Meet The Neighbors

2 1 1
                                    

"Owalah, Penganten baru ternyata!" seru Teh Tuti, antusias.

Teh Tuti menarik lengan Sekar dan membawa ke rumahnya. Meninggalkan Anan sendirian. Pria berambut cepak itu hanya bisa menggeleng melihat ulah para wanita itu. Namun, ia bahagia setidaknya Sekar langsung memiliki teman di komplek tentara tersebut.

Anan masuk untuk membereskan pakaian mereka. Ia sengaja membawa sedikit demi sedikit barang-barang yang mereka butuhkan. Takut hanya sebentar saja mereka tinggal di Pangelangan. Lagipula ia juga merasa khawatir kalau Sekar tidak betah tinggal di sana.

Sementara itu, Sekar sedang dijamu oleh tuan rumah. Ada aneka kue di atas meja makan. Semua telah dibuka oleh Teh Tuti agar Sekar menyicipi kue-kue tersebut.

"Itu bikin sendiri, loh. Enak banget, gak kemanisan bikin gigi linu," terang Teh Tuti, promosi tentang kuenya.

"Teteh jualan?" tanya Sekar sembari mencomot satu per satu kue tersebut.

Teh Tuti yang sedang membuat teh hangat tersenyum dan menjawab, "Iya, biasanya kalau ada acara ibu-ibu PKK, tapi ...."

Sekar menghentikan makannya dan menanggapi, "Tapi kenapa, Teteh?"

"Sejak ada corona ini, jadi jarang ada kegiatan PKK. Saya jadi gak punya penghasilan lagi," sahut Teh Tuti, berkeluh kesah.

"Sabar, ya, Teh. Kita semua lagi diuji, semoga nanti ada rezeki dari tempat lain," timpal Sekar, kembali asyik mencomot kue-kue itu lagi.

Teh Tuti menghidangkan teh hangat. Ia tersenyum senang melihat tamunya menyukai kue buatannya. Sembari mengambil plastik setengah kiloan, ia berkata, "Enak, kan? Kalau doyan bawa pulang aja. Bapaknya sama anak-anak bosen katanya."

Sekar mengangguk senang. Jelas ia sangat menyukai kue-kue tersebut, selain enak dapat gratisan pula. Ia akan membaginya kepada Anan. Mungkin sewaktu-waktu ia bisa membantu Teh Tuti dengan memesan kue tersebut untuk orang tuanya di Kota Baru Parahyangan.

"Ketemu sama suami di mana?" tanya Teh Tuti, bukan kepo, tetapi ingin mengakrabkan diri dengan Sekar.

"Di komplek tentara Cimahi, Teh," sahut Sekar, dengan mulut masih mengunyah kue.

"Lagi ngapain ke situ? Kamu kayaknya juga bukan anak tentara, ya?" tukas Teh Tuti, menebak-nebak.

Tebakan Teh Tuti memang tepat. Ayahnya seorang pengusaha mebel. Ibunya membuka restoran masakan ala Indonesia. Beragam aneka masakan daerah di seluruh Indonesia ada di restoran tersebut. Itulah mengapa Sekar pandai memasak.

"Iya, Teh. Orang tua saya pengusaha dan pedagang." Sekar memamerkan deretan gigi putihnya alias tertawa lebar.

"Wah, dagang apa?" tanya Teh Tuti, mulai memasukkan kue-kue tersebut ke plastik setengah kiloan.

"Dagang masakan daerah, Teh. Udah,  udah, itu kebanyakan," ujar Sekar, panik melihat tumpukan kue dalam plastik.

Teh Tuti tersenyum lebar. Namun, ia tidak berhenti memasukkan kue-kue tersebut meskipun Sekar telah memintanya berhenti.

"Gak apa-apa. Buat berdua, kan?"

Teh Tuti mengambil keresek hitam dan memasukkan plastik kue tersebut. Ia menaruh keresek tersebut di meja di hadapan Sekar. Dengan wajah bahagia, ia berkata, "Pokoknya besok ke sini lagi, bantu ngabisin kue, ya."

Sekar tercengang. Jadi, ia hanya diminta untuk menghabiskan kue saat diseret ke rumah Teh Tuti. Untung kue yang dihidangkan semuanya enak.

Sekar meringis, ia merasa tidak enak sekarang. Baru kenal sudah menghabiskan banyak kue. Ditambah lagi Teh Tuti benar-benar memintanya menghabiskan.

"Bukan cuma ngabisin aja, tapi temenin saya di sini. Suami jarang di rumah," ucap Teh Tuti, seperti mengetahui isi kepala Sekar, padahal ia hanya berusaha untuk ramah.

"Oh, memang ke mana? Apel?"

"Bukan, ke rumah istri muda."

Sekar syok mendengarnya. Istri muda katanya. Selera makannya langsung lenyap. Ia baru saja menikah selama dua hari dan langsung mendengar istri muda dari Teh Tuti, membuatnya menjadi sedikit was-was.

"Kenapa gak ambil lagi?"

"A–a–nu, Teh. Saya belum beres-beres. Pulang dulu, ya," ucap Sekar, mohon pamit.

Wajah Teh Tuti berubah murung. Namun, ia tetap mengangguk, mengizinkan tamunya untuk pulang. Sekar pulang dengan hati yang entah. Tidak dapat dikatakan.

"Kang, lagi apa?" tanya Sekar, masuk ke rumah lewat pintu belakang. Ia kaget saat melihat suaminya menjejalkan semua pakaian tidak beraturan.

"Eh, kok, sudah pulang?" tanya Anan, memberikan senyum lebarnya.

"Kang, gak usah nanti aja sama Sekar," sahutnya sembari membereskan pakaian dalam yang berserakan.

Anan tersenyum dan berkata, "Gak apa-apa, kan, biar cepet selesai."

Sekar mendelik, marah. Ia menaruh keresek kue ke tangan Anan dan menyuruhnya keluar. Dengan kesal, ia mulai menata pakaiannya dan Anan dengan sangat rapi.

Anan hanya melongo melihat pintu yang ditutup. Dengan bingung, ia melihat isi dari keresek yang diberikan Sekar. Ada kue-kue di dalamnya. Anan segera ke dapur untuk mengambil wadah. Namun, mereka bahkan tidak memiliki piring dan gelas.

Anan segera menghubungi kakaknya. Ia meminta bantuan dibawakan peralatan makan dan alat-alat masak. Kalau bisa Suci membawakan yang ada di rumah Bandung.

Suci dengan senang hati melakukannya. Ia ingin sekali jalan-jalan sejenak setelah sekian lama mendekam di rumah saja. Kegiatannya paling hanya ke rumah orang tua yang berbeda beberapa rumah dari kediamannya.

"Oke, siap meluncur!"

Suci membawa mobil milik suaminya diam-diam. Bang Togar tidak pernah mengetahui kelakuan istrinya itu. Sikap Suci yang seenaknya sendiri membuat Bang Togar mau tidak mau sedikit mengalah.

Sementara menunggu Sekar, Anan menghabiskan setengah kilo kue yang dibawakan tadi. Kue-kue itu sungguh enak. Ia akan meminta Sekar untuk membelinya lagi.

Lama Anan menunggu sampai Suci datang, Sekar belum juga keluar dari kamarnya. Suci membantu Anan membereskan perabotan yang dibutuhkan pasangan muda itu.

"Lah, dari tadi dia di dalam kamar?" tanya Suci sembari hilir mudik menyimpan perabotan yang mampu dibawanya.

"Iya, sudah dari dua jam yang lalu," sahut Anan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena kebingungan.

"Coba kamu panggil, yang lembut. Jangan kasar-kasar!"

Anan mencoba seperti yang dikatakan kakaknya. Ia mengetuk pintu kamar dan memanggil Sekar dengan suara bariton yang lembut.

"Sayang ... lagi apa di dalam? Lama banget, sih?" ucap Anan, "ini ada Teh Suci, nyari kamu."

Berhasil. Sekar membuka pintu kamarnya. Ia telah selesai membereskan semua kekacauan yang dilakukan Anan.

Dengan melengos dari Anan, Sekar segera menghampiri kakak iparnya tersebut. Ia berkata, "Teh, dah lama?"

"Enggak baru aja nyampe. Kamu ngapain ngerem di kamar? Tuh, si Anan sampe gelisah kayak gitu," sahut Suci sembari menunjuk Anan yang lesu.

Sekar melirik ke arah Anan yang mendekat. Ia sedikit kesal karena Anan mengacak-acak pakaian dalamnya yang telah tersusun rapi sesuai warna. Saat Anan membereskannya, semuanya berantakan. Sekar harus menata ulang semuanya.

Anan masih tidak paham akan kebiasaan Sekar, sehingga masih membuat wanita bermata bulat tersebut marah-marah. Ia memeluk pinggang Sekar dan berbisik, "Kenapa, sih, Sayang?"

Sekar benar-benar malu di depan kakak iparnya. Ia memberontak berusaha melepaskan pelukan Anan.

To be continue






Gerbang ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang