarnya aku sudah biasa menjemput Arumi, dan pada jam segitu pula. Jarak dari rumah ke masjid kira-kira 25 menit, itu pun kalau ngebut. Kalau tidak ya mungkin dua kali lipat lamanya. Tidak pernah sekali pun aku mengalami hal-hal aneh. Tetapi entah mengapa, di sore yang biasa itu, terjadilah malapetaka.
Ijinkan aku menceritakan kronologisnya dahulu. Sesaat setelah aku sampai, adikku dengan Pak Ustad sudah berdiri di depan masjid. Kuparkir sepeda motorku lalu menghampiri mereka. Seperti biasa aku akan berbasa-basi dulu dengan Pak Ustad sebelum akhirnya pulang.
"Assalamualaikum Pak Ustad."
Barangkali hari ini suasana hati Pak Ustad sedang tidak baik. Salamku hanya dibalas dengan senyum sekenanya. Baguslah, hari ini aku tidak perlu berbasa-basi dengan beliau. Aku dengan adikku Arumi akhirnya pamit pulang.
Sedikit gambaran tentang jalan yang kami tempuh menuju rumah. Sepanjang 500meter dari masjid, rumah warga berjejer dan ramai, 500meter ke depan, rumah yang kami lewati sudah sangat jarang, lebih sering terlihat pemandangan padang rumput. Nah, sisanya benar-benar hutan gelap di sisi kiri dan kanan, amat gelap. Seandainya lampu kendaraan tidak berfungsi dengan baik, sebaiknya jangan coba-coba untuk melintasi jalan itu. Sebelum keluar dari hutan, kami harus melewati lima tikungan tajam. Sesaat sebelum memasuki hutan, aku menanyakan Arumi.
"Tidak lapar?"
Aku seperti sengaja dia abaikan, sampai tiga kali berturut-turut belum juga dia jawab pertanyaanku. Kupelankan laju sepeda motorku dan akhirnya kuputar balik perlahan menuju warung yang terakhir kami lewati. Kukatakan warung itulah tanda-tanda kehidupan terakhir yang dapat ditemui di jalanan itu sebelum memasuki hutan. Kuhampiri pemilik warung.
"Bu, nasi goreng satu."
Biasanya Arumi akan menyambar karena dia lebih suka makan mi goreng. Tetapi kali ini dia diam saja. Beberapa saat kemudian, tersaji sepiring mi goreng dan segelas teh manis panas. Sudahlah, pikirku. Toh Arumi yang makan, bukan aku.
"Cepat habiskan. Sudah mau gelap."
Arumi menyuapi sesendok demi sesendok ke mulutnya. Menunggu adikku makan, aku mengamati sekitar. Di sisi kiri belakang warung itu ada sebatang pohon kamboja yang menjulang tinggi. Daunnya tidak terlalu lebat, hanya ada beberapa dan sudah terlihat kecokelatan. Kemudian mendekat seorang laki-laki berwajah pucat dan duduk di sebelah Arumi. Dari kelihatannya, sepertinya laki-laki itu sedang sakit parah. Bisa jadi penyakit bagian dalam atau sejenis penyakit menular. Kubisikkan ke telinga Arumi.
"Geser kemari, nanti ketularan."
Perkataan orangtua di jaman aku kecil selalu kuingat-ingat. Konon katanya, tidak baik berada di dekat orang yang sedang sakit. Bisa jadi ketularan penyakitnya atau ditimpa kesialan. Setelah adikku menghabiskan makanannya, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Memasuki tikungan kedua di area hutan, hari sudah mulai gelap. Tidak ada suara kecuali mesin sepeda motor yang melaju dan suara-suara binatang di kejauhan. Untuk menghidupkan suasana, kuajak adikku bicara.
"Gimana tadi ngajinya Rum?"
Arumi tidak menjawab. Pikirku saat itu dia pasti mengantuk berat. Apalagi baru selesai makan. Aku terus bicara padanya walaupun tidak ada jawaban. Dengan begitu, setidaknya dia tetap terjaga. Akan lain lagi jika dia tertidur dan malah terjatuh tiba-tiba.
