Sosok mungil berambut kelam itu duduk di sudut kamar dengan cemberut. Wajahnya memerah menahan kesal. Sementara seorang pria berusia senja masih setia berdiri menemani disampingnya. Hari ini Nararya malas berlatih piano. Ia kesal karena tidak diijinkan untuk mengikuti adiknya berkuda di hutan sebelah utara.
"Anda tidak boleh seperti ini, Pangeran. Nyonya Damiana sudah menanti lebih dari lima menit. Pelajaran Piano sangat penting untuk anda."
"Tapi aku tidak suka pada Nyonya Damiana, Paman."
"Dia adalah guru piano terbaik, yang juga mengajar ayah anda dulu. Semua orang merekomendasikannya. Bukankah sangat menyenangkan ketika mendengar alunan piano berdenting?"
Sang pangeran masih diam ditempatnya. Sang pengasuh Gupta hanya tinggal memiliki waktu lima menit untuk membujuk. Pria tua itu menghembuskan nafas pelan. Nyonya Damiana sangat tegas, dan bisa saja setelah ini akan ada laporan tentang kegagalannya pada Ibu Suri. Yang bisa membuat angka hasil pekerjaannya berkurang. Sekali lagi pria itu mencoba membujuk.
"Nyonya Damiana sudah sangat jauh menyetir untuk bisa sampai ketempat ini. Apakah anda tidak merasa iba? Ia seorang wanita tua yang ingin melihat kemajuan anda. Ia adalah rakyat anda, Pangeran. Apakah anda mengingat bagaimana Ratu pernah berkata, bahwa anda harus berterima kasih pada orang yang membagikan ilmu?"
"Aku ingin berkuda, bukankah kita sedang libur akhir tahun saat ini? Kenapa masih harus belajar piano?"
"Karena pendidikan harus tetap berlangsung kapanpun dan dimanapun, Pangeran."
"Berhentilah memanggilku dengan kata pangeran. Aku bosan, paman."
"Itu sudah menjadi peraturan tertulis untuk saya. Bagaimana? Ini sudah hampir sepuluh menit." Pria itu masih berkata dengan intonasi lembut dan santun. Ia sudah tahu bagaimana cara menaklukkan anak asuhnya.
"Baiklah," jawab anak kecil itu akhirnya. Sang pengasuh akhirnya bisa bernafas lega. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang piano. Tak lama dentingan piano sudah terdengar dari dalam ruang musik.
***
"Bagaimana kemajuan permainan piano Nararya, Prameswari?" tanya ibu suri Pitaloka sambil menyecap tehnya dengan anggun.
"Sudah lebih baik, ibu. Dia baru saja menyelesaikan Emperor Concerto for Piano, No. 5"
"Beethoven?"
"Ya."
Sang ibu mertua terdengar tertarik. Sangat sulit mengambil hati ibu suri. Prameswari sedikit tersenyum.
"Kalau begitu biarkan dia memainkan piano saat jamuan minum teh bersama para gubernur besok sore. Saya ingin ia belajar menunjukkan kemampuannya di hadapan umum. Nararya belum memiliki kepercayaan diri yang baik. Dia seperti peragu. Adiknya Aditya lebih terlihat lebih memiliki itu. Meski saya mengakui kalau jiwa putra mahkota lebih halus."
Prameswari hanya mengangguk. Ibu mertuanya tidak boleh dibantah. Itu adalah peraturan nomor satu sejak ia menginjakkan kaki di istana ini. Teringat kembali saat empat belas tahun yang lalu. Ketika Damar, pria yang dikenalnya saat bertugas di Belgia memperkenalkan mereka pada suatu sore.
Perempuan cantik itu masih ingat, bagaimana Sang Ratu menatap dari atas kebawah, dan hal pertama yang di komentarinya adalah tentang stocking yang menimbulkan kerutan karena ukuran yang sedikit kebesaran. Rasanya Premeswari yang saat itu masih bernama Jennifer ingin meluncur ke perut bumi paling dalam. Namun genggaman erat Damar membuatnya tetap bertahan, bahkan sampai sekarang.
Ketika mereka menikah, ia berganti nama karena dinilai terlalu kebarat-baratan. Saat itulah penjara sesungguhnya dimulai. Tidak ada kebebasan lagi. Entah itu perkataan ataupun pikiran. Semua menjadi tidak penting. Yang boleh didengar hanyalah perintah Raja dan Ratu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS MAJESTY/Tersedia Di PLAYSTORE/Open PO.
FantasyTentang perjalanan Nararya kecil sebagai seorang putra mahkota. Rasa sepi karena tidak memiliki teman. Bosan dengan rutinitas. Hingga kerap menyelinap ke luar istana. Tentang Nararya remaja, yang jatuh cinta pada Agni, putri penjaga istal. Gadis lem...