Part 17

23 0 0
                                    

All of my life

I thought I was right

Looking for something new

Stuck in my ways

Like old-fashioned days

But all the roads led me to you

The house that you live in don't make it a home

But feeling lonely don't mean you're alone

People in life, they will come and they'll leave

But if I had a choice I know where I would be

ALESSIA CARA - I CHOOSE


Entah apa yang kupikirkan. Aku akhirnya memilih mengunjungi orang yang selalu ingin membantu masalah orang lain; Kak Gilang.

Ia membukakan gerbang rumahnya dan menyuruhku masuk.

"Minum dulu, Ya" Katanya sambil menyodorkan secangkir teh hangat ke hadapanku yang sudah terduduk di sofa ruang tamunya.

"Makasih Kak" Ku teguk teh itu satu kali, dan kembali menyimpannya diatas pisin berwarna emas.

"Sepi Kak"

"Iya nih, Cuma ada Kakak sama Bi Minah"

Aku mengangguk pelan.

"Lu sakit?"

"Oh, enggak ko"

"Terus? Kenapa gak sekolah?"

Aku menunduk.

"Gue bingung"

"Kenapa?"

"Gue bingung harus kemana"

Kak Gilang tak merespon apapun selain terdiam dan mendengarkan. Tidak disangka aku harus menangis di ruang tamunya.

"Sorry, Kak.." Lirihku.

"Gak apa-apa, Ya. Jangan malu, keluarin aja. Gak ada siapa-siapa kok."

Mendengarnya, aku langsung mengelurkan semuanya. Kemalangan yang tak sengaja bertumpuk diwaktu yang sama membuatku harus melakukan hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Pertama kali datang kerumahnya, dan yang aku lakukan adalah menangis. Pertama kali menemuinya terlebih dahulu, namun keadaanku adalah patah hati dengan laki-laki lain.

"Kalau lu butuh waktu sendiri, gue ke belakang dulu."

Kak Gilang berdiri dan mulai melangkah pergi. Untung keadaan rumah ini mendukungku untuk beristirahat sejenak. Aku menangis sepuasnya ditemani ransel gemuk disampingku dan secangkir teh yang kaku.

Entah waktu sudah berjalan berapa lama. Mataku terlelap. Dan aku melihat langit sudah gelap. Setengah sadar aku melihat Kak Gilang menyelimutiku. Ketika tubuhnya agak menjauh, kupanggil namanya.

"Gilang" Tanpa sadar. Dan ia langsung menoleh.

"Lu bangun?" Katanya sambil menghampiriku yang sekarang sudah terduduk.

"Sorry gue ketiduran"

"Iya, gak apa-apa. Lu mau tidur di kamar gue? Biar gue yang tidur disini. Lagian lagi ada acara bola. Gue mungkin gak akan tidur."

"Serius?" Tanyaku. Meski tahu hal ini seharusnya tidak terjadi. Namun aku sudah tak punya tempat lagi untuk beristirahat.

"Serius. Nanti gue minta Bi Minah nemenin Lu kalau lu gak mau sendiri"

"Sorry banget ya, gue ngerepotin"

"Enggak kok, santai aja"

Akhirnya aku terbaring di kasurnya. Asur dengan seprai warna biru langit. Disebelahnya meja dengan komputer lebar. Didindingnya beberapa poster lambang klub bola favoritnya. Lalu ada rak buku yang tidak terlalu penuh. Hanya terisi beberapa buku sekolah. Kemudian ada juga lemari besar, bisa dipastikan itu adalah lemari pakaian. Disudut lain ada pintu berwarna biru muda dengan keset didepannya yang agak basah. Untunglah ada kamar mandi didalam kamar ini. Aku tak perlu repot keluar jika harus buang air kecil.

Tok tok tok

"Ya, gue boleh masuk?"

"Iya"

"Ini Ya kunci kamar gue, kalau lu mau ngunci. Tapi gue gak akan masuk tanpa seizin lu kok, hehe"

"Iya, Gue percaya. Makasih ya"

"Btw, ada mie instan. Sorry baru nawarin. Lu pasti belum makan ya"

"Udah gak usah."

"Jangan tidur dulu, biar gue bikinin sebentar, oke?"

Ia berlalu tanpa menunggu jawabanku. Bagaimana bisa selama ini kebaikannya selalu aku lupakan, ya? Aku baru sadar, dia memang orang dengan passion menolong orang paling tinggi. Setidaknya Tuhan menciptakannya, jadi kesedihanku tak usah berlarut terlalu lama.

Kuputuskan untuk menghampirinya didapur. Agar penatku sedikit terobati.

Dapur rumah ini bisa dibilang terlalu bagus jika dipakai hanya untuk memasak mie instan. Aku duduk disalah satu kursi didepan meja makan yang dingin. Dan rasanya sangat dingin. Sepertinya aku mengenal meja makan yang persis seperti ini.

"Eh, Ya, lu mau makan disini aja?" Tanya Gilang setelah kaget melihatku duduk di meja makannya.

Aku mengangguk. Ia pun menghampiriku dengan 2 mangkuk mie instan kuah yang panas dan ikut duduk di kursi lainnya yang paling dekat denganku.

"Sorry ya, Cuma ada mie instan. Gue jarang makan dirumah"

"Jadi makan dimana?"

"Ya, dimana aja. Diluar atau dirumah temen"

"Kenapa?"

"Kalau dirumah sepi, Bi Minah juga jarang mau nemenin"

Rasanya aku sangat bisa memahami kalimat itu.

"Lucu, ya" kataku setelah beres menelan mie itu.

"Ada yang lebih lucu dari itu"

"Apa tuh?"

"Mimpi gue bahkan sesederhana, gue mau rumah gue ntar meja makannya selalu kotor karena banyak orang makan disitu"

Aku tersenyum. Mimpi sederhana itu adalah mimpi yang paling tulus. Aku melihat wajahnya sekali dan merasakan hal menyenangkan. Seperti harimau yang menemukan kawanannya.

"Apa bahkan lu bermimpi remote TV juga diperebutkan tiap malem?"

"Haha! Kayaknya lu pembaca pikiran paling baik"

"Lebih tepatnya, gue punya mimpi yang sama kayak lu" kataku.

Tak ada respon langsung. Dan akupun hanya terus memakan isi mangkuk putih itu.

"Ya," Panggilnya.

"Ya?"

"Gue percaya, lu bakal bisa wujudin mimpi itu."

Kuhentikan pergerakan tanganku yang sedang berusaha meraih kuah-kuah terakhir di mangkok itu. Meski selama ini banyak hal yang ia berikan untukku dan mungkin untuk banyak orang, tapi bagiku kalimatnya kali ini adalah tenaga. Seperti ada yang baru saja merasuki dadaku, sehingga ia sedikit berdebar.

"Makasih, Lang."

Kata terimakasih yang aku rasa tidak cukup. Dan entah harus berbuat apa agar dapat membalasnya.

Kembali lagi, malam pilu, namun aku bisa beristirahat dengan tenang. Kali ini karena dia. Kak Gilang. Tidak, mulai malam ini dia adalah; Gilang.

Ku jelaskan nanti apa perbedaannya.

***

BalerinaWhere stories live. Discover now