"Rum, kenapa ya tadi Pak Ustad tidak jawab salamku? Apa kamu cerita bahwa aku sudah menukar sendalnya minggu lalu? Ah mana mungkin kamu begitu kan, Rum? Kamu kan adik yang baik. Eh, eh, laki-laki yang di sebelahmu tadi, kalau diingat-ingat, mirip ya denganku? Kok bisa ya? Tetapi tentu saja aku lebih tampan, iya kan?"
Sampai saat tikungan kelima, sedikit lagi keluar dari hutan dan paling beberapa ratus meter sampai rumah, belum juga ada jawaban dari Arumi. Perlahan air menetes-netes dari langit, pelan-pelan membasahi pakaian kami. Jas hujan tidak punya, dan aku berharap penuh pada kedua ban yang sudah licin permukaannya. Satu-persatu, hal buruk terjadi. Lampu sepeda motorku padam karena terkena hujan, Arumi panik ketakutan, menjadikan laju motor tak lagi beraturan dan tiba-tiba, "BRAK!!!"
Sebatang pohon raksasa jatuh, menyambar sepeda motor kami. Aku terlempar ke jurang dan adikku masih di atas aspal di sana. Kudengar rintihan Arumi yang kesakitan. Karena khawatir dia kenapa-kenapa, aku mencoba meraba-raba apapun yang bisa menuntunku ke atas. Akar, bebatuan dan juga rumput. Kedua kakiku berdarah namun tak kurasakan apa-apa, mungkin karena hujan. Kulihat sesosok laki-laki di tepi jurang. Astaga, ternyata orang sakit yang tadi duduk di warung. Kedua kakinya terhimpit di antara batang pohon dan batu besar. Aku hendak menolongnya, tetapi laki-laki itu sudah kehilangan nyawa. Cepat-cepat aku meninggalkan mayat itu, kulaporkan ke polisi saja besoknya, pikirku.
Akhirnya aku berhasil mendarat di atas aspal, kuhampiri adikku yang mengerang dan mencoba bergerak, keluar dari bawah motor yang menimpanya, namun tenaganya tak cukup. Astaga, astaga, adikku yang malang. Pertama-tama kusingkirkan sepeda motor dari atas tubuhnya. Untung saja adikku masih sadar.
"Rum.. Rum.. Jangan sampai tertidur ya. Sebentar lagi kita sampai."
Aku berusaha menjaga kesadaran Arumi. Napasnya tersengal-sengal, matanya terbuka sedikit dengan genangan air mata di dalamnya. Ajaibnya, motorku masih bisa menyala. Akhirnya aku bisa segera membawa Arumi pulang.
Saat kami tiba di halaman rumah, hari sudah cerah seketika. Suasana rumah sangat ramai, maklum saja, menjelang Idul Adha. Tetapi aku tidak ingin mmemikirkan daging kurban dulu, Arumi harus kuselamatkan lebih dulu. Saat aku hendak menurunkan Arumi dari atas sepeda motor, dia sudah tak ada di sana, barangkali dia sudah masuk ke rumah lebih dulu. Akhirnya aku menyusul. Aku berjalan di tengah keramaian menuju ruang tengah, tubuhku terhimpit dari kiri dan kanan. Namun pada akhirnya aku sudah tiba. Benar saja, Arumi sudah duduk di sebelah ibu. Kulihat Arumi sudah membaik, pulihnya cepat, mungkin karena dia anak yang baik. Hanya air matanya yang menetes-netes tanpa mengeluarkan suara. Anak sekecil itu memang belum tahan sakit. Ibu memeluknya serta mengusap-usap kepalanya.
"Sudah, nak. Abangmu sudah tenang di sisi Allah sama almarhum bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ziarah
Short StoryDi dalam judul ini akan berisi berbagai kisah terkait kematian. Jadi, kemungkinan tidak akan ada romantisme di dalamnya. Kalau pun ada, hanya numpang lewat sekadar mengguncang emosimu. Selamat membaca!