Sekar mengangguk patuh. Dengan malu, ia melambaikan tangan. Anan jadi gemas melihatnya. Ingin rasanya tetap tinggal di rumah saja tanpa ada apel. Namun, pekerjaan tentara tidak bisa WFH.
"Kunci pintunya, ya, Sayang!" teriak Anan, melambaikan tangan.
Sekar balas berteriak, "Iya, cepet pulang, yaaa!"
Sekar menutup pintu dan menguncinya. Ia segera membereskan rumah. Meletakkan semua benda yang dipindahkan Anan kembali pada tempatnya.
Setelah itu, Sekar keluar ke halaman belakang. Ada Teh Tuti berjongkok sembari menatap tanaman palawija yang ditanamnya. Sekar memperhatikan ada ekspresi sedih di mata wanita yang berusia lima belas tahun di atasnya tersebut.
"Kenapa, Teh?" tanya Sekar, ikut berjongkok di sebelah Teh Tuti.
"Gak kenapa-napa. Saya teh lagi bingung Sekar," isak Teh Tuti, menyapu pipinya yang meleleh air dari matanya.
"Bingung kenapa?" tanya Sekar, peduli. Ia tidak tega bila ada orang yang menangis di depannya.
Teh Tuti memeluk Sekar sembari menangis. Ia menceritakan beban hidupnya saat ini. Mengoceh hingga lupa waktu. Membuat hari berlalu dengan sangat cepat.
Sekar segera masuk untuk mempersiapkan makan malam. Ia akan menunggu Anan pulang. Ternyata hingga malam tiba, Anan belum juga sampai rumah.
Sekar makan sendirian kemudian membereskan meja makan. Ia memilih untuk segera tidur. Pintu depan tidak ia kunci karena Anan belum memiliki kunci serep.
Anan tiba di rumah pukul 22.00 WIB. Ia mendapati pintu tidak terkunci. Alisnya bertaut. Dengan gelisah, ia segera masuk. Ia mencari keberadaan Sekar yang ada di kamar utama.
Sekar memang di kamarnya, tetapi tubuhnya tengah berdiri kaku di samping ranjang. Ia menatap kosong ke arah Anan, kemudian berjalan tanpa arah. Hingga menabrak Anan. Anan menangkap tubuh Sekar yang mendadak lemas.
"Kenapa ini?" gumam Anan, cemas. "Sayang, sayang ...."
Sekar bergeming. Ia tetap berdiri mematung seperti zombi. Matanya terbuka, tetapi tidak merspon ucapan Anan.
Sekar berjalan perlahan. Ke arah pintu keluar kamar berada. Anan mengikuti, ingin mengetahui ke mana Sekar sebenarnya.
Sekar keluar kamar. Ia berjalan menuju pintu keluar yang tidak dikunci. Anan lupa menguncinya.
Sekar membuka pintu dengan mudah. Ia berjalan keluar menuju jalanan komplek. Belok ke kanan, kemudian belok lagi ke kanan menuju halaman rumah tetangga.
Anan bergegas berlari dan menahan tubuh Sekar. Ia segera menggendongnya agar kembali masuk ke kamar. Tidak dapat dibangunkan, ia membiarkan Sekar kembali terbaring di kasur dengan nyaman.
Sekar telah menutup matanya lagi dan meringkuk di dalam selimut. Anan menatap wajah istrinya itu dan bergumam, "Ada apa sebenarnya, Sayang."
Anan menarik napas. Ia bergegas berganti pakaian dan pergi tidur. Berbaring di sebelah Sekar sembari ia memandangi wajah chubby itu.
***
Subuh kembali datang, Anan melihat wajah istrinya masih terlelap. Ia tidak tega untuk membangunkan. Segera bangun untuk memasak air hangat untuk mandi.
Sekar terbangun dan berdiri di belakang Anan yang akan menggotong panci. Saat berbalik, Anan terkejut, ia kira Sekar kembali tidak sadar. Namun, Sekar berucap, "Aku gak dibangunin, Kang?"
"Lah, kan, sudah bangun," jawab Anan, terkekeh-kekeh.
"Isssh, aku bangun sendiri." Sekar merengut dan duduk di kursi. Tangannya tertopang pada meja makan.
Wajah cemberut Sekar mengundang gemas Anan. Setelah menaruh pada ember air panas tadi, ia bergegas masak air kembali. Kemudian menghampiri Sekar.
"Mandi duluan sana. Nanti gantian," ucap Anan duduk di sebelah Sekar pada kursi yang didudukinya terbalik.
Sekar patuh. Ia segera mengambil pakaian dan handuk untuk dirinya dan juga Anan. Anan memandang istrinya sembari mengucapkan terima kasih.
Setelah selesai, mandi dan beribadah, Sekar kembali disibukkan dengan memasak. Anan mengambil meteran untuk mengukur gedek dan kaso. Hari itu, ia akan membuat satu ruangan lagi agar menutup kamar mandi di luar.
Batas halaman yang telah diberi atap, tanahnya telah di semen, sehingga Anan tidak perlu membeli semen dan pasir untuk membuat lantainya. Ia memotong, mengukur lagi. Begitu seterusnya.
Selesai memasak Sekar keluar menuju halaman depan. Ia memanggil Anan untuk sarapan. Saat kembali, Teh Tuti sudah ada sedang duduk di depan meja makan mereka.
Sekar dan Anan saling berpandangan, mereka kebingungan. Takut Teh Tuti merasa tersinggung bila mereka mengusirnya sehalus apa pun, Sekar akhirnya bertanya, "Teh Tuti sudah sarapan?"
Sekar dan Anan duduk di hadapan Teh Tuti. Teh Tuti menggeleng dengan wajah sedih. Sekar berinisiatif mengambil piring yang ternyata dibawa Teh Tuti kembali. Sekar menaruh sayur pada piring tersebut.
"Makasih, ya," ucap Teh Tuti, tersenyum semringah. Kemudian, ia pamit sembari membawa piring.
"Teh Tuti mau numpang makan terus?" tanya Anan, wajahnya cemberut.
"Hush, bukan numpang, tapi kita ngasih sedikit. Toh, Teh Tuti sering ngasih kue," sahut Sekar, tersenyum.
Anan melirik Sekar yang sedang menikmati makanan. Mereka terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Anan merasa tidak nyaman dengan setuasi kaku seperti itu.
Akhirnya Anan bersuara, "Kamu dua hari ini selalu ke kamar mandi malam-malam, Sayang?"
Sekar menggeleng. Mulutnya masih penuh dengan nasi. Anan melanjutkan, "Kamu merasa pindah tidurnya, gak?"
"Aku gak ngerti, Kang. Maksudnya pindah tidur itu yang bagaimana?"
"Kamu merasa pindah ke sofa ruang tamu gak kemarin?"Sekar terpegun. Ia takut untuk membicarakannya. Jadi ia hanya bisa membisu.
Anan meraih tangan Sekar. Ia melihat kekhawatiran pada wajah chubby Sekar.
"Kalau tidak merasa gak apa-apa, Sayang. Aku hanya tanya saja. Kemarin kita tidur di sofa, kan, karena–"
Sekar menutup mulut Anan. Dengan wajah merah padam, ia berseru, "Aku malu, Kang. Udah jangan dibahas lagi!"
Anan tersenyum dan mengangguk. Ia mengelus kepala Sekar. Lalu mulai kembali menghabiskan sarapannya.
Anan kembali ke halaman deoan untuk memotong kaso. Sementara itu, Sekar membereskan makanan dan piring-piring kotor. Usai berbenah, ia mengambil ponsel dan menghubungi ibunya.
"Halo, Bu!"
"Sayang, gimana kabar kamu?"
"Baik,"
"Pasti lagi bahagia, ya, Sayang?"
"Iya,"
"Ada apa, Sayang? Kamu kapan ke Kota Baru?"
"Mungkin nanti hari Minggu. Gini, Bu. Sekar ... sekar mulai terbangun tengah malam tanpa sadar lagi."
"Ya, ampun. Kamu bawa obatnya enggak?"Sekar memang tidak minum obat selama beberapa hari itu. Ia mengira akan segera sembuh karena pada malam pertama selepas resepsi, Sekar sama sekali tidak terbangun dari tidurnya.
"Kayaknya bawa, tapi gak diminum, Bu."
"Aduuuh! Kamu ini terus gimana?"
"Gak tau, Bu. Kang Anan kayaknya tau sesuatu."
"Kamu harus cerita, Sayang."Sekar hanya menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus mulai bercerita dari mana. Kegelisahannya bukan hanya tentang kebiasaan terbangun di malam hari saja, tetapi tentang Anan.
Sekar takut Anan tidak dapat menerimanya. Kebiasaan sedari kecil yang selalu mengganggu tidur malamnya. Ibunya telah berusaha untuk menoling Sekar agar terbebas dari gangguan tersebut. Nyatanya semua pengobatan gagal, kecuali obat tidur yang rutin ditenggaknya bila malam tiba.
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerbang Impian
عاطفيةSekar Arum menikah dengan Ananta Bayangkhara berprofesi sebagai TNI AD. Kehidupan pernikahan mereka sangat romantis di awal, tetapi ternyata Sekar memiliki gangguan somnambulisme. Membuat Anan harus menjaganya saat malam agar tidak membahayakan diri...