Ritual tahunan Sedekah laut berlangsung meriah. Begitu acara selesai, beberapa gunungan sayur dan buah-buahan segera diserbu rakyat yang datang. Raja Damar tersenyum bahagia di kursinya. Sementara sang ratu lebih memilih berbincang dengan istri bupati yang duduk disebelahnya.
Nararya yang berada di sisi lain ayahnya, berbisik pelan.
"Ayah, kenapa mereka harus berebut. Apa tidak lebih baik kita meminta pelayan atau prajurit mengantar ke rumah masing-masing? Kasihan yang tidak kebagian."
"Kamu lihat disudut sana?" jawabnya sambil menatap ke arah lain. "Yang mendapat banyak, akan berbagi dengan temannya yang tidak mendapat. Tahu kenapa? Agar ia ingat untuk berbagi dan semua akan mengucap terima kasih atas hasil kerja kerasnya. Mengucap syukur dan berbagi adalah inti dari perayaan ini."
"Apakah nanti mereka akan memasak sayuran itu?"
Damar tersenyum,
"Ya, dan mereka akan makan bersama seluruh keluarga di rumah."
Nararya mengangguk tanda mengerti. Acara yang berlangsung sejak pagi akhirnya selesai. Keluarga kerajaan kembali ke Istana Mandasari. Seluruh anggota keluarga yang tadi mengikuti acara segera beristirahat, kecuali Nararya dan ayahnya. Dari atas balkon mereka menatap ke arah pantai yang semakin sepi. Istana ini memang terletak di atas bukit.
"Apakah kamu mau kita berkuda di sepanjang pantai?" tanya sang ayah pada Nararya.
"Iya, ayah." Berkuda di alam bebas adalah hal yang paling disukai Nararya selain bermain pedang. Dan hanya bisa melakukan saat libur resmi kerajaan.
Raja Damar segera memerintahkan seseorang untuk menyiapkan dua kuda. Tak lama ayah dan anak itu sudah terlihat memacu kuda mereka menuju sebuah tebing tinggi. Keduanya turun dan berdiri di atas karang. Menatap lautan luas saat senja mulai terbenam. Ombak tinggi menghantam karang, membuat sebagian tubuh mereka basah terkena air laut.
"Laut sangat tenang malam ini, ayah."
"Dari jauh terlihat seperti itu, tapi di dalam kita tidak tahu bagaimana arusnya."
"Tapi aku tidak melihatnya, ayah."
"Kita tidak pernah tahu bagaimana isi laut, sama seperti kita tidak tahu apa yang ada dalam perasaan seseorang. Bisa saja semua terlihat tenang, Nararya. Tapi hati dan pikirannya sedang bergejolak."
"Apakah ayah juga tidak tahu apa yang ada dalam pikiranku?"
Sang ayah menatap putranya kemudian tersenyum.
"Karena kamu masih kecil, ayah tahu. Anak kecil sulit menyembunyikan perasaannya. Berbeda dengan orang dewasa yang sudah lebih terlatih. Kamu sering kesal kalau harus mengikuti banyak kegiatan, kan? Ingin selalu bermain seperti adikmu?"
Nararya tersenyum malu, ia menunduk. Sang ayah kemudian mengelus kepalanya penuh rasa sayang.
"Dulu ayah juga seperti itu. Tapi tidak punya pilihan selain menurut. Dan hasilnya ayah rasakan sekarang. Untuk menjadi seorang raja, kamu harus memiliki banyak ilmu. Itu adalah bekal agar bisa memimpin dengan bijaksana. Ilmu pedang akan mengasah konsentrasi dan pertahanan dirimu. Ilmu seni akan mengasah perasaanmu. Matematika akan menajamkan logikamu. Masih banyak ilmu lain yang sama pentingnya. Mereka akan membentukmu menjadi sosok yang tangguh."
Nararya mengangguk tanda mengerti. Sampai akhirnya kembali bertanya. "Berapa lama kita akan di sini?"
"Satu minggu dari sekarang. Kamu bisa bermain sepuasnya bersama ibu dan ayah. Tidak banyak anggota kerajaan yang ikut kali ini."
"Dulu aku pernah melihat ayah bermeditasi di sini. Apa yang ayah rasakan saat itu?"
Sang ayah kembali menatap lautan yang luas terbentang. Ia bisa merasakan hal-hal tak kasat mata yang ada di sekitar mereka, bahkan jauh di tengah laut sana. telinganya bisa mendengar musik yang mereka mainkan. Bahkan banyak hal yang tak bisa dilihat putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS MAJESTY/Tersedia Di PLAYSTORE/Open PO.
FantasyTentang perjalanan Nararya kecil sebagai seorang putra mahkota. Rasa sepi karena tidak memiliki teman. Bosan dengan rutinitas. Hingga kerap menyelinap ke luar istana. Tentang Nararya remaja, yang jatuh cinta pada Agni, putri penjaga istal. Gadis lem...