Looking for A Solution

2 0 0
                                    

"Eh, Teh Tuti," sapa Anan, tersenyum ramah saat Teh Tuti melihat ke arahnya sembari menunjuk.

Pria berseragam tadi menghampirinya. Wajahnya garang dengan rahang kotak dan tatapan mata tajam. Anan meneguk ludah, jeri melihat tubuh tinggi besar berotot berjalan ke arahnya.

Pria itu mengambil tangan Anan dan berseru dengan suara cempreng, "Terimakasih, ya!"

Anan membuka mulutnya, tercengang. Dengan tergagap, ia berkata, "I–i–ya, Kang. Sama-sama."

Anan menatap Teh Tuti bingung. Teh Tuti yang telah berdiri di belakang pria tadi memperkenalkannya.

"Ini kenalin suami Teteh. Baru pulang dari dinas keluar pulau Jawa. Kemaren ke mana?" tanya Teh Tuti, mendongak karena ia terlalu pendek dibandingkan suaminya.

"Ke Papua. O'ya, baru dua hari di sini?"
"Betul, Kang. Saya baru aja pindah. Belum tahu banyak sekitar komplek juga."
"Iya, gak apa-apa. Katanya istri kamu baik sama istri saya?"
"Oh, bisa aja. Dia memang suka berbagi, Kang. Lagian Teh Tuti juga baik sama kami."

Teh Tuti bergelayut manja di lengan kekar pria yang bernama Asep tersebut. Mereka saling berpandangan layaknya aktor dan aktris India. Anan menjadi jengah dibuatnya.

Sekar menyusul Anan ke halaman depan. Ia melihat Anan sedang bercakap dengan pria berseragam dan Teh Tuti. Dengan wajah cerah, ia menghampiri mereka.

"Teh Tuti, sudah pulang suaminya?"
"Ini Sekar?"
"Iya, Kang."
"Makasih selalu bantuin Tuti, Sekar."
"Sama-sama. Teh Tuti juga selalu ramah sama saya sebagai orang baru di sini."

Teh Tuti mesam-mesem. Wajahnya cerah, begitu bahagia. Anan yang telah selesai mengupas degan, segera menyodorkan satu buah degan kepada Kang Asep.

Kang Asep menerimanya dan berucap, "Makasih, ya."

***

Malam tiba, Anan sibuk dengan ponsel di tangan. Sedikit tidak mengacuhkan Sekar yang sibuk merangkai album foto pernikahan yang dikirimkan Suci. Memang mereka sengaja tidak memakai jasa photo profesional karena saudara Sekar seorang photografer amatir dan Sekar ingin membuat sendiri album fotonya.

Anan kembali mencari tahu mengenai tidur sambil berjalan yang dialami Sekar. Ia harus mengetahui hal yang harus dilakukannya bila melihat istrinya berjalan dalam tidur kembali. Kekhawatirannya beralasan, ia sendiri tidak mau terjadi sesuatu yang buruk kepada Sekar. Terutama saat istrinya itu tidak menyadari apa yang dilakukannya.

Pencegahan lebih baik menurut Anan. Ia hanya akan repot di awal dan berharap Sekar dapat kembali tidur tanpa gangguan. Meninggalkannya sendirian untuk bertugas juga, ia akan menjadi lebih tenang. Namun, ia belum menemukan solusi terbaik untuk masalahnya.

Ada sebuah website tentang kesehatan fisiologi dan psikiologi. Ia bisa menghubungi dokter terkait pada laman tersebut. Namun, saat ini sudah hampir lewat jam sembilan malam. Tentu akan mengganggu sekali bila ia menghubungi salah satunya.

Anan memutuskan untuk menghubungi salah satu dokter besok pagi. Malam harinya ia harus pergi apel sehingga sedikit khawatir untuk meninggalkan Sekar sendirian. Ia juga tidak mau merepotkan orang lain dengan meminta bantuan Teh Tuti misalnya.

Sekar masih tersenyum-senyum sendiri menata foto-foto yang berserakan di lantai ruang tamu tersebut. Ia duduk pada lantai di depan meja tamu. Terdengar tawa renyah saat ia melihat sebuah foto. Saudaranya mengabadikan Sekar saat terpeleset gaunnya sendiri.

"Lihat, Kang! Si Emen memotret aku yang mau jatuh, sama yang mau ke toilet," ujar Sekar, memerah.

Anan menoleh dan tersenyum simpul. Membuat Sekar tertawa sangat mudah, tetapi ia juga tidak ingin melihatnya bersedih. Semoga tidak akan pernah.

"Kamu lucu banget waktu nahan kebelet," sahut Anan, membuat bibir ranum Sekar maju beberapa senti.

Anan beranjak, ikut duduk di seberang meja berhadapan dengan Sekar. Ia memperhatikan hasil kerja Sekar yang memuaskan. Karyanya sangat keren menurut Anan. Dari bahan-bahan sederhana dan alami, Sekar membuat sebuah album foto.

"Cool!"
"Masa? Yang keren aku atau albumnya?"
Anan menjawil pipi chubby Sekar, "Dua-duanya, dong."
"Isssh, Akang!"

Anan terbahak melihat wajah istrinya kembali memerah. Ia semakin ingin menggodanya. Dengan suara pelan, ia berkata, "Udah malem ke kamar, yuk."

"Belum selesai!"
"Besok lagi. Ayo, besok Akang harus apel malam!"

Anan menarik lengan istrinya menuju kamar. Sekar hanya menurut. Melayani suami merupakan keharusan sebagai istri. Tidak mungkin bisa menolak, kecuali Sekar dalam kondisi tidak memungkinkan untuk melayani suaminya. Sakit misalnya.

Anan selalu bersikap lembut. Sekar menyukainya. Mereka terlelap.

Tengah malam, Sekar kembali terbangun tanpa sadar. Anan kelelahan dan tertidur lelap. Tidak menyadari bahwa Sekar telah beranjak dari ranjang.

Sekar berjalan perlahan menuju pintu. Berusaha membuka pintu kamar mereka. Ternyata Anan telah mengunci pintu kamar sebelum berkegiatan.

Sekar tidak dapat membukanya. Juga tidak bisa mencari kunci yang dimasukan ke saku celana Anan. Sekar hanya berdiri mematung.

Pada akhirnya, Sekar terkulai di lantai. Ia meringkuk di lantai semen yang telah halus tanpa alas apa pun. Kedinginan karena hanya memakai pakaian tidurnya yang cukup tipis.

Hingga Anan terbangun sebelum Subuh tiba. Ia tidak menemukan Sekar di sebelahnya. Segera beranjak dan nyaris ia menginjak Sekar yang meringkuk kedinginan.

Anan segera mengambil selimut dan membungkus tubuh Sekar yang telah menjadi dingin. Ia membopongnya kembali ke ranjang. Membaringkan perlahan agar ia tidak membangunkan istrinya tersebut.

Tangan Sekar yang dingin dipegang Anan agar hangat sembari meniupnya. Ternyata lebih baik ia tidak mengunci pintu. Tidur di sofa lebih aman dibandingkan tidur di lantai yang dingin.

"Maafkan aku, Sayang," bisik Anan di telinga Sekar. "Aku janji ini tidak akan terulang lagi. Kamu akan baik-baik saja."

Sekar tertidur begitu lelap. Tidak menyadari bahwa Anan begitu mengkhawatirkannya. Ia juga tidak mau Sekar mengetahui bahwa ia telah menyadari adanya gangguan tidur pada diri Sekar.

***

Keesokan harinya, Anan sibuk dengan ponselnya. Ia kembali membuka laman website tentang kesehatan fisik dan mental tersebut. Ia mencoba beberapa kali menghubungi dokter yang terkait dengan masalah gangguan psikologi.

Karena beberapa kali gagal, ia mencoba mengirimkan pesan kepada dokter tersebut. Belum ada balasan. Sekar yang telah membersihkan rumah, penasaran dengan tingkah Anan.

"Akang lagi apa?" tanya Sekar sembari menaruh cangkir kopi di meja.

"Oh, gak lagi apa-apa. Ini buat aku?"
"Iya. Kok, kayak sibuk banget sama hape?"
"Enggak, kok, cuma lagi nyari informasi aja."

Sekar menerima penjelasan Anan. Ia kembali melanjutkan kegiatan membuat album foto pernikahan yang tertunda kemarin malam. Anan memperhatikan sebentar, kemudian kembali sibuk melihat balasan dari dokter.

Ada pesan yang masuk ke emailnya. Anan segera membukanya. Penjelasan dari dokter sedikit banyak mirip dengan isi artikel. Namun, ada beberapa tips yang harus ia lakukan saat melihat penderita mulai berjalan dalam tidur.

Anan akan mempraktikannya, tetapi tidak untuk malam ini. Ia harus berangkat apel. Setidaknya ia harus melakukan pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada Sekar.

To be continue










Gerbang ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang