00.00

20 9 2
                                    

Tak kuceritakan pada siapa pun pertemuan tak terduga antara aku dan kau subuh itu. Tak ada gunanya. Lagi pula mana mungkin ada yang percaya. Menceritakan tokoh yang tak jelas keberadaannya, wujudnya dan segala macamnya. Aku sendiri pernah merangkai cerita mengenai dirimu beberapa waktu lalu. Tujuanku tentu saja ingin menceritakan kisah kita. Segalanya sudah rampung, bagaimana mulanya kau datang, apa saja yang kita bincangkan. Aku sudah tahu betul dimana akan kuletakkan titik dan koma pada ceritaku. Sempurna, ini akan jadi cerita yang sempurna, pikirku. Namun, saat aku hendak bersuara, segala-galanya seketika menjadi ketidaksiapan.

Waktu menunjukkan pukul 23.30, setengah jam lagi menuju ulang tahunmu yang ke-27. Cuaca masih sedingin tiga hari lalu saat hujan tak henti-hentinya membanjiri jalanan kota selama hampir lima jam. Aku mengikuti ritme putaran jarum jam yang berdetak dengan penuh gairah. Aku, harus aku yang mengucapkan selamat lebih dulu, tidak ada yang boleh mendahuluiku. Aku mengeluarkan sebatang rokok. Sebelum sempat kunyalakan, teleponku berdering. Dengan perasaan agak jengkel dan terpaksa, kuangkat telepon itu. Rokok tak jadi kunyalakan. Gagang telepon kudekatkan, aku mendehem pelan.

"Ra"

"Aku sedang sibuk, bicaranya nanti saja"

"Sibuk apa jam segini? Jangan ngarang"

Suara ini sudah melekat di ingatanku, hampir setiap hari aku mendengarnya. Waktu baginya adalah peluang. Kapan pun, dia gunakan waktu untuk mencurahkan segala isi hatinya sekali pun waktu yang kusebut itu ialah waktu yang dicuri dari orang lain. Saat ini, milikkulah yang dia curi. Aku dapat menebak apa yang akan diceritakannya kali ini. Jika tiga hari yang lalu dia mengatakan sudah kembali pada kekasihnya, maka hari ini mereka sudah putus. Karena sudah menebak alurnya, aku berniat menceritakan kisahku alih-alih latihan menuju kesiapan.

Kumulai dengan batuk sebanyak tiga kali, suaraku sesayu mungkin, sengaja kubuat lirih.

"Ada apa Ra? Kamu nangis?"

Seperti gelagat manusia pada umumnya, jika sudah ditanyai demikian, aku mengeraskan pekikanku dan pecah. Aku menangis tersedu-sedu.

"Ra? Cerita kalau ada masalah. Ada apa?"

Lusi sudah masuk ke dalam perangkap. Baguslah, aku tidak perlu mendengarkan ceritanya yang tidak variatif itu malam ini.

"Danu yang pernah kamu tanyakan.."

"Kamu lebih baik istirahat Ra, supaya kamu baikan"

Tut tut tut, telepon dimatikan.

Tubuhku pasrah terlentang di atas kasur. Sesekali terdengar suara lolongan binatang di luar sana, entah di mana, di kejauhan. Tubuhku berpindah-pindah dari satu arah ke arah lain. Tak kusangka menunggu pergantian tanggal bisa jadi sangat mendebarkan seperti sekarang ini atau malah bukan hal itu yang membuatku gelisah, melainkan telepon yang dimatikan sepihak. Ah dasar, si Lusi itu!

Malam semakin larut, kudengar suara-suara tak tentu dari tubuhku. Sore tadi hanya masuk semangkuk sop ayam. Kulirik jam dinding, sudah berlalu sepuluh menit. Di lemari dapur, aku masih punya sebungkus mi instan. Memasak tidak akan memakan banyak waktu. Karena telah terbiasa dengan kegelapan, tubuhku ringan saja bergerak pada celah yang remang-remang.

Seorang perempuan sepantaran aku sedari tadi mengikuti gerak-gerikku. Aku bersiaga kalau-kalau dia berbuat jahat atau semacamnya. Saat aku hendak membalikkan badan, perempuan itu menghilang. Perempuan itu tertawa kecil, nyaris tak terdengar suaranya, tubuhnya entah dimana. Kini aku sudah tak peduli dengan suara-suara yang timbul, sebab tiba-tiba semuanya tertutup oleh hujan lebat. Air yang kurebus juga sudah mendidih, buru-buru kuracik bumbu.

Entah dari sudut mana, tiba-tiba terdengar suara.

"Jangan makan mi tengah malam"

Kucari-cari dari mana datangnya suara itu namun tak ada apa pun. Semangkuk mi kuah kubawa menuju kamar. Sebelum sampai ke bibir pintu, tiba-tiba saja sesosok perempuan tepat di hadapanku. Ternyata kami berbeda, sepertinya dia lebih tua dariku, mungkin selisih sekitar tiga atau empat tahun.

"Jangan makan mi tengah malam"

Kuhiraukan perkataan perempuan itu. Pintu kamar terbuka, sudah duduk teratur tiga orang di sana mengelilingi meja. Perempuan itu masih berdiri dekat pintu. Seraya meletakkan mangkuk di atas meja, aku memanggilnya.

"Ayo, masuk"

Seolah gentar oleh sesuatu, matanya berkedip tak tentu. Mata yang seperti mengatakan 'singkirkan benda itu dari hadapanku'. Kupindahkan letak mangkuk yang tadinya berada di atas meja menjauh kea rah lemari.

"Tenang saja, ini bukan untukmu. Mari, duduklah"

Pelan-pelan namun pasti, perempuan itu mendekat. Kepalanya tunduk malu-malu. Entah kebetulan atau bukan, ternyata dia mengenal kedua orangtuaku. Katanya pernah tinggal serumah saat aku belum lahir. Kini, pandangannya tak lepas dari ketiga sahabatku yang sedari tadi merekam tingkah laku perempuan itu.

"Kenalkan, ini Nina, yang di sebelahnya ini kembarannya, Nino. Yang di sebelahku ini namanya Danu, dia yang berulang tahun hari ini"

Hanya kami berlima di dalam ruangan, tetapi perempuan itu malu-malu mengeluarkan suara.

"Namaku Hara"

Kemudian, seolah mendapat tenaga entah dari mana, dia menoleh pada Danu.

"Hei, selamat ulang tahun ya"

Mataku melirik ke arah jam dinding. Pukul 00.00 dan lagi-lagi aku terlambat. Hujan semakin deras, sangat deras dan aku hanya bisa berpasrah. Aku baru pertama kali bertemu dengan perempuan yang tidak peka itu, mana bisa kutunjukkan kekesalanku.

Hingga menjelang subuh perempuan yang namanya sama denganku itu bercerita dari ini ke itu. Ceritanya bermacam-macam namun dirangkainya dengan bahasa yang menarik, ekspresinya juga tak kalah menarik, membuat kami semua tak lepas memandangnya. Tidak ada satu pun dari yang dia ceritakan bersinggungan mengenai kematiannya. Tak juga dia terdengar putus asa. Kadang-kadang dia tampak berseri-seri ketika menceritakan tendangan-tendangan calon adiknya di permukaan perut ibunya. Karena betul-betul mengamati, kulitnya terlihat lebih pucat dari yang lain, bagian perutnya juga lebih kurus, kering dan juga teramat cekung. Aku tidak berencana menanyakan seluk-beluk kematiannya. Mi yang tadinya menggugah selera kini mengembang dan terabaikan.

ZiarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang