Part 24

16 0 0
                                    

Setelah apa yang terjadi di gedung pendaftaran siang tadi, aku masih tetap tidak bisa tidak memperdulikan sahabatku. Aku bahkan memilih tidur di sofa loby dan membiarkannya tidur di kamarku. Meski pada kenyataannya mungkin aku akan terjaga sepanjang malam.

Namun, entah setelah beberapa jam aku berusaha mengosongkan pikiranku. Akupun tak sengaja terlelap.

"Zia..."

Suara lembut Ibu panti membangunkanku di pagi yang sudah terang. Aku bangun dengan tersentak tidak mengira aku sudah terlelap tiba-tiba.

"Kok kamu tidur disini"

"Hehe, iya bu, gak sengaja. Zia ke kamar dulu ya bu"

Aku pun bergegas meninggalkan Ibu panti dengan wajah herannya.

Kubuka dengan cepat pintu kamarku untuk memastikan Laudya masih berbaring diranjangku. Dan setelah melihatnya, hatiku dipenuhi rasa lega yang besar. Kupejamkan mataku sebentar sebagai tanda bersyukur. Kututup kembali pintu kamar itu dan membiarkan Laudya beristirahat lebih lama. Kemudian aku berjalan tanpa arah mengelilingi panti.

Sambil berjalan-jalan, aku memikirkan apakah aku harus mundur saja dan pindah ke Surabaya. Dengan keluarga yang benar-benar tidak aku kenal. Apakah bisa hidup seperti itu. Ataukah aku bekerja saja di Jakarta dan berhenti sekolah. Bagaimana....

Aku terjongkok di depan panti, lelah berpikir.

Drrrt. Getaran handphoneku membuyarkan semua lamunanku.

Zi, tolong maafin gue. Gue bakal beresin kesalahpahaman ini. Setelah itu apa gue punya kesempatan buat dapetin maaf dari lu?

Ku tatap layar handphone itu meski sudah ku baca pesannya berulangkali. Entah kenapa harus seperti ini pertemuan kita. Meski banyak rindu yang ingin ku balas, dan banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan langsung. Aku tetap tidak bisa melangkah maju ke hadapan Dio bersama masalahku dengan Laudya.

Kalau gitu lu bisa ke panti, Laudya ada disini. Setelah itu kita lihat nanti.

Kusimpan handphoneku dan kembali terdiam. Kusapu seluruh panti dengan tatapan kosong, memikirkan yang tak bisa dipikirkan. Serasa penuh padahal hampa. Seperti ada harapan tapi terlalu samar. Seperti ada kebahagiaan tapi hanya bayangan. Angin bertiup kencang menyapa pipiku, dam kupejamkan mataku sebentar untuk merasakannya. Kubuka kembali mataku namun apa yang kulihat membuatku harus berdiri secara sangat tiba-tiba.

"Laudya!" Ku teriaki sahabatku itu yang mulai berjalan keluar pagar panti. Ia pun menghentikan langkahnya dan menungguku sampai di hadapannya.

"Mau kemana?" Tanyaku cepat setelah berhadapan dengannya.

Ia tak membalas dan hanya menatap mataku. Sedangkan aku hanya menunggu jawabannya. Ku lebarkan mataku dengan alis terangkat seperti mengatakan 'jawab dong'. Dan yang dia lakukan adalah mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala juga mengangkat alisnya seperti berkata 'Ya pokoknya pergi'. Aku menghela nafas dengan sedikit malas karena komunikasi yang tidak berguna ini.

"Gue mau ngomong sesuatu" kataku akhirnya, membuka komunikasi yang layak.

"Apa?" Serangnya secara sangat cepat. Seolah mengetahui bahwa lawannya tak punya senjata, dan sebentar lagi akan menang.

"Jadi...." aku terkikuk karena tertangkap basah tidak punya senjata. Yang kulakukan hanya mengulur waktu menunggu Dio datang.

"Jadi?" Lagi-lagi Laudya menyerangku dengan mudahnya.

"Hmmmm" aku mulai kehabisan akal.

"Gue pergi aja" jawab Laudya sambil membalikan badannya dan mulai melangkah.

Akupun mulai pasrah. Namun tiba-tiba langkah Laudya terhenti karena terhalang oleh sosok yang kutunggu-tunggu. Namun betapa tegangnya melihat Laudya dan Dio sambil bertatapan. Dalam tatapan itu mungkin Laudya melempar segala kekesalan dan kekecewaannya. Sedangkan dalam tatapan itu Dio mengerahkan seluruh penyesalannya.

"Sebaiknya gue bener-bener pergi sekarang, gue gak mau ganggu acara kalian" ketus Laudya.

Aku terpatung dilempari sindiran keras yang baru kudengar dari mulut sahabatku itu. Dio menatapku sebentar dan aku melemparkan kepalaku menunjuk punggung Laudya sebagai tanda menyuruhnya cepat mencegat Laudya.

"Ya!" Teriak Dio akhirnya, sebelum Laudya benar-benar jauh.

"Gue kesini buat ketemu lu" ucap Dio dengan pasrah.

Akupun yang akhirnya membiarkan mereka berbicara. Melangkah pergi perlahan dan meninggalkan mereka. Kali ini, apakah langkah kita akan benar? Menuju sesuatu yang lebih baik. Semoga saja. Harus kubereskan apa yang ku buat berantakan.

BalerinaWhere stories live. Discover now