Ibu Mertua

6 4 1
                                    

"Sakit gak?" tanya Anan, memegangi tangan Sekar yang menggandeng lengannya.

Sekar tersenyum dan menggeleng. Ia berbisik, "Aku pingin ke belakang."

Mendengar permintaan Sekar, Anan menahan tawanya. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana Sekar dapat ke toilet. Menurutnya, gaun itu begitu merepotkan.

Anan meminta bantuan bridesmaid untuk mengantar Sekar. Para tamu menjadi kebingungan karena sang pengantin wanita malah berbalik arah. Ibunya Sekar menepuk dahi karena kelakuan putri satu-satunya tersebut.

***

Setelah resepsi usai, BMW putih tersebut melaju menuju Secata Cimahi melewati tol Padalarang. Mereka akan keluar dari tol Leuwigajah menuju Dustira. Ke arah Pasar Antri, kemudian tiba di kompleks TNI.

Keluarga mempelai pria telah tiba lebih dahulu. Mereka menyiapkan kamar Anan agar lebih rapi dan bersih. Menghiasinya agar lebih terlihat seperti kamar pengantin baru.

Ibunya Anan menanti di depan pintu masuk, menyambut Sekar dengan bahagia. Wanita gemuk itu memeluk Sekar dengan erat. Ia menantikan begitu lama. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Namun, Anan harus menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, baru berani melamar.

"Sayang, kamu lelah?" tanya Rosma, penuh perhatian.

"Enggak, Bu. Cuma gak tahan ini pengen cepat-cepat lepas baju," sahut Sekar, dengan wajah tanpa dosa.

Anan yang mendengar langsung memalingkan wajah. Wajahnya memerah dan amat malu. Sempat membayangkan sesuatu yang tidak-tidak di kepalanya. Ia bergumam, "Sabar ... nanti malam bisa."

"Iya, sana ke kamar. Mau buka sekarang? Iya, kan, Anan?"

Anan tersedak ludahnya sendiri mendengar perkataan ibunya yang to the point. Sekar mengangguk senang. Ia memang sangat lelah, selain kakinya telah membengkak, rasanya punggung dan pinggang terasa pegal. Mereka digiring menuju kamar yang pintunya telah diberi rangkaian bunga mawar.

"Bu, enggak nanti saja? Masih banyak saudara," bisik Anan, malu. Kepalanya memperhatikan sekitar, masih banyak saudara dan sepupu yang terkekeh-kekeh memandanginya.

Mereka sedang menggodanya apalagi kakak perempuan Anan, Suci Majarani. Ia mengacungkan jempol sembari mengedipkan sebelah mata usilnya. Beruntung suami Suci tidak melihatnya melakukan hal itu.

"Enggak apa-apa. Nanti ibu usir semuanya," sahut Rosma, mendorong tubuh Anan masuk ke kamar.

Sekar telah berbaring di atas ranjang empuk bertabur kelopak bunga mawar. Anan menutup pintu dan menguncinya. Melihat sekeliling kamar berukuran 4x3 meter itu, ia menahan napas. Kamarnya telah berubah nuansa. Cat abu-abu pada dinding telah ditambahi hiasan wallpaper keemasan berbentuk hati dan bunga mawar. Sprei abu-abu telah berganti warna menjadi cokelat keemasan. Tirai hijau tentara telah berganti menjadi cokelat keemasan senada dengan spreinya.

"Wah, kamar aku kenapa jadi gini?" gumam Anan, menyengir tanda tidak suka.

Sekar mendengar gumaman Anan. Masih dalam posisi berbaring, ia berkata, "Kenapa? Keren, loh, Siapa yang hias? Jadi enggak suram-suram banget."

Anan memandangi Sekar. Jantungnya berdetak kencang tidak dapat dikendalikan. Selama ini, ia mampu menahan diri untuk tidak menyentuh Sekar. Sekarang mereka telah sah, apa lagi yang ia tunggu.

Anan menampakkan wajah usil. Ia duduk di sebelah Sekar, berbisik, "Katanya mau buka baju, sini aku bantuin buka."

Sekar memang sudah tidak nyaman memakai gaun tersebut. Tanpa pikir panjang, ia bangkit. Duduk membelakangi Anan. Tangannya berusaha menggapai resleting di punggungnya.

Anan terpegun. Ia menatap resleting itu sembari menahan napas. Jantungnya berdentuman semakin kencang. Sekar menunggu, menyibakkan rambut panjang dan kerudungnya ke samping. Terlihat leher jenjang Sekar, membuat perut Anan bergelenyar.

"Lama banget, Kang!" seru Sekar, tidak sabar.

