"Hai.""Hai," ucap Sunghoon.
"Udah berapa judul buku yang lo baca?"
"Banyak—tapi sebentar, tunggu. Liat ini."
Tabrakan terjadi setiap hari, di sini, di tempat ini. Sunghoon telah melihatnya setidaknya lima kali.
Dua orang pria. Pria satu berjalan sambil memainkan ponselnya versus pria lain dari arah yang berlawanan yang juga memainkan ponselnya dan membawa anjingnya jalan-jalan, seekor dachshund kecil. Tali yang pria itu kaitkan pada leher anjingnya, tanpa sengaja melilit kaki pria lainnya sehingga dia reflek melompat dan memutar beberapa kali agar tidak jatuh.
Itu terjadi dengan sempurna. Selalu seperti itu. Jake tertawa. Ini pertama kalinya Sunghoon melihatnya tertawa.
"Dia pernah benar-benar jatuh, gak sih?"
Jake menyeka sudut matanya. Tertawa cukup lama membuat ia mengeluarkan air mata.
"Gue pernah liat dia jatuh. Saat itu gue teriak—kayak, Woi awas! Ada anjing sosis! Hati hati! Dan si cowok itu liat ke arah gue, natap gue seakan akan gue orang aneh. Ayolah, tentu gue liat ada cowok lain yang bawa anjingnya jalan jalan."
Sunghoon melihat Jake kembali tertawa, pipi bulatnya menjadi merah dan terangkat. Cantik.
"Lagipula, si cowok memang nggak ditakdirkan untuk jatuh. Itu yang sebenarnya terjadi. Jadi sekarang gue biarin aja mereka."
Tidak lama kemudian, Jake tenang. Mereka berdua melihat ke arah luar jendela perpustakaan. Hanya melihat kendaraan berlalu lalang dan kemacetan kecil di ujung jalan.
"Mau jalan jalan sebentar?" celetuk Jake. Ia meraih kunci mobilnya dan menggoyang-goyangkannya tepat di depan wajah Sunghoon.
Mengingat bagaimana ia terakhir kali melihat Jake mengendarai mobil saat di parkiran kolam renang komplek beberapa waktu lalu, Sunghoon menelan ludahnya. "Lo gak membuat itu terdengar kayak kegiatan yang paling aman."
"Apa yang harus gue kasih tau ke lo? Hidup itu penuh kejutan, Sunghoon."
Jake sudah melangkahkan kakinya menuju pintu perpustakaan. Apa lagi yang bisa Sunghoon lakukan selain mengikutinya dan berdoa pada Tuhan agar melindunginya untuk beberapa waktu kedepan?
Ya Tuhan, gue masih mau hidup. Gue masih mau hidup.
Yang ia dengar sekarang hanya suara decitan ban mobil dan umpatan-umpatan yang Jake keluarkan setiap kali ia hampir menabrak atau ditabrak kendaraan lain, seperti—Shit, Awas! Bisa nyetir gak, sih?! Mata lo pake! dan sebagainya.
"Gue biasanya dengar lagu." sebelah tangan Jake membuka dashboard mobil, mengambil satu buah kaset dan memutarnya. "Lo gak akan pernah tau gimana selera lagu temen lo sampai lo curi mobilnya, kan?"
Mata Sunghoon membulat, "Lo nyuri mobil ini dari temen lo?"
"Well, gue lebih butuh daripada Jungwon."
Speechless. Kenapa Jake suka sekali membuat dirinya kehilangan kata kata dan berakhir dengan hanya membuat ia ternganga.
hoodie song milik gabriela bee terputar dari radio mobil.
Tangan Sunghoon menggenggam erat seatbelt. Pandangannya lurus kedepan dengan wajah sedikit pucat. Jake yang melihat itu menyunggingkan senyum kecil,
"Anyway," ucap Jake, "kalau kita mati sekarangpun, kayaknya kita bakalan hidup lagi besok pagi."
"Kayaknya. Kan, kata 'kayaknya' yang buat gue khawatir setengah mati, Jake."
"Sebenarnya gue udah mikirin soal ini, dan gue yakin kalau kita mati, kita bakalan hidup lagi. Orang lain juga. Maksud gue, coba pikir tentang berapa banyak manusia di dunia mati setiap harinya. Kalau mereka semua gak hidup kembali, semua orang bakalan mati besok ketika dunia udah kembali normal."
Sunghoon menatap ke arah Jake, tidak berkedip dengan bibir terbuka. Cukup takjub, ntah takjub karena apa yang Jake bilang itu benar atau karena jalan pikir Jake yang agak sedikit di luar nalar.
"Gue jadi penasaran ada berapa banyak."
"Seratus lima puluh ribu," ucap Jake. "Gue sempat cari tau. Jumlah berapa banyak manusia mati setiap harinya, rata rata."
Sunghoon bergidik ngeri. "Bayangin kalau lo ngalamin kematian yang sakit banget."
"Atau cuma hari yang buruk, dan lo sakit, lo tersiksa. Atau lo dipecat. Atau seseorang nabrak lo. Lo ditabrak terus terusan. Ngeri banget. Seriusan, kita harus perbaiki ini."
Jake tampak tidak tertarik dengan percakapan ini. Faktanya, raut wajah yang semula ceria berubah dalam sekejap menjadi datar dan kaku, dan untuk pertama kalinya terpikir oleh Sunghoon, apakah tanggal 14 Maret mungkin bukan hari yang mudah untuk Jake?
"Maaf, arah pembicaraannya jadi agak aneh."
"Iya," jawab Jake. "Mungkin banyak hal baik yang terjadi berulang kali juga."
Mereka telah mencapai tepi kota. Ini bukan kota besar. Jake berbelok mengambil rute 2.
"Kita mau kemana?" tanya Sunghoon.
"Bukan tempat yang spesial."
Hari itu, seperti biasa, siang yang terik, dan jalan raya macet karena lalu lintas pada jam-jam sibuk.
"Gue harap ayah gue gak bahas soal masa depan gue di hari ini."
Jake menoleh sekilas, dan kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan. "Kenapa?"
"Enggak ada yang tau bakalan jadi apa di umur 20."
"Gue tau." celetuk Jake
"Apa?"
"Insinyur dirgantara. Khususnya spesialis misi di NASA."
"Lo mau jadi astronout?" Sunghoon sedikit tergelak dan berhenti saat Jake melemparkannya tatapan tajam.
"Ya.. gue pikir itu keren. Cita-cita lo tinggi juga."
Jake hanya menjawab dengan senyuman kecil,
"Omong-omong, gue bohong soal bukan tempat yang spesial. Gue mau tunjukkin lo sesuatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
map of tiny perfect things | sungjake
RomanceSunghoon dan Jake, bertualang untuk menemukan semua hal kecil yang membuat satu hari menjadi sempurna.