"Zi..." Suara lirih mengagetkanku yang sedang bersandar ke tembok dengan penuh keringat. Matahari yang hampir terbenam mengajakku untuk tenggelam dalam lelap ditempat yang sangat tidak seharusnya. Tak lama pemilik suara itu meraih tanganku sebelum aku menyadari siapa orang itu.
"Di..o...." kusebut nama pemilik suara tadi. Kini tanganku sedang dirawat olehnya. Meski aku tak sadar bahwa tanganku penuh luka. Namun aku membiarkan begitu saja tangan Dio merawat tanganku. Perihpun tidak terasa, sebab pikiranku sedang berkelana kemana-mana. Keberadaan Dio pun tak begitu aku acuhkan. Mataku hanya menatap nanar pada langit yang mulai gelap. Sedang Dio mungkin sesekali menatapku.
"Jangan kayak gini..." Pintanya dengan nada yang cukup sedih. Aku menjawab dengan tatapan heran.
"Kamu boleh cerita sama aku kalau ada masalah" lanjutnya lagi. Sedangkan aku masih tidak memahami apa yang Dio maksud.
"Seenggaknya aku pernah tinggal dipanti, mungkin aku bisa ngertiin perasaan kamu walaupun sedikit"
Aku menarik tanganku dari genggamannya. Apa aku harus memarahinya juga? Jika aku bisa menyalahkan semua padanya, aku pasti akan lega. Namun masalahnya aku tahu betul aku juga memiliki kesalahan yang cukup besar.
Namun semuanya serasa memuakan untukku. Semua buntu. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak cukup berani untuk meraih Dio. Aku juga tak cukup berlapang dada untuk memberikan kemenangan pada Laudya. Tapi setidaknya aku tahu satu hal. Bahwa Dio tidak bisa mengenaliku. Ia tidak mengenaliku bahkan ketika aku selalu menunggunya. Menunggunya dalam kesepian yang rapat-rapat aku tutupi.
Satu hal itu saja, dapat membuatku tak bisa menerima tangannya merawatku dengan tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tanpa pembukaan manis bersama kedatangannya kembali ke kota ini. Ditambah dengan kekeliruannya yang membuat beberapa hal menjadi kacau.
"Gak usah ngasianin gue."
Kurampas tanganku jauh-jauh dari tubuhnya. Berikutnya kulangkahkan kakiku dengan tubuh yang terhuyung. Tak peduli ketika ia memanggil namaku. Tak peduli ketika kemudian ia menarik tanganku. Tapi, tiba-tiba...
DEP!
Seketika seluruh alam terasa terhenti. Semua bunyi dan suara tak bisa kudengar, selain degup jantung dada Dio, yang sekarang tengah berada tepat ditelingaku. Dan kepalaku, tepat didekapannya, beserta seluruh tangan lebarnya yang ia gerakan pelan diatas kepalaku.
"Sorry.... Maafin gue, Zi..."
Dengan sekuat tenaga, kehangatan yang singkat itu, aku buang dengan cepat. Aku tak boleh terlena dengan satu pelukan mendadak yang tidak ada artinya.
"Buat apa? Lu gak punya salah apa-apa kan?" tanyaku dengan nada ketus sambil menatap matanya yang mulai memerah.
"Sorry...." Ucapnya lagi, kali ini ia mulai menunduk.
Aku terdiam menatapnya. Tak tega melihatnya mulai menangis dihadapanku.
"Gue salah, Zi. Zia.... Gue kangen lu. Gue nyari lu ke Jakarta. Lu yang gue cari Zi.... Sorry, gue ...."
Menangis. Lagi-lagi aku tak bisa menahan tangisku. Di waktu yang seperti ini, ia baru mengenaliku. Seharusnya aku bahagia memang, tapi jika keadaan sudah kacau begini, apa yang harus aku rasakan.
"Te.. terus? Lu mau apa sekarang?" Tanyaku dengan terbata-bata akibat air mata yang keluar dengan deras tanpa bisa kuhentikan walau sebentar.
Dio menggeleng.
"Gue gak tau, gue mau lu tau, gue kangen, gue berharap bisa ketemu lagi, meskipun bukan gini caranya"
"Tapi lu gak ngenalin gue, lu bahkan lupa nama gue?"
"Sorry...."
"Lu bahkan lupa....Yo...."
"Zi...."
Aku pulang dengan penuh kekecewaan. Langit mulai gelap, mengiringi langkah-langkah ringkihku. Angin bertiup menyentuh tuhuhku yang sudah kedinginan sejak tadi. Kasur menjadi tempat tujuan, bantal menjadi tempat menumpahkan semuanya. Dan malam ini aku akan memeluk diriku sendri, membiarkan semua orang memikirkan diri mereka masing-masing. Dan mungkin pagi nanti, aku tidak ingin melihat siapapun, bahkan membuka pintu kamarku.
***
YOU ARE READING
Balerina
Teen FictionBagi Laudya dan Zia ballet adalah segalanya. Bagaimana ketika 2 orang sahabat ini bertemu dalam satu kompetisi. Ditambah hadirnya laki-laki idaman Zia sejak lama yang mengincar Laudya. Masihkah persahabatan mereka tetap bertahan setelah 10 tahun ber...