Kutatap jalanan itu dari belakang jendela sekali lagi. Belum ada sosok yang kutunggu terlihat. Kemudian aku kembali berbaring. Membuka buku dan mulai mencoba membacanya. Namun tidak bisa. Tetap tidak bisa fokus. Tidak bisa bersabar lebih lama. Ingin langsung menanyakannya 'sudah dimana?'. Tapi kuurungkan. Tak boleh begini.
Tak boleh mengharapkan terlalu cepat. Tak boleh kecewa oleh siapapun. Tak boleh memiliki kemalangan lainnya. Hanya kecacatan hubungan dengan mamah.
Kupejamkan mata menenangkan diri. Baik, kini sudah lebih tenang.
"Yaaa! Ada tamu tuh!"
Spontan tubuhku terduduk tiba-tiba.
"Kenapa lu?" tanya pemilik suara tadi.
"Kaget, suara lu keras banget" dustaku.
Kuikat rambut berantakanku. Kukucek mataku sebentar didepan cermin. Lalu kurapikah kain bajuku yang berlipat-lipat akibat berbaring di ranjang. Tak kusadari mata Zia sadari tadi menatapku. Kubalas dengan deretan gigi yang kutunjukan.
"Nyengir gak jelas lu. Cepetan keburu keriput tuh si Dio"
"Hehe, oke mimi peri, Assalamualaikum"
Aku bergegas meninggalkan Zia dikamarnya. Setengah malu karena terlalu kentara memperlihatkan pengharapanku pada cowok satu ini. Tak apa. Bisa kujelaskan nanti setelah hari ini akan berakhir.
"Yo" Panggilku.
"Hey"
"Apa itu?" Tanyaku sambil menunjuk kresek kecil yang dipegang oleh Dio. Kurebut tiba-tiba kresek itu tanpa menunggu jawabannya.
"Wah... Makasih ya oleh-olehnya. Habis jalan-jalan ke warung ya?"
"Haha, iya, orangnya habis jalan-jalan ke warung. Dapet salam juga dari Kak Gilang"
Aku menghentikan pergerakan tanganku yang sedang melihat-lihat isi kresek itu seketika.
"Kak Gilang?" Tanyaku sekali lagi.
"Iya, itu dari Kak Gilang"
Kusembunyikan wajahku ke pinggir sambil bergumam 'Lagi-lagi dia begini'.
"Apa Ya? Gue gak denger"
"oh, ehm, bukan apa-apa"
"Hmmm, lu gak apa-apa kan?" Tanyanya dengan serius.
Aku menatap matanya. Sebentar. Atau mungkin agak lama. Kemudian menunduk sebentar.
"Selama ada Zia, gue bakal aman. Tapi setelah lu dateng kayak gini, gue rasa gue bisa membaik lebih cepet."
Setelah menyelesaikan kalimat tulus itu, aku kembali melihat mata teduhnya.
"Makasih, ya Yo"
"Ya, Gue mau nanya sesuatu"
Kali ini Dio terlihat lebih serius.
"Sejak kapan lu dateng ke panti ini?"
"Emang kenapa?"
"Gue rasa...."
"Kenapa Yo?"
"Elu...."
"Gue kenapa?"
"Temen kecil gue"
Aku terdiam. Kurasa aku bukanlah teman kecilnya. Tidak. Apakah aku sempat berkenalan dengannya dipanti ini? Bisa saja.
"Mungkin kita pernah ketemu dipanti ini waktu kecil. Lu masih inget?" Tanyaku. Sebab aku hanya mengingat Zia. Wajahku berubah menjadi sangat penasaran. Dan jika benar apa selama ini dia mengingatku dan mencariku?
"Apa itu elu, Ya?" Tanya Dio dengan sangat hati-hati.
"Itu? Gue gak terlalu paham, Yo"
"Elu, cewek yang gue kasih kalung itu. Lu pernah pake kalung itu. Kalung yang gue kasih 10 tahun lalu, lu inget?"
Dio. Salah mengira.
"Yo..." aku menunduk kembali.
"Lu nyari cewek yang lu kasih kalung itu?"
"Iya, Ya. Elu kan cewek itu. Elu yang suka latihan balet di halaman belakang. Itu elu kan, Ya?"
Baiklah. Bertahanlah hatiku. Oh, tidak. Aku harus menangis.
"Yo," sahutku sebentar sebelum disusul oleh beberapa tetes air mata.
"Kenapa lu nangis, Ya?" Tanyanya sambil memegang bahuku.
Kutepis lengannya dan bergegas berlari ke kamar Zia.
"Ya! Ya lu kenapa?" Dio berteriak-teriak tanpa jawaban. Mungkin beberapa pengurus panti tak lama akan memintanya pergi.
Aku memasuki kamar dan mulai memasukan barang-barangku ke ransel. Zia yang baru keluar dari kamar mandi menghampiriku dengan cepat.
"Ya, lu kenapa?"
"Gue mau pergi dari sini" jawabku cepat. Air mataku masih terus mengalir. Memikirkan sahabatku sendiri tak jujur padaku. Kecewa dengan perasaan yang tak seharusnya tumbuh. Dan menyalahkan diri sendiri karena bersikap bodoh.
Zia menarik ranselku.
"Lu mau kemana?!"
"Gue gak mau disini?" kataku sambil menarik kembali ranselku dan menutup raseletingnya.
"Kemana? Pulang ke rumah?"
"Kemanapun" jawabku mulai meninggalkan kamar. Namun Zia masih berusaha. Ia menarik tubuhku ke hadapannya.
"Lu kenapa? Jelasin dulu Ya!"
Aku terdiam. Menatap wajahnya sebentar. Membayangkan bagaimana ia menutupinya selama ini. Menutupi kebenaran bahwa ia adalah teman kecil Dio. Dan bahkan baru saja beberapa waktu yang lalu ia melihatku tersenyum bahagia mengetahui kedatangan Dio.
"Gue? Kenapa? Lu pikir kenapa, Zi?"
"Gue gak tau, lu kenapa? Cerita ama gue"
"Kenapa? Kenapa gue harus cerita ama lu? Apa lu selalu cerita ama gue?" suaraku sudah mulai terdengar mencibirnya.
"Lu kenapa sih, Ya? Jangan kayak gini. Kita bicarain baik-baik"
"Oke, dengerin gue baik-baik. Jangan sampai gue ulang kalimat ini"
"Oke"
"Dio nyari elu. Temen kecilnya, sepuluh tahun lalu. Cewek yang dia kasih kalung."
Zia menarik kembali tangannya yang sedari tadi menahan lenganku.
"Sekarang gue boleh pergi kan?"
Aku meninggalkan Zia yang kebingungan. Mungkin ia sedang sangat kebingungan sekarang. Atau entah. Apa yang akan ia lakukan. Aku bahkan tak pernah mendengar ceritanya soal Dio. Namun kalung itu berharga baginya. Tentu ia juga menunggu Dio. Dan aku tak sengaja masuk diantara cerita mereka. Menjadi alamat yang salah bagi Dio. Dan menjadi penghalang bagi Zia. Jadi sebaiknya, aku pergi. Membiarkan mereka melanjutkan cerita mereka.
Kekecewaan ini harus datang disaat yang tidak tepat. Mengapa masalah selalu datang pada waktu yang tidak tepat. Ah, ya. Tentu saja. Karena ini adalah masalah. Dan agar tetap menjadi masalah, ia harus datang diwaktu yang tidak tepat. Sepertinya aku sudah mengenalnya jika masalah adalah berbentuk manusia. Manusia yang disebut masalah itu punya sikap yang sangat khas. Ia suka tak sabaran menunggu masalah lain selesai dengan pekerjaannya. Ia suka datang tiba-tiba. Ia juga senang jika memanggil teman-temannya untuk menjadikan hari-hari korbannya menjadi kelabu.
Handphoneku terus berdering. Panggilan tak terjawab dari Zia dan Dio terus berdatangan. Namun aku tak memperdulikan apa-apa. Aku terus berjalan tanpa arah. Sama sekali tanpa arah.
Untuk pertama kalinya seumur hidupku, aku berharap Zia tak mencariku.
Gue baik-baik aja. Biarin gue sendiri.
Kukirim pesan pada kedua orang yang telah menemaniku beberapa hari lalu ketika aku dalam masalah. Dan mereka tak bisa menemaniku sekarang. Sebab masalahnya adalah mereka. Atau sebaliknya. Aku adalah masalah mereka.
***
YOU ARE READING
Balerina
Ficção AdolescenteBagi Laudya dan Zia ballet adalah segalanya. Bagaimana ketika 2 orang sahabat ini bertemu dalam satu kompetisi. Ditambah hadirnya laki-laki idaman Zia sejak lama yang mengincar Laudya. Masihkah persahabatan mereka tetap bertahan setelah 10 tahun ber...