Langit mulai mendung. Dalam perjalanan yang entah kemana, aku menggunakan kakiku kemanapun ia mau. Dengan arah yang tak jelas, setelah menolak tawaran Kak Gilang untuk singgah kembali dirumahnya. Bukan maksud tak ingin lagi menerima bantuannya. Tapi aku merasa lebih menyedihkan jika terus menggantung pada seseorang yang sebenarnya belum terlalu dekat denganku.
Jika keadaanku sedang menyedihkan, aku berharap hanya aku yang tahu. Sebab sejak kecil semua orang menginginkan kehidupan sepertiku. Dan aku menjadi tidak berani menunjukan sisi yang tak mereka inginkan. Seperti berjalan sendiri di tengah keramaian seperti ini. Berusaha berkamuflase, bersembunyi dari nasib buruk. Meskipun aku selalu tahu, kita tak pernah bisa bersembunyi dari pandangan langit.
Langit. Sekarang ia sedang kelabu. Sejenak aku kerasa ia temanku sore ini. Hai kelabu, bertahanlah sebentar. Tak lama lagi pasti cahaya akan datang, dan warnamu akan kembali biru terang. Aku tersenyum tipis sambil mengangkat kepalaku melihat langit. Sedikit penghiburan palsu untuk diri sendiri.
Tes. Seakan merespon perkataanku, langit akhirnya menurunkan air-air tubuhnya. Mungkin inilah caranya memelukku. Seakan ia sudah tidak bisa lagi membendung kesedihannya dan runtuh didalam pelukanku. Tubuhku dengan sukarela menerima semua tetes yang ia kirim. Beberapa orang mulai berlarian menghindari tangisnya. Namun aku masih dengan kecepatan langkah yang sama sejak mungkin setengah jam yang lalu. Setelah meninggalkan sahabatku.
Langit, sepertinya aku juga ingin runtuh sejenak diantara airmu. Mataku juga sepertinya sudah tidak bisa lagi membendungnya.
Hiks....
Seperti anak kecilnya yang baru bangun tidur dan tidak menemukan siapapun dirumahnya. Air mata kutumpahkan semua di wajah basahku. Tak ada yang kutahan. Senggukan dari dadaku yang sesakpun aku keluarkan. Tubuhku yang sudah basah kuyup bergetar sambil berjalan dengan tempo yang semakin lambat. Kakiku mulai lemas, segera kucari tempat untuk bisa duduk sebentar. Agar upacara kesedihanku semakin khidmat. Hanya aku dan langit yang saling berpelukan dari kejauhan.
Aku duduk sejenak dan memejamkan mataku. Rasanya kepalaku berputar. Tak lama tiba-tiba hujan berhenti disekitarku. Ternyata seseorang memayungiku.
"Laudya?" Tanyanya.
Ah, ibu panti. Aku berusaha berdiri dan menyapanya, tapi....
BRUKKKK. Seketika semua gelap, dan aku tak ingat apa-apa.
Perlahan-lahan aku membuka mataku yang berat. Kudapati tubuhku sedang berbaring di tempat yang sangat kukenal. Tak perlu waktu lama untuk menyadarinya. Semua aroma ruangan ini adalah saksi kehidupanku. Benda-benda yang berada disini lebih tahu diriku dibanding rumahku sendiri. Kamar Zia.
Meski kamar ini pernah menjadi tempat paling nyaman. Tetapi untuk pertama kalinya aku ingin bergegas pergi dari sini. Mengingat sedang seperti apa hubunganku dengannya. Namun baru saja aku ingin berdiri aku merasakan sekujur tubuhku sakit. Aku terduduk di ranjang dan memegangi kepalaku yang juga terasa sakit sekali. Sedikit demi sedikit kukumpulkan tenagaku untuk berdiri. Tapi belum juga terkumpul, dering handphone mengagetkanku.
Ku lirik sebentar, dan... Kak Gilang. Nama yang terpapampang di layar itu, memberikan susana hangat sebentar didadaku. Namun aku tak mengangkatnya. Kulihat kembali handphoneku, dan 30 panggilang tak terjawab.
Kenapa dia begitu peduli. Benakku.
Aku baik-baik aja. Gak usah khawatirin aku.
Sent.
Krekkkk. Suara pintu tua yang terbuka. Seseorang datang dari balik pintu. Dan ia kaget ketika aku menatapnya.
"Lu udah sadar? Tadi lu..."
Tanpa menunggu kalimatnya selesai, aku bangkit dari ranjang dan ingin melewatinya. Tapi dengan cepat ia menarik tanganku.
"Lu mau kemana?!" Bentaknya.
"Bukan urusan lu" ketusku.
"Badan lu sakit, Ya" kali ini nadanya sedikit ia lembutkan. Dengan tatapan yang mulai mengasihaniku.
"Gak usah kasihan sama gue, lepasin"
Ia melepaskan tangannya, dan aku kembali melangkah. Namun si keras kepala ini kembali menarik tanganku.
"Lu tau? Lu mau menang kompetisi itu, lu harus sehat. Sekarang lu tidur disini, dan kalau lu gak suka ada gue, biar gue yang pergi!" Tegasnya.
Ia mendorongku kembali ke kamarnya, dan menutup pintu itu dengan cepat.
Dasar keras kepala.
YOU ARE READING
Balerina
Ficção AdolescenteBagi Laudya dan Zia ballet adalah segalanya. Bagaimana ketika 2 orang sahabat ini bertemu dalam satu kompetisi. Ditambah hadirnya laki-laki idaman Zia sejak lama yang mengincar Laudya. Masihkah persahabatan mereka tetap bertahan setelah 10 tahun ber...