Sebuah perdebatan kembali terjadi di dalam ruang pribadi Raja Damar.
"Aku tetap tidak suka, bagaimana nanti pendapat rakyat diluar sana. Kuakui Agni cantik, baik dan pintar. Tapi yang Mulia, dia putri penjaga istal. Ya Gusti, apa tidak ada perempuan lain di dalam dan di luar istana yang bisa mengalihkan perhatian Nararya? Kenapa mesti putri penjaga kuda? Dimana letak pikiran waras Nararya?!" Teriak Ratu Prameswari.
"Tenanglah dulu. Kita coba cari jalan keluar yang terbaik. Pangeran Nararya masih muda, meski kuakui ia sudah semakin bijaksana dan dewasa."
"Aku sudah kehabisan akal dalam menghadapinya. Aku harus bertemu diam-diam dengan gadis itu. Memintanya untuk menjauh."
"Bagaimana kamu memintanya menjauh kalau atap rumahnya saja terlihat dari sini?" balas sang raja tajam.
"Aku akan memintanya untuk pergi. Dengan iming-iming mengirimnya belajar ke luar negeri. Semoga kelak di sana ia akan bertemu dengan seseorang yang ia cintai. Aku tidak yakin kalau ia benar-benar menyukai Nararya."
"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan, Ratu. Siapa tahu, putra kitalah yang mengejarnya selama ini. Kamu ingat bagaimana ramalan Mpu Gnindra dan ucapan ayah sewaktu ia lahir? Semua sudah ditakdirkan."
"Jadi apa yang harus kulakukan?"
"Tenanglah sejenak. Biarkan semua berjalan dengan sebagaimana mestinya. Jika takdir bukan untuk mereka, akan ada jalan keduanya berpisah."
"Bagaimana bila sebaliknya?"
"Kamu tidak akan bisa menghentikan sesuatu yang bernama takdir, Prameswari."
Prameswari hanya bisa diam. Kali ini ia tidak sejalan dengan Damar. Suaminya begitu mempercayai ramalan para tetua. Ia bukan tidak suka pada sosok gadis itu. Hanya saja ingin agar putranya tidak mengalami hal buruk seperti yang pernah dialami suaminya. Diolok-olok karena memilih perempuan dari kalangan biasa. Itu tidak mudah untuk di jalani. Apalagi dengan latar belakang keluarga Agni.
***
Sore itu, Nararya dipanggil menuju ruang pribadi ibunya. Setelah sekian bulan hal tentang Agni dibiarkan mengendap.
"Ada apa gerangan ibunda memanggil saya?" Tanya Nararya sambil duduk dihadapan ibunya.
"Ibu ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Siapa tahu kamu tertarik dan kemudian kalian bisa menikah. Usia kamu sudah cukup untuk membina rumah tangga."
Wajah sang putra tiba-tiba berubah. Jelas ia tak suka dengan kalimat ibunya.
"Aku tidak akan menikah kalau bukan dengannya ibu?"
"Apa yang harus ibu lakukan agar kamu tidak menikahinya? Atau begini saja, ibu punya solusi. Jadikan ia selir. Kamu bisa memilikinya dengan status itu sekarang."
Sayang sang putra malah menatapnya tajam.
"Apa yang sudah saya ucapkan tidak bisa saya tarik kembali. Saya menghormati dan mencintai ibu. Tapi ada cinta dalam bentuk lain sudah memasuki dan tumbuh dalam nadi saya. Kalau ibu tidak mengijinkan, saya akan menurut. Tapi saya melakukan hal yang saya inginkan. Cinta itu tidak bisa dipaksakan ibu. Saya tidak akan menikah jika tidak dengannya.
Satu lagi, ia tidak akan pernah menjadi seorang selir. Karena saya memutuskan tidak memberikan gelar itu padanya. Saya ingin seperti ayah yang hanya memiliki satu orang istri."
"Apakah ini hasil meditasi yang sering kamu lakukan? Seseorang dimasa lalu memintamu untuk menikahinya?
"Ini tentang hati saya, yang tidak bisa melihat ia bersama laki-laki lain. Yang tidak bisa menahan diri setiap kali ada pencari jodoh mendatangi kediaman mereka. Ibu tidak akan pernah tahu apa yang saya rasakan. Karena tidak pernah mengalami."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS MAJESTY/Tersedia Di PLAYSTORE/Open PO.
FantasyTentang perjalanan Nararya kecil sebagai seorang putra mahkota. Rasa sepi karena tidak memiliki teman. Bosan dengan rutinitas. Hingga kerap menyelinap ke luar istana. Tentang Nararya remaja, yang jatuh cinta pada Agni, putri penjaga istal. Gadis lem...