Sejak kecil Mamah selalu sibuk bekerja. Aku selalu ingin ikut dengannya agar tak sendirian dirumah. Sebab pengasuhku tak suka mengajakku berbicara. Tapi Mamah tak pernah mengizinkanku. Hanya satu tempat dimana Mamah mau mengajakku. Yaitu panti asuhan.
ketika itu umurku 5 tahun. Aku selalu senang jika diajak Mamah ke panti asuhan. Disana banyak anak-anak seumur denganku. Aku selalu ingin memiliki teman baru. Merekapun tak pernah menolakku bermain bersama.
Hingga pada suatu hari ketika Mamah mengajakku ke panti, seorang Ibu paruh baya yang selalu Mamah temui menghampiriku.
"Laudya, kamu mau teman baru lagi tidak?" seakan Ibu itu tahu bahwa aku sangat senang berteman.
"Mau!" jawabku tegas dan mantap.
"Ada anak baru seumur kamu, namanya Zia"
Zia yang aku temui pertama kali itu adalah anak perempuan yang sangat pendiam sekali. Ia tak pernah ikut bermain bersama teman-temannya. Ia lebih sering diam di ranjangnya. Jendela dekat ranjangnya selalu ia buka. Ia sering sekali menatap langit siang yang biru cerah dari dalam kamarnya ketimbang untuk bermain langsung diluar. Meski begitu aku tetap ingin menjadi temannya saat itu. Sebab itulah kebiasaanku. Mencari teman.
Namun tak pernah sekalipun ia menjawab pertanyaanku. Beberapa kali aku menghampirinya, tak ada satu katapun keluar dari mulutnya. Aku semakin penasaran bagaimana caranya membuat Zia menjadi temanku. Sampai suatu sore ketika aku sedang bermain di lapangan bersama yang lain, aku melihat Zia pergi dari kamarnya. Akupun langsung meninggalkan teman yang lain dan mengikuti Zia.
"Ziii" teriakku seolah sudah mengenalnya lama. Ah, tentu saja. Karena sudah sering sekali aku menghampirinya ke kamar.
Ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah suara itu datang. Matanya hanya menatap kosong padaku. Aku bergegas menghampirinya. Namun aku tak tahu apa yang mau aku bicarakan. Namun kebetulan aku sedang memegang bola karet warna-warni di tanganku. Tanpa pemikiran apa-apa aku langsung menyodorkan bola itu ke hadapan Zia. Beberapa detik berlalu dengan keheningan. Sampai tangannya bergerak mengambil bola ditanganku. Yes, berhasil. Mungkin itulah yang aku gumamkan saat itu. Aku merasa sangat bahagia. Entah apa yang membuatku merasa begitu. Kemudian setelah Zia mendapati bolaku dipelukannya, ia menatapku kembali. Lalu untuk pertama kalinya dibawah terik matahari sore, ia tersenyum padaku.
Sejak saat itu aku hanya bermain dengan Zia ketika berkunjung ke panti asuhan.
***
YOU ARE READING
Balerina
Teen FictionBagi Laudya dan Zia ballet adalah segalanya. Bagaimana ketika 2 orang sahabat ini bertemu dalam satu kompetisi. Ditambah hadirnya laki-laki idaman Zia sejak lama yang mengincar Laudya. Masihkah persahabatan mereka tetap bertahan setelah 10 tahun ber...