Anan mengulurkan tangan. Ia menarik kepala resleting dan membukanya. Namun, belum selesai Anan menjalankan tugas. Sekar berdiri dan berlari. Punggungnya menempel di tembok. Wajahnya memerah bagai kepiting yang direbus. Ia amat sangat malu.

Anan menyadari situasi dengan cepat. Bukannya menolong, ia malah menggoda Sekar. "Loh, katanya mau dibuka, sini dibukain semua."

"Enggak usah! Bisa buka sendiri!" seru Sekar, panik. Ia baru menyadari bahwa hanya ada mereka berdua di kamar itu.

Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 16.00 WIB, masih terlalu siang untuk melakukannya. Itulah yang terpikirkan oleh Sekar. Ia segera mencari koper baju miliknya. Ternyata berada sebelah lemari pakaian di dekat Anan.

Anan terbahak melihat kelakuan istrinya itu. Ia berdiri dan menghampiri. Wajah Sekar semakin ketakutan. Takut terjadi sesuatu yang iya-iya.

"Aku mau mandi dulu. Kamu salin aja dulu. Pakaiannya di dalam koper. Nanti gantian mandinya," ucap Anan, lembut memegangi kedua pundak Sekar. Menyejajarkan mata mereka dalam satu garis lurus. Ia nyeletuk, "Aku gak mau cium bau keringet kamu."

Sekar memukul dada bidang Anan dengan wajah cemberut. Pria bertubuh bidang dengan tinggi sekitar 180-an itu terkekeh-kekeh melihat wajah kesal Sekar. Ia langsung mengambil handuk dalam lemari. Satu berwarna hijau tentara, satunya lagi berwarna hijau toska.

Sekar menghampiri Anan dan mengambil handuk tersebut. Anan tersenyum, ia kembali mengambil pakaian piyama yang telah dibelikan ibunya. Dua stel, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Sekar.

Sekar menatap piyama itu dengan mata berbinar. Bukan karena harga piyamanya,  tetapi ia memiliki barang-barang yang sama dengan Anan. Hadiah dari ibu mertua lagi.

Anan mengusap ubun-ubun Sekar, lalu berjalan menuju pintu. Ia membuka kunci dan keluar. Sudah tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Bahkan Rosma dan ayahnya, Dadang, juga tidak kelihatan.

"Kamarana?" gumam Anan, kebingungan mencari keberadaan semua orang.

Anan bergegas ke kamar mandi di dekat dapur. Ia mandi dengan air dingin agar lebih segar. Sembari bersenandung di kamar mandi, ia membayangkan Sekar yang saat ini ada di kamarnya.

Sekar berusaha membuka resleting. Dengan susah payah, ia berhasil. Segera berganti pakaian dalam dan memakai piyama tadi. Saat dilebarkan lipatannya, terjatuh sesuatu yang berwarna hitam. Sekar mengambil dan terbelalak menatap lingerie di tangannya. Terbuat dari brukat mahal yang transparan, pikirannya mulai berkelana. Wajah Sekar menjadi panas. Pipinya memerah. Akan terjadi sesuatu seperti yang dilihatnya di film-film Hollywood sebentar lagi. Membayangkan itu di dalam kepalanya, ia menjadi sangat malu.

Anan mambuka pintu, mengagetkan Sekar. Beruntung ia telah berpakaian. Ia segera menyembunyikan lingerie tersebut di belakang punggungnya, kemudian tersenyum manis. Wajahnya masih memerah dan terasa panas. Agak sedikit kegerahan. Anan memperhatikan reaksi pada wajah Sekar. Seperti maling yang tertangkap basah.

"Apa yang kamu sembunyikan?" tanya Anan, berusaha mengambil benda yang disembunyikan Sekar.

"Bukan apa-apa, Kang. Beneran," sahut Sekar, masih mengelak. Ia berlari menjauh sembari tertawa kecil.

Anan gemas dibuatnya. Ia mengejar Sekar, berusaha mendapatkan yang diinginkan. Nahas, kaki Anan tersandung karpet. Ia jatuh terjerembab menyambar tubuh Sekar. Ia menindih Sekar di ranjang. Mereka saling berpandangan, dapat merasakan detak jantung masing-masing.

Anan tidak dapat menahannya lagi. Ia tetap di atas tubuh Sekar, menatap lekat wajah bulat telur itu. Wajah yang selalu mengisi tidur-tidur malamnya.

Sekar terpana, melihat garis rahang tegas milik Anan. Tatapan mata elang yang lembut menatap matanya. Mereka larut dalam kelembutan cinta yang telah terikat tali pernikahan.

"Aku akan pelan-pelan," bisik suara bariton Anan, lembut di telinga Sekar.

To be continue

Gerbang ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang