Pindah ke Bandung

2 2 0
                                    

"Tadi malam ada yang mandi, loh, Pak," goda Rosma, melirik ke arah Anan dan Sekar yang tertunduk malu di meja makan.

Wajah keduanya memerah. Apa yang terjadi tadi malam, semua orang telah mengetahuinya. Termasuk Suci yang mengerling nakal. Entah mengapa sepagi ini, kakak Anan itu sudah nimbrung di meja makan mereka.

"Teteh, kenapa ada di sini?" tanya Anan, menatap curiga.

"Emang gak boleh?" tanya Suci, sewot.

"Suci! Di mana kau, hah! Mana pulak sarapanku?" Terdengar teriakan dari pintu depan.

Suci menutup mulutnya malu. Ia bergegas keluar menemui suaminya yang tentara juga. Dengan tegas berkata, "Abang, tong ka dieu! Ayo, pulang! Sarapan tos aya di meja!"

Rosma mengintip mereka. Ia menghela napas sembari menggeleng. Tingkah anak perempuannya itu benar-benar tidak terduga. Ada saja ulahnya.

Rosma kembali ke meja makan. Ia akan mengambil nasi, tetapi nasi di dalam magic com telah habis. Mulutnya terbuka, dagunya terjatuh, melihat isi wadah yang telah melompong.

Ketiga orang di meja makan menjadi tersangka. Rosma berdiri sembari berkacak pinggang. Ia berseru, "Ibu teu disesakeun geuning!"

"Bu, itu dari tadi magic com teh kosong. Belum ada yang makan ini," ujar Dadang, kalem.

"Astagfirullah!" Rosma menepuk kening lebarnya.

Sekar tertawa kecil melihat ulah mertuanya. Ia berdiri mengambil wadah nasi tersebut. Dengan senang hati mengajukan diri, "Biar sama saya aja, Bu."

Rosma mengangguk dengan wajah kebingungan. Ada apa dengan dirinya sampai lupa menanak nasi tadi subuh. Ia terlalu membayangkan yang iya-iya. Antara Anan dan Sekar.

"Akang, gih, beli nasi di warung. Biar aku masak dulu," perintah Sekar kepada suaminya itu.

"Siap, Nyonya Anan!" sahutnya, beranjak sembari memberikan tanda hormat kepada calon ibu dari anak-anaknya itu.

Sekar terkikik melihat kelakuan Anan. Dadang menghela napas panjang. Kejadian itu bukan yang pertama kali terjadi. Rosma kadang lupa menekan tombol masak pada magic com. Hal itu membuat beras hanya terendam air panas karena dihangatkan saja.

"Maapin atuh, Pak. Namanya, ge, hilap," ucap Rosma kepada Dadang, memelas karena sifat pelupanya itu.

"Ah, bapak mah da udah biasa sama kelakuan Ibu yang satu itu," sahut Dadang, mencolek hidung bangir istrinya.

Sekar yang melihat tertunduk malu. Begitu harmonis kedua insan yang telah berusia lanjut tersebut. Ia berdoa semoga mereka bahagia sampai jannah. Dalam hati, ia juga memohon agar diberikan rumah tangga yang harmonis seperti mertua dan orang tuanya.

Selesai belanja dari warung, Anan kembali membawa empat bungkus nasi. Ia menenteng kantung plastik tersebut tanpa rasa malu. Tidak ada gengsi dalam kamus Anan, semua dilakukannya dengan senang hati.

"Nasi sudah datang!" seru Anan, semringah. Entah apa yang membuatnya begitu bahagia.

Saat makan pagi yang sedikit kesiangan itu, Dadang berkata, "Bapak teh aya rumah di Bandung. Sok ditempatan sampe Anan masuk ka secaba Pangalengan, nya."

"Memang mau sekolah lagi?" tanya Sekar, kepo.

"Iya, dong, Sayang. Kan, Akang gak mau jadi tamtama terus," sahut Anan, mencubit pipi chubby Sekar yang duduk di sebelahnya.

Rosma tersenyum usil kepada anaknya yang telah dewasa itu. Melihat ibunya memperhatikan, Anan melepaskan cubitan sembari pura-pura tidak tahu. Sekar meringis sembari mengusap pipinya yang mulai memerah.

"Aduh, Sayang. Sakit, ya? Meuni bangor kamu, teh. Itu lihat pipinya sampe merah!" seru Rosma, memaki Anan. Nyaris centong nasi yang sedang dipegangnya melayang.

"Idih pelan itu, teh, Bu. Pipinya aja sensitip. Dikit-dikit merah. Coba godain dikit, nanti merah lagi," kilah Anan, menahan tawanya.

Dadang hanya menggeleng melihat ulah anggota keluarganya. Setiap hari selalu sama, perdebatan konyol di meja makan akan selalu terjadi. Rosma senang sekali bercanda dengan Anan sejak putra mereka masih dalam kandungan, hingga kini membawa pulang seorang istri.

"Sudah, sudah, mau kapan pindahannya?" tanya Dadang, masih dengan gaya kalemnya. Maklum jaim di depan anak menantu.

Dadang tidak mau sampai tingkahnya terdengar sampai keluarga besan. Tentu ia akan menjadi sangat malu. Namun, menantunya itu merupakan anak yang baik. Ia bisa melihat itu.

Kemampuan Sekar menyesuaikan diri dengan Rosma juga sungguh luar biasa. Rosma langsung menyukai Sekar sejak Anan meminta izin mengantarkannya ke Kota Baru Parahyangan malam-malam. Ia dapat merasakan kebaikan hati dari menantunya tersebut.

"Jangan cepet-cepet atuh, Pak!" seru Rosma, merasa sedih.

"Kenapa?" tanya Anan, bingung.

"Nanti ibu kesepian teu aya kamu," sungut Rosma, mulai terisak.

Anan beranjak dari kursinya. Ia menghampiri Rosma dan berjongkok di depannya. Dengan lembut, berkata, "Ibu, Anan sama Sekar nanti sering datang berkunjung, atau Ibu yang ke Bandung."

"Ih, puguh di-lockdown!" Rosma menempelkan tangan ke kedua pipi anak lelakinya tersebut.

Anan sampai termonyong-monyong. Ia berusaha keras melepaskan tangan ibunya yang bau jengkol. Sedikit berjengkit, ia berteriak, "Udah atuh, Bu! Bau euy ... tangannya!"

Akhirnya, centong nasi mendarat di kepala Anan yang cepak rambutnya itu. Ia mengusap-usap kepalanya kesakitan. Sekar malah tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan suami dan ibu mertuanya.

Dadang sibuk menghabiskan semur jengkol buatan Rosma. Kalem merupakan moto hidupnya. Namun, itu hanya pencitraan.

"Geus atuh, hayu cepetan ini semur jengkol dihabisin. Kalau gak, Bapak abisin."

"Gak doyan, Pak! Cuma Bapak sama Ibu aja yang makan ngabisin tiga piring!"

"Masa? Emang saya pikirin," sahut Dadang, mengundang gelak tawa dari keluarganya.

Anan menepuk keningnya sendiri. Keluarganya sangat harmonis dan humoris. Semua tragedi dijadikan humor oleh Dadang, membuat kehidupan mereka yang hanya cukup saja tidak terlalu menjadi beban. Rosma juga menyahuti setiap humor yang diciptakan Dadang. Keduanya pasangan serasi bagi Anan dan tokoh panutan yang amat ia hargai.

"Ayo, Sayang. Kita siapin koper!" ajak Anan, menggandeng tangan Sekar yang mulutnya masih penuh nasi menuju kamar.

"Suwabawar, Kwuang!" Tubuh sintal Sekar yang pendek tertarik oleh tenaga kuda dari tangan Anan yang besar.

Sekar cepat-cepat menelan nasi di mulutnya, walaupun belum mengunyah sebanyak 33x. Menurut mbah guwe, semakin banyak mengunyah semakin sedikit kalori yang masuk ke dalam tubuh. Ia rajin berselancar mencari artikel di mesin pencarian guwe.

Rosma dan Dadang hanya bisa menggeleng-geleng. Mereka memandangi hingga Anan dan Sekar menghilang di balik tembok. Anan telah membawa Sekar masuk ke dalam kamar.

"Mau bawa apa aja?" tanya Anan, kebingungan melihat barang-barang di kamar yang berantakan.

"Bawa catokan, hairdryer, pengeriting rambut, sama ...." Ucapan Sekar terhenti karena bibirnya telah menempel dengan bibir Anan.

Sekar hanya bisa pasrah dan menikmati sentuhan di pagi hari yang cerah itu. Namanya saja pengantin baru. Mereka akan selalu mencari kesempatan untuk berduaan, menikmati cinta yang telah terajut. Hanya tinggal menyelesaikannya hingga terbentuk rumah tangga yang harmonis dalam rajutan cinta.

To be continue










Gerbang ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang