Nararya duduk di hadapan sang ayah yang memanggilnya sore ini. Sebagai seorang pangeran ia harus patuh pada setiap perintah. Meski dalam hati bertanya, ada apa gerangan.
"Ayah hanya mau bertanya, apa yang membuatmu dua kali mengunjungi istal dalam minggu ini tanpa pernah berkuda sekalipun?" tanya Raja Damar
"Hanya rindu melihat kuda kesayanganku, ayah."
"Ayah memiliki mata yang mengenal kebiasaan putra mahkota dengan sangat baik." ucap ayahnya sambil tersenyum.
Nararya menunduk, merasa bersalah karena menutupi sesuatu hal yang besar dari sang ayah. Tapi belum ingin berbagi mengenai isi hatinya pada siapapun. Ini bukan aib, tapi bisa membuat seisi istana gempar. Sehingga menjadi alasan untuk pengusiran Paman Gantharu
"Ayah tidak akan memaksamu, hanya mau mengingatkan. Kamu adalah calon raja. Carilah pendamping yang seimbang. Bukan karena kecantikan atau kekayaannya. Tapi seseorang yang bisa menjadi tempatmu berbagi segala hal. Karena kelak beban dipundakmu akan sangat berat kalau kamu pikul sendiri."
"Baik, ayah. Ada yang lain?"
"Bagaimana, apa kamu sudah siap untuk mengikuti pendidikan militer?"
"Aku sudah berusaha mempersiapkan diri."
"Jangan mempermalukan kerajaan di sana. Ikuti seluruh tahapan dengan baik. Ayah tidak akan ikut campur dengan pendidikanmu. Raihlah nilai sempurna pada pelajaran yang kamu sukai. Dan pulanglah dengan membawa medali kemenangan."
"Baik, ayah."
"Ayah rasa pertemuan kita sudah cukup. Kembalilah ke kamarmu. Kalau memang ingin, kamu boleh berkuda tapi jangan lupa membawa pasukan bersamamu. Daripada hanya duduk sambil memakan ketimus di depan rumah Gantharu." ucap ayahnya sambil tersenyum.
Wajah Nararya seketika memanas.
***
Raja Damar memasuki ruang pribadinya dibagian utara istana. Di sana sang istri tengah menunggu sambil merajut. Namun seolah ada mendung menggelayuti wajah sang istri.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil duduk di hadapan sang permaisuri.
Sang istri tidak menjawab, hanya tersenyum menatap sang suami.
"Apakah yang kita pikirkan kali ini sama, Yang Mulia?" godanya.
"Maksudnya bagaimana, Ratu Prameswari? Tentang Nararya?"
Keduanya kemudian sama-sama tertawa.
"Aku kehilangan benang rajut berwarna biru, setahuku ada banyak jenis warna biru di sana. Hendak kurajut untuk menjadi syal Nararya, Karena ini memasuki musim dingin. Saat kucari tadi tak ada lagi satupun di sana. Aku membeli ketika hamil Aditya dulu. Menurut kepala pelayan Nararya meminta sendiri di Gudang penyimpanan."
"Aku tahu di mana keberadaan benang itu sekarang." jawab Raja Damar sambil tersenyum.
"Apa kamu ingat apa yang dikatakan Mpu Ganindra menjelang kelahiran Nararya?"
Istrinya mengerutkan kening.
Tujuh belas tahun lalu
Upacara nujuh bulan baru saja selesai. Pangeran Damar dan Putri Prameswari masuk ke dalam ruangan pribadi mereka. Seseorang mengikuti dari belakang. Mpu Ganindra, pertapa yang tinggal disebuah gua di tepi laut selatan.
"Ada apa gerangan sampai Mpu Ganindra ingin bicara secara pribadi dengan kami?"
Pria tua berambut dan berpakaian putih tanpa jahitan itu menatap keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS MAJESTY/Tersedia Di PLAYSTORE/Open PO.
FantasyTentang perjalanan Nararya kecil sebagai seorang putra mahkota. Rasa sepi karena tidak memiliki teman. Bosan dengan rutinitas. Hingga kerap menyelinap ke luar istana. Tentang Nararya remaja, yang jatuh cinta pada Agni, putri penjaga istal. Gadis lem...