New Life New Home

2 2 0
                                    

Rumah itu sederhana. Berada di permukiman penduduk yang cukup padat. Rosma kurang menyukai lingkungan yang seperti itu. Sehingga mereka tetap tinggal di rumah dinas.

"Suka?"

"Suka banget. Nanti pasti rame sama anak-anak, kan?"

Anan tersenyum. Mereka memandangi keluar jendela besar di ruang tamu. Melihat orang-orang berlalu-lalang dengan masker di wajah. Tak terlihat anak-anak bermain di jalanan.

"Kan, lagi corona, Sayang," sahut Anan, memeluk tubuh istrinya dengan penuh rasa sayang.

"Betul juga!" seru Sekar, ia mengingat sesuatu dan bertanya, "Memangnya sekolah tentara enggak online?"

"Ha-ha-ha!" Anan malah menertawakan keluguan Sekar. Saking gemasnya, ia mengencangkan pelukannya.

"Aduuuh! Akang, sesak napas!" teriak Sekar, berusaha melepaskan diri dari pelukan Anan. Namun, gagal.

Tangan kekar Anan memeluk erat Sekar. Ia tidak rela melepaskan begitu saja istrinya yang menggemaskan itu. "Diem aja, Sayang. Nanti lama-lama enak."

Sekar malah semakin berontak, memukul-mukul tangan Anan. "Lepasin, cepat!"

"Gak mau!" Anan malah mengangkat tubuh istrinya dan membawa ke kamar.

***

Waktu menunjukkan pukul 03.00 Wib, Anan mencari keberadaan Sekar. Tidak ada di kamar. Ia mencarinya di kamar mandi. Tetap nihil.

"Ke mana Sekar subuh-subuh gini?" gumam Anan, segera memakai kaos putih yang berserak hasil kerja keras sepanjang malam.

Anan keluar kamar. Ia tidak menemukan Sekar di dapur. Namun, ketika ia menyalakan lampu ruang tamu, terkejut melihat istrinya. Sekar tertidur di sofa dalam keadaan tidak berpakaian.

Anan mengambil bed cover di kamar, kemudian membawanya untuk menyelimuti Sekar. Ia menggotong tubuh Sekar kembali ke kamar. "Kenapa bisa tidur di luar?"

Saat Anan menaruh Sekar kembali ke ranjang, Sekar terbangun. Ia bertanya, "Akang sudah bangun?"

Anan tersenyum, lalu berkata, "Sudah. Kamu kenapa pindah tidur di sofa?"

"Haaah! Masa? Enggak, ah ... mana ini masih di kasur," sahut Sekar, terkejut.

Anan meraih tangan Sekar dan menggenggamnya. Menciumi jari jemari lentik itu dengan penuh cinta. Ia tidak bertanya apa-apa lagi. Mungkin saja Sekar terlalu mengantuk, sehingga lupa kalau mereka memiliki kamar mandi di dalam kamar.

"Aku masih ngantuk. Akang sudah gak ngantuk?" tanya Sekar, mengucek matanya yang masih merem melek.

"Mana bisa tidur lagi, dekat kamu bangun terus," sahut Anan, dengan memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya dan kerling mata nakal.

Sekar cemberut langsung mendekap tubuhnya sendiri yang terselimuti bed cover. Anan tergelak akibat ulah menggemaskan Sekar. Ia mengalah membiarkan apa yang terbangun dibiarkan mendingin. Segera ke kamar mandi untuk mandi air hangat dan ia mensucikan diri untuk ibadah subuh.

Sekar kembali meringkuk karena matanya tetap tidak dapat terbuka. Ia benar-benar sangat mengantuk. Menyelimuti diri dengan bed cover, hingga tubuhnya tertutupi sempurna.

Anan melihat istrinya masih berada di balik selimut. Ia tetap harus membangunkan Sekar. Mereka akan salat berjamaah berdua untuk pertama kalinya.

"Sayang, ayo, bangun. Kita salat dulu, terus kita belanja untuk keperluan kamu," bisik Anan, membuat Sekar semakin lelap tertidur.

"Hmmm ...."

Anan mencubit hidung Sekar. Mendadak Sekar terbangun karena sesak, tidak bisa bernapas. Ia menjerit kesakitan, "Akang, sakit tau!"

"Mandi sana. Itu air panasnya udah siap. Mandi nujub, ya. Akang tungguin buat salat subuh berjamaah," ucap Anan, wajah usilnya masih tampak. Sekar cemberut.

Sekar bangkit dari ranjang, lupa kalau ia belum berpakaian. Anan meneguk ludah, menahan diri untuk tidak menyerang Sekar sekarang. Ia segera keluar untuk membuat kopi panas.

Sekar menyadarinya agak terlambat. Segera mengambil handuk dan melilitkan pada tubuhnya. Ia segera mandi dengan rasa malu. Wajahnya memerah.

"Godaannya berat banget," gumam Anan, menyeruput kopi panasnya.

Sembari menunggu Sekar, ia membereskan kamar lain. Ia akan menggunakannya sebagai tempat salat. Salat berjamaah bersama dengan Sekar.

Sekar baru keluar dari kamar dengan handuk masih melilit kepalanya. Setidaknya ia telah berpakaian. "Akang di mana?"

"Ini di kamar lagi beres-beres," sahut Anan, mendengar panggilan Sekar.

Sekar mendatangi kamar. Ia melihat Anan duduk di atas sajadah. Menoleh saat merasakan kehadiran Sekar di sana.

"Ayo, salat subuh dulu. Sudah hampir waktunya," ajak Anan, menepuk sajadah di belakangnya.

Sekar masuk. Ia memakai mukena lalu menunaikan salat subuh berjamaah untuk pertama kalinya bersama Anan. Dengan sopan, ia menyalami tangan Anan setelah mereka selesai salat. Anan mengecup kening Sekar dengan mesra.

"Kita mau sarapan apa?" tanya Anan, lembut, "Hmmm ... ke pasar buka enggak, ya?"

Sekar mengangguk gembira. Ini pertama kalinya ia pergi ke pasar. "Sebentar ada beras enggak, Kang? Biar aku nanak nasi dulu, pas pulang udah mateng?"

"Boleh. Kalau beras ada di tempatnya. Kemarin sudah diisi Ibu kayaknya pas kita mau ijab kabul," sahut Anan, mengingat-ingat.

Sekar berlari kecil menuju dapur. Dilihatnya tempat beras, terisi penuh. Sekar mengambil wadah magic com. Ia mengisinya dengan beras dan membersihkannya. Kemudian menanaknya pada magic com yang telah tersedia.

"Kenapa barang-barangnya sudah lengkap banget?" tanya Sekar, terheran-heran saat melihat Anan masuk ke dapur.

Anan berdiri sembari bersandar pada dinding. Memperhatikan istrinya tengah sibuk mempersiapkan alat memasak, padahal bumbu dan sayurannya belum ada. Ia terkekeh-kekeh sendirian.

"Bukannya jawab malah ketawa sendiri," sungut Sekar, kesal.

"Ayo, kita ke pasar," ajak Anan, mendekati Sekar dan menggandeng tangan istrinya itu.

***

Sekar tidak biasa masuk dapur, tetapi bisa memasak. Ia ahli soal keterampilan. Terutama hias menghias makanan.

Setelah berbelanja, Sekar langsung mengeksekusi belanjaannya. Ada sayuran yang ia pisahkan untuk esok hari. Ia ingin membuat kari ayam resep dari ibunya.

Setelah selesai, Sekar memanggil Anan. "Kang, sarapan dulu."

Pria berhidung bangir itu sedang memeriksa tes seleksi masuk sekolah ketentaraan. Berharap bisa segera diterima sebelum diberikan jadwal wilayah tugas, sehingga tidak perlu mencari pengganti untuk jadwal tugas.

"Sebentar, Sayang," sahut Anan, masih mengetikan satu alamat pada laptopnya.

"Apa itu?"

"Ini pengajuan tes seleksi. Sudah dikirim sama Akang sebelum kita menikah, baru sempat dibuka," jawab Anan, matanya masih fokus pada layar laptop.

Sekar mendesah, kesal. Ia hendak pergi, tetapi lengannya ditahan Anan. Langkahnya terhenti.

"Kenapa, Sayang?" tanya Anan, menaruh laptopnya di meja, kemudian menarik Sekar dengan kuat hingga terduduk di pangkuannya.

Sekar terkejut. Ia berontak, tetapi malah membuat kepalanya berbenturan dengan kepala Anan. Ia meringis kesakitan. Kepala Anan yang cepak sangat keras. Benturan tersebut membuat Sekar sedikit pusing.

"Sakit? Sini aku tiup." Anan mengusap kening Sekar. Ia meniup tempat benturan, lalu menciumnya.

Sekar cemberut, melihat ulah Anan. Ia ingin segera berdiri. Namun, Anan tidak melepaskannya kali ini.

Anan menciumi pipi Sekar yang chubby sembari tersenyum senang. Sekar memerah lagi, membuat Anan semakin gemas. Dalam sekali hentak, ia menggotong Sekar.

"Akang, mau ke mana!" pekik Sekar dengan wajah panik.

To be continue





Gerbang ